Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

Share

Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

Author: Fantazia
last update Last Updated: 2021-10-01 01:29:42

Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa.

Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri.

Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya.

“Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

“Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya.

Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya.

Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak jadi memukulku?

“Sampai kapan pun kalian nggak akan pernah gue anggap bagian dari keluarga!” Edgar berkata dengan penuh penekanan. Kemudian ia berjalan menjauh diikuti dengan Zayn yang berjalan santai di belakangnya.

Seketika tubuhku menjadi lemas. Untuk saja aku langsung berpegang pada sofa yang ada tepat di sampingku, sehingga aku bisa menahan tubuhku sendiri.

Aku hanya bisa menunduk mengingat perkataan Edgar barusan. Mau sampai kapan ia akan bersikap membenci seperti itu padaku?

Padahal, rasanya baru kemarin ia bersikap sedikit lebih baik padaku. Tapi, kenapa hari ini ia bersikap seperti itu lagi? Apa ia benar-benar percaya pada perkataanku yang akan merebut harta Papa?

“Hulya, udah jangan dipikirin.” Mama menyentuh lembut pundakku. Aku hanya terdiam dan segera beranjak menuju kamarku.

Ekor mataku sempat menangkap bayangan Mama yang menatapku sedih. Ma, aku tahu, Mama juga pasti merasakan hal yang sama, kan?

***

Papa baru saja pulang dari kantor. Ia sedang membaca koran di teras rumah dengan ditemani Mama.

Kuhampiri Papa dan duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu jati. Papa menghentikan aktivitasnya, sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot karena membaca koran, ia menatapku bingung.

“Ada apa, Hulya?”

Kutatap Papa serius. “Pa, Hulya minta maaf sebelumnya kalo Hulya lancang. Hulya minta, Papa berhenti kasih Hulya uang saku dan uang bulanan Mama banyak-banyak!”

Papa mengangkat sebelah alisnya, “Kamu nggak suka Papa ngelakuin itu? Kenapa?”

“Pa, Hulya ngerasa nggak pantes nerima ini semua. Ini bukan hak Hulya, Pa. Ini semua hak anak-anak Papa!”

“Jadi maksud kamu, kamu masih bukan anak Papa?” sahut Papa lirih.

Deg!

Mendengar jawaban Papa membuat jantungku berhenti. Sungguh, aku tak bermaksud untuk mengatakan hal itu pada Papa. Aku hanya, merasa ini terlalu berlebihan untukku.

“Pa, maaf. Bukan itu maksud Hulya, Hulya hanya ...”

“Hulya, sejak Papa menikahi Mama kamu, kamu itu udah resmi jadi anak Papa. Jadi Papa juga harus perlakukan kamu sama seperti Papa perlakukan anak-anak Papa.”

“Tapi, Pa ...” belum sempat aku berbicara, Papa kembali memotongnya.

“Dan soal uang saku dan uang bulanan Mama. Papa rasa itu masih jauh di bawah dari kata besar. Semua itu nggak sebanding dengan pengorbanan Mama untuk membesarkan kamu sampai sebesar ini. Jadi, Papa harap, kamu jangan merasa nggak berhak lagi, ya.”

Aku termenung mendengar perkataan Papa, kemudian mengangguk.

“Kamu dan Mama bebas melakukan apa pun dengan uang itu. Mobil juga kamu bebas mau pakai yang mana pun, nggak ada yang Papa beda-bedain. Semuanya sama, sama-sama bagian dari keluarga ini yang sangat Papa sayangi,” sambungnya lagi.

Aku hampir menangis mendengarnya, namun sekuat tenaga aku menahannya. Aku tidak ingin menangis di depan Mama dan Papa. Bodohnya diriku yang sudah berpikiran sempit. Papa ternyata sangat menyayangi aku dan Mama sama seperti beliau menyayangi keluarganya. Maafkan aku, Papa!

Usai berbicara denganku, Papa mengumpulkan kami di ruang keluarga. Zayn, Daffa dan Edgar duduk bersebelahan, sementara aku memilih duduk di dekat Mama yang jauh dari mereka. Malam ini wajah Papa terlihat serius. Aku penasaran, hal apa yang ingin Papa bicarakan dengan kami.

Tak lama, kulihat Carel datang dengan tergopoh-gopoh. Pria bertato itu sudah terlihat rapi dan wangi. Sepertinya, setelah ini ia akan langsung pergi ke diskotik kesayangannya. Carel duduk tepat di sebelahku, karena memang hanya di sana tempat yang kosong.

Setelah semuanya lengkap, Papa memulai pembicaraan.

“Anak-anak, Papa sudah membicarakan hal ini dengan Mama. Rencananya, Papa dan Mama akan mengirim kalian untuk berlibur di kapal pesiar,” ucap Papa.

Aku yang sudah mengetahuinya tidak terkejut sama sekali. Namun, ketika aku melihat ke arah keempat Kakak sambungku, mereka tampak syok begitu mendengarnya. Terutama Zayn yang sudah berdiri dengan mata tertuju pada Papa.

“Maaf, Zayn nggak bisa!”

Papa balas menatap Zayn serius. “Kenapa?”

“Pa, perusahaan kita lagi ngejalanin proyek besar. Dan Zayn sebagai penerus Papa, nggak mungkin bisa ninggalin kerjaan gitu aja,” jelas Zayn.

Papa terlihat memikirkan sesuatu dengan tangan memegang dagunya yang memiliki sedikit jenggot.

“Baiklah, semuanya wajib ikut kecuali Zayn," sambungnya lagi.

“Edgar juga nggak bisa ikut, Pa!” sahut Edgar. Papa menoleh ke arahnya yang masih duduk bersandar di sofa.

“Edgar harus kuliah, Pa!” sambung Edgar.

“Lho, bukannya Minggu depan kamu udah mulai libur semester?” Papa mengernyitkan kening. Edgar terlihat gelagapan.

“M-maksud Edgar, Edgar kan bentar lagi ada penelitian penting, Pa!” Terlihat jelas dari gerak-geriknya bahawa anak ini sedang berbohong.

“Udah nggak usah banyak alasan. Kalian wajib ikut kecuali Zayn. Kalo ada yang nggak mau menurut, Papa akan ambil semua kartu kredit, mobil, dan uang jajan bulanan kalian!” tegas Papa.

Kulihat Edgar dan Carel tampak lesu mendengar perkataan Papa. Kecuali Daffa, ia terlihat senang dengan rencana Papa. Dan tepat ketika aku memperhatikan gerak-geriknya, ia menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu mengangguk padaku. Seketika aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan wajah merah padam. Bodoh, kenapa bisa ketahuan!

“Segala sesuatunya sudah Papa persiapkan. Kalian akan di kapal itu selama satu Minggu. Kalian akan berangkat Minggu depan. Dan Papa memiliki tawaran menarik untuk kalian,” sambung Papa.

Terlihat mereka bertiga tampak tertarik dengan tawaran Papa. Mereka menatap Papa dengan serius.

Lalu Papa melanjutkan, “Kalo kalian bisa buat Hulya senang di sana. Papa akan memberikan saham Papa masing-masing lima persen untuk kalian.”

Kami semua terkejut begitu mendengar penawaran dari Papa. Satu hal yang membuatku bertanya-tanya, Kenapa aku harus dilibatkan dalam penawaran ini?

Serentak mereka bertiga menatap ke arahku sambil menyeringai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 66 - Rasa Rindu

    Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 65 - Alexa Mulai Bergerak!

    Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status