Share

Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa.

Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri.

Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya.

“Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

“Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya.

Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya.

Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak jadi memukulku?

“Sampai kapan pun kalian nggak akan pernah gue anggap bagian dari keluarga!” Edgar berkata dengan penuh penekanan. Kemudian ia berjalan menjauh diikuti dengan Zayn yang berjalan santai di belakangnya.

Seketika tubuhku menjadi lemas. Untuk saja aku langsung berpegang pada sofa yang ada tepat di sampingku, sehingga aku bisa menahan tubuhku sendiri.

Aku hanya bisa menunduk mengingat perkataan Edgar barusan. Mau sampai kapan ia akan bersikap membenci seperti itu padaku?

Padahal, rasanya baru kemarin ia bersikap sedikit lebih baik padaku. Tapi, kenapa hari ini ia bersikap seperti itu lagi? Apa ia benar-benar percaya pada perkataanku yang akan merebut harta Papa?

“Hulya, udah jangan dipikirin.” Mama menyentuh lembut pundakku. Aku hanya terdiam dan segera beranjak menuju kamarku.

Ekor mataku sempat menangkap bayangan Mama yang menatapku sedih. Ma, aku tahu, Mama juga pasti merasakan hal yang sama, kan?

***

Papa baru saja pulang dari kantor. Ia sedang membaca koran di teras rumah dengan ditemani Mama.

Kuhampiri Papa dan duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu jati. Papa menghentikan aktivitasnya, sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot karena membaca koran, ia menatapku bingung.

“Ada apa, Hulya?”

Kutatap Papa serius. “Pa, Hulya minta maaf sebelumnya kalo Hulya lancang. Hulya minta, Papa berhenti kasih Hulya uang saku dan uang bulanan Mama banyak-banyak!”

Papa mengangkat sebelah alisnya, “Kamu nggak suka Papa ngelakuin itu? Kenapa?”

“Pa, Hulya ngerasa nggak pantes nerima ini semua. Ini bukan hak Hulya, Pa. Ini semua hak anak-anak Papa!”

“Jadi maksud kamu, kamu masih bukan anak Papa?” sahut Papa lirih.

Deg!

Mendengar jawaban Papa membuat jantungku berhenti. Sungguh, aku tak bermaksud untuk mengatakan hal itu pada Papa. Aku hanya, merasa ini terlalu berlebihan untukku.

“Pa, maaf. Bukan itu maksud Hulya, Hulya hanya ...”

“Hulya, sejak Papa menikahi Mama kamu, kamu itu udah resmi jadi anak Papa. Jadi Papa juga harus perlakukan kamu sama seperti Papa perlakukan anak-anak Papa.”

“Tapi, Pa ...” belum sempat aku berbicara, Papa kembali memotongnya.

“Dan soal uang saku dan uang bulanan Mama. Papa rasa itu masih jauh di bawah dari kata besar. Semua itu nggak sebanding dengan pengorbanan Mama untuk membesarkan kamu sampai sebesar ini. Jadi, Papa harap, kamu jangan merasa nggak berhak lagi, ya.”

Aku termenung mendengar perkataan Papa, kemudian mengangguk.

“Kamu dan Mama bebas melakukan apa pun dengan uang itu. Mobil juga kamu bebas mau pakai yang mana pun, nggak ada yang Papa beda-bedain. Semuanya sama, sama-sama bagian dari keluarga ini yang sangat Papa sayangi,” sambungnya lagi.

Aku hampir menangis mendengarnya, namun sekuat tenaga aku menahannya. Aku tidak ingin menangis di depan Mama dan Papa. Bodohnya diriku yang sudah berpikiran sempit. Papa ternyata sangat menyayangi aku dan Mama sama seperti beliau menyayangi keluarganya. Maafkan aku, Papa!

Usai berbicara denganku, Papa mengumpulkan kami di ruang keluarga. Zayn, Daffa dan Edgar duduk bersebelahan, sementara aku memilih duduk di dekat Mama yang jauh dari mereka. Malam ini wajah Papa terlihat serius. Aku penasaran, hal apa yang ingin Papa bicarakan dengan kami.

Tak lama, kulihat Carel datang dengan tergopoh-gopoh. Pria bertato itu sudah terlihat rapi dan wangi. Sepertinya, setelah ini ia akan langsung pergi ke diskotik kesayangannya. Carel duduk tepat di sebelahku, karena memang hanya di sana tempat yang kosong.

Setelah semuanya lengkap, Papa memulai pembicaraan.

“Anak-anak, Papa sudah membicarakan hal ini dengan Mama. Rencananya, Papa dan Mama akan mengirim kalian untuk berlibur di kapal pesiar,” ucap Papa.

Aku yang sudah mengetahuinya tidak terkejut sama sekali. Namun, ketika aku melihat ke arah keempat Kakak sambungku, mereka tampak syok begitu mendengarnya. Terutama Zayn yang sudah berdiri dengan mata tertuju pada Papa.

“Maaf, Zayn nggak bisa!”

Papa balas menatap Zayn serius. “Kenapa?”

“Pa, perusahaan kita lagi ngejalanin proyek besar. Dan Zayn sebagai penerus Papa, nggak mungkin bisa ninggalin kerjaan gitu aja,” jelas Zayn.

Papa terlihat memikirkan sesuatu dengan tangan memegang dagunya yang memiliki sedikit jenggot.

“Baiklah, semuanya wajib ikut kecuali Zayn," sambungnya lagi.

“Edgar juga nggak bisa ikut, Pa!” sahut Edgar. Papa menoleh ke arahnya yang masih duduk bersandar di sofa.

“Edgar harus kuliah, Pa!” sambung Edgar.

“Lho, bukannya Minggu depan kamu udah mulai libur semester?” Papa mengernyitkan kening. Edgar terlihat gelagapan.

“M-maksud Edgar, Edgar kan bentar lagi ada penelitian penting, Pa!” Terlihat jelas dari gerak-geriknya bahawa anak ini sedang berbohong.

“Udah nggak usah banyak alasan. Kalian wajib ikut kecuali Zayn. Kalo ada yang nggak mau menurut, Papa akan ambil semua kartu kredit, mobil, dan uang jajan bulanan kalian!” tegas Papa.

Kulihat Edgar dan Carel tampak lesu mendengar perkataan Papa. Kecuali Daffa, ia terlihat senang dengan rencana Papa. Dan tepat ketika aku memperhatikan gerak-geriknya, ia menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu mengangguk padaku. Seketika aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan wajah merah padam. Bodoh, kenapa bisa ketahuan!

“Segala sesuatunya sudah Papa persiapkan. Kalian akan di kapal itu selama satu Minggu. Kalian akan berangkat Minggu depan. Dan Papa memiliki tawaran menarik untuk kalian,” sambung Papa.

Terlihat mereka bertiga tampak tertarik dengan tawaran Papa. Mereka menatap Papa dengan serius.

Lalu Papa melanjutkan, “Kalo kalian bisa buat Hulya senang di sana. Papa akan memberikan saham Papa masing-masing lima persen untuk kalian.”

Kami semua terkejut begitu mendengar penawaran dari Papa. Satu hal yang membuatku bertanya-tanya, Kenapa aku harus dilibatkan dalam penawaran ini?

Serentak mereka bertiga menatap ke arahku sambil menyeringai.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status