Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa.
Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri.
Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya.
“Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya.
Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya.
Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak jadi memukulku?
“Sampai kapan pun kalian nggak akan pernah gue anggap bagian dari keluarga!” Edgar berkata dengan penuh penekanan. Kemudian ia berjalan menjauh diikuti dengan Zayn yang berjalan santai di belakangnya.
Seketika tubuhku menjadi lemas. Untuk saja aku langsung berpegang pada sofa yang ada tepat di sampingku, sehingga aku bisa menahan tubuhku sendiri.
Aku hanya bisa menunduk mengingat perkataan Edgar barusan. Mau sampai kapan ia akan bersikap membenci seperti itu padaku?
Padahal, rasanya baru kemarin ia bersikap sedikit lebih baik padaku. Tapi, kenapa hari ini ia bersikap seperti itu lagi? Apa ia benar-benar percaya pada perkataanku yang akan merebut harta Papa?
“Hulya, udah jangan dipikirin.” Mama menyentuh lembut pundakku. Aku hanya terdiam dan segera beranjak menuju kamarku.
Ekor mataku sempat menangkap bayangan Mama yang menatapku sedih. Ma, aku tahu, Mama juga pasti merasakan hal yang sama, kan?
***
Papa baru saja pulang dari kantor. Ia sedang membaca koran di teras rumah dengan ditemani Mama.
Kuhampiri Papa dan duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu jati. Papa menghentikan aktivitasnya, sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot karena membaca koran, ia menatapku bingung.
“Ada apa, Hulya?”
Kutatap Papa serius. “Pa, Hulya minta maaf sebelumnya kalo Hulya lancang. Hulya minta, Papa berhenti kasih Hulya uang saku dan uang bulanan Mama banyak-banyak!”
Papa mengangkat sebelah alisnya, “Kamu nggak suka Papa ngelakuin itu? Kenapa?”
“Pa, Hulya ngerasa nggak pantes nerima ini semua. Ini bukan hak Hulya, Pa. Ini semua hak anak-anak Papa!”
“Jadi maksud kamu, kamu masih bukan anak Papa?” sahut Papa lirih.
Deg!
Mendengar jawaban Papa membuat jantungku berhenti. Sungguh, aku tak bermaksud untuk mengatakan hal itu pada Papa. Aku hanya, merasa ini terlalu berlebihan untukku.
“Pa, maaf. Bukan itu maksud Hulya, Hulya hanya ...”
“Hulya, sejak Papa menikahi Mama kamu, kamu itu udah resmi jadi anak Papa. Jadi Papa juga harus perlakukan kamu sama seperti Papa perlakukan anak-anak Papa.”
“Tapi, Pa ...” belum sempat aku berbicara, Papa kembali memotongnya.
“Dan soal uang saku dan uang bulanan Mama. Papa rasa itu masih jauh di bawah dari kata besar. Semua itu nggak sebanding dengan pengorbanan Mama untuk membesarkan kamu sampai sebesar ini. Jadi, Papa harap, kamu jangan merasa nggak berhak lagi, ya.”
Aku termenung mendengar perkataan Papa, kemudian mengangguk.
“Kamu dan Mama bebas melakukan apa pun dengan uang itu. Mobil juga kamu bebas mau pakai yang mana pun, nggak ada yang Papa beda-bedain. Semuanya sama, sama-sama bagian dari keluarga ini yang sangat Papa sayangi,” sambungnya lagi.
Aku hampir menangis mendengarnya, namun sekuat tenaga aku menahannya. Aku tidak ingin menangis di depan Mama dan Papa. Bodohnya diriku yang sudah berpikiran sempit. Papa ternyata sangat menyayangi aku dan Mama sama seperti beliau menyayangi keluarganya. Maafkan aku, Papa!
Usai berbicara denganku, Papa mengumpulkan kami di ruang keluarga. Zayn, Daffa dan Edgar duduk bersebelahan, sementara aku memilih duduk di dekat Mama yang jauh dari mereka. Malam ini wajah Papa terlihat serius. Aku penasaran, hal apa yang ingin Papa bicarakan dengan kami.
Tak lama, kulihat Carel datang dengan tergopoh-gopoh. Pria bertato itu sudah terlihat rapi dan wangi. Sepertinya, setelah ini ia akan langsung pergi ke diskotik kesayangannya. Carel duduk tepat di sebelahku, karena memang hanya di sana tempat yang kosong.
Setelah semuanya lengkap, Papa memulai pembicaraan.
“Anak-anak, Papa sudah membicarakan hal ini dengan Mama. Rencananya, Papa dan Mama akan mengirim kalian untuk berlibur di kapal pesiar,” ucap Papa.
Aku yang sudah mengetahuinya tidak terkejut sama sekali. Namun, ketika aku melihat ke arah keempat Kakak sambungku, mereka tampak syok begitu mendengarnya. Terutama Zayn yang sudah berdiri dengan mata tertuju pada Papa.
“Maaf, Zayn nggak bisa!”
Papa balas menatap Zayn serius. “Kenapa?”
“Pa, perusahaan kita lagi ngejalanin proyek besar. Dan Zayn sebagai penerus Papa, nggak mungkin bisa ninggalin kerjaan gitu aja,” jelas Zayn.
Papa terlihat memikirkan sesuatu dengan tangan memegang dagunya yang memiliki sedikit jenggot.
“Baiklah, semuanya wajib ikut kecuali Zayn," sambungnya lagi.
“Edgar juga nggak bisa ikut, Pa!” sahut Edgar. Papa menoleh ke arahnya yang masih duduk bersandar di sofa.
“Edgar harus kuliah, Pa!” sambung Edgar.
“Lho, bukannya Minggu depan kamu udah mulai libur semester?” Papa mengernyitkan kening. Edgar terlihat gelagapan.
“M-maksud Edgar, Edgar kan bentar lagi ada penelitian penting, Pa!” Terlihat jelas dari gerak-geriknya bahawa anak ini sedang berbohong.
“Udah nggak usah banyak alasan. Kalian wajib ikut kecuali Zayn. Kalo ada yang nggak mau menurut, Papa akan ambil semua kartu kredit, mobil, dan uang jajan bulanan kalian!” tegas Papa.
Kulihat Edgar dan Carel tampak lesu mendengar perkataan Papa. Kecuali Daffa, ia terlihat senang dengan rencana Papa. Dan tepat ketika aku memperhatikan gerak-geriknya, ia menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu mengangguk padaku. Seketika aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan wajah merah padam. Bodoh, kenapa bisa ketahuan!
“Segala sesuatunya sudah Papa persiapkan. Kalian akan di kapal itu selama satu Minggu. Kalian akan berangkat Minggu depan. Dan Papa memiliki tawaran menarik untuk kalian,” sambung Papa.
Terlihat mereka bertiga tampak tertarik dengan tawaran Papa. Mereka menatap Papa dengan serius.
Lalu Papa melanjutkan, “Kalo kalian bisa buat Hulya senang di sana. Papa akan memberikan saham Papa masing-masing lima persen untuk kalian.”
Kami semua terkejut begitu mendengar penawaran dari Papa. Satu hal yang membuatku bertanya-tanya, Kenapa aku harus dilibatkan dalam penawaran ini?
Serentak mereka bertiga menatap ke arahku sambil menyeringai.
Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya. “Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku. Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang? “Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa. Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.” “Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar. Apa katanya? Tante?! “Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa. Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua! Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.” Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar
Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu? “Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal. “Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama. “Ah, nyebelin!” tukasku. Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu! Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku. Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku. Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik. Video
Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana. Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh. Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar. “Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku. Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku. “Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk. Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p
Tubuhku tercebur ke dalam kolam. Tanganku berusaha meraih-raih ke atas namun tidak bisa. Kurasakan tubuhku semakin masuk ke dasar kolam, rasanya seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku. Kucoba untuk menghentak-hentakan kaki, dan menggerakkan tanganku sekuat tenaga untuk dapat kembali ke permukaan. Pasokan oksigenku habis, kurasakan air dari kolam ini memasuki hidung dan mulutku. Karena terlalu banyak bergerak, hal itu membuat tubuhku menjadi lemas. Tuhan, mungkinkah ini saatnya aku pergi? Kurasakan tubuhku sudah tak bisa digerakkan lagi, namun, samar-samar kulihat seseorang di dalam air. Ia langsung meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Sebelum kami sampai ke permukaan, kurasakan semuanya menjadi gelap. *** “Uhuk-uhuk!” aku terbatuk kala seseorang menekan dadaku. Lalu kumuntahkan semua air yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, saat kumembuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Edgar. Ia menatapku dengan khawatir sambil menepuk-nepuk pip
“Pffft ...” Tepat setelah kupejamkan mata, aku mendengar suara seseorang tertawa. Sontak aku langsung membuka mata, dan kulihat Edgar sedang tertawa di hadapanku. “Lo, kenapa nutup mata? Haha!” tawanya nyaring sambil memegangi perutnya sendiri. Mendengar hal itu, membuatku begitu malu. Tidak! Apa yang sudah kulakukan tadi? Kenapa aku menutup mata? Ah, aku pasti sudah gila sekarang! Rasanya malu setengah mati, bodoh! Kutendang lututnya dengan keras, ia merintih kesakitan. Namun aku tidak peduli, biar saja ia rasakan itu karena sudah mengerjaiku! Kulangkahkan kakiku meninggalkannya, ia berteriak-teriak memanggil namaku, namun tak kuhiraukan. Sadarlah Hulya, kenapa kau harus berpikir bahwa si mesum itu mau menciummu? Kenapa juga kau memejamkan mata? Akal sehatku pasti sudah hilang sekarang! Sesampainya di kamarku, aku mendapat pesan dari Feza. Ia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Aku yang memang penasaran dengan sensasi m
Aku terdiam ketika Carel mengatakan hal itu. Kemudian, dengan sedikit senyum terukir di bibirnya, ia melanjutkan. “Nggak usah takut, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo, kok.” Carel menarik lenganku. Aku coba memberontak, tapi cengkeraman tangannya terlalu kuat. Dan, akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti ajakannya. Carel membawaku ke suatu tempat, aku tahu tempat apa itu. Karena samar-samar kudengar hentakan musik yang keras dari dalam ruangan. Kutarik lenganku dengan kasar, lalu menatapnya dengan tajam. “Ngapain bawa gue ke tempat beginian?!” teriakku. Ia kembali meraih pergelangan tanganku, namun dengan cepat aku menghindar. “Nggak ada yang aneh kok di dalem. Gue tau lo pasti bakal suka masuk ke sana!” jawabnya. Dia mencoba meyakinkanku, akhirnya aku mengalah dan menurutinya. Lagipula, tidak mungkin kan dia mengajakku ke tempat yang tidak-tidak? Begitu sampai di dalam ruangan aku terkejut karena dugaanku ternyata sala
Setelah kami hampiri ternyata itu Carel yang tengah bertengkar dengan salah satu penumpang kapal. Carel memegangi kerah baju pria itu, bersiap untuk melayangkan pukulannya. Namun dengan cepat Daffa menahannya, dan langsung membawa Carel pergi. Sebelumnya Daffa meminta maaf pada orang itu. Carel melepas tarikan tangan Daffa dengan kasar. Daffa menatapnya tajam. “Di sini gue yang diberi tanggung jawab. Kalo lo nggak mau nurut sama perkataan gue, mending lo nggak usah ikut aja sekalian!” bentak Daffa marah. Sementara kulihat Carel hanya menunduk. Ini pertama kalinya aku melihat Daffa marah, karena biasanya jika ia sedang memisahkan perkelahian antara adiknya itu, ia hanya diam dan membiarkan Papa atau Zayn yang menasehati mereka. Namun kali ini berbeda, mungkin ia juga merasa yang paling tua di antara kami, jadi ia merasa harus menjaga kami. “Udah, Kak. Jangan marah-marah di sini, malu diliatin banyak orang,” ucapku pada Daffa sambil mene
Aku segera berlari ke tempat terakhir kali, rasanya tadi mereka ke arah sini. Kuturuni sebuah tangga, makin ke bawah suasananya semakin sepi, tak ada orang di sini. “Gue kayanya kesasar, deh.” Aku terus berjalan memasuki tiap pintu, namun tak kutemukan siapa pun di sini. "Tenang, Hulya. Mereka pasti akan menyadari kalau aku hilang. Mereka pasti akan langsung mencariku!" Kuambil ponselku dari dalam tas, berniat menelepon Daffa atau siapa pun itu. Namun sialnya, tidak ada sinyal di sini! Aku terus berjalan melewati lorong. Semakin dalam semakin sunyi dan mencekam. Ruangan di sini sangat minim cahaya. Hawa dingin mulai terasa di sekitarku. Aku tak berani menoleh ke belakang, karena aku merasakan seperti ada orang yang mengikutiku. Aku berjalan dan terus berjalan, jika kutemukan tangga aku naiki, jika kutemukan pintu aku masuki. Namun, semuanya percuma karena aku seperti kembali ke tempat semula. Aku tahu kalau ini hanya perasaanku