Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 11 - Uang jajanku besar!

Share

Bab 11 - Uang jajanku besar!

Author: Fantazia
last update Last Updated: 2021-10-01 00:10:25

Apa? Liburan di kapal pesiar? Serius?

“Itu ide yang bagus, Mas. Apa kita perlu ikut bersama mereka?” Suara Mama terdengar lagi.

“Tidak, biarkan mereka menikmati waktu mereka sendiri,” sahut Papa.

“Tapi, bagaimana kalau mereka berkelahi di sana?” Mama.

“Tidak akan, karena aku akan memberikan suatu ancaman pada mereka.”

Perlahan, aku mendengar langkah kaki berjalan keluar dari kamar Mama dan Papa. Tidak, itu pasti Papa! Sontak aku langsung berbalik arah dan berpura-pura menaiki tangga.

Kuurungkan niatku untuk ke halaman belakang, dan memilih untuk ke kamarku saja.

Di kamar, aku memikirkan percakapan Mama dan Papa barusan.

Jadi, kami akan liburan di kapal pesiar? Sungguh! Aku belum pernah naik kapal pesiar, bahkan melihatnya saja aku belum pernah. Ini pasti akan menjadi pengalaman paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidupku!

***

Hari sudah siang, aku sedang bersantai di kamar. Rumah terasa tenang dan damai jika tak ada si mesum itu. Bagaimana tidak, ia dan Carel adalah biang keributan di rumah ini. Entah apa alasannya mereka seperti itu.

Sedangkan, Daffa sedang keluar, Zayn dan Papa sedang bekerja, dan si mesum itu sedang ke kampus.

"Aku bosan!" keluhku.

Tidak bekerja rasanya sungguh membosankan. Andai aku sudah masuk kuliah, pasti aku sedang di kampus belajar bersama teman-teman sekarang.

Aku beranjak dari kamarku dan turun ke lantai bawah. Di ruang keluarga ada Mama sedang menonton acara India. Kuhampiri Mama dan duduk di sampingnya.

“Ma,” panggilku.

“Hmmm?” sahutnya tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi sedikit pun.

“Aku bosen di sini. Aku pengen main, boleh?”

“Main? Main ke mana?” jawab Mama, kini pandangan Mama mengarah padaku.

“Nggak tahu. Ma, kita ke Mall, yuk?” ajakku. Entah kenapa, ide itu tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.

“Boleh, yuk!” Mama mengiyakan ajakanku.

Akhirnya kami berjalan menuju kamar masing-masing untuk bersiap-siap. Selanjutnya, dengan diantar Pak Udin, kami berangkat menuju Mall terdekat.

Sesampainya di Mall, kami langsung menuju salah satu toko pakaian dan memilih-milih pakaian yang kami suka.

“Ma, ini bagus, kan?” tanyaku ketika mencoba sebuah dress selutut berwarna hitam. Mama menoleh ke arahku lalu mengacungkan jempolnya, tanda setuju.

Kulihat label harga pada dress itu.

“Satu juta lima ratus ...”

Aku langsung tercengang kala melihat jumlah nol di belakangnya. Apa? Baju seperti ini kenapa bisa harganya mahal sekali? Ayolah, apa akan ada orang yang mau membeli barang semahal ini?

Kulihat mama menghampiriku dengan beberapa potong pakaian di lengannya. Ia bingung melihatku yang menaruh kembali dress itu.

“Kenapa ditaro lagi?”

“Harganya setara setengah bulan gaji Hulya, Ma,” sahutku lesu.

Mama mengambil dress itu dan melihat label harganya.

“Mahal sih, tapi kalo kamu suka nggak apa-apa, ambil aja,” sahut Mama santai.

“Ma, kita nggak boleh seperti ini. Kita nggak boleh menghambur-hamburkan uang Papa," sahutku. Aku tahu betul kalau Mama tidak mungkin punya uang sebanyak itu kecuali diberikan oleh Papa.

“Nggak apa-apa, Hulya. Lagian uang bulanan Mama dari Papamu itu dua digit nominalnya. Mama malah bingung gimana cara ngabisinnya. Karena Papamu itu akan marah kalau sampe bulan depan masih bersisa banyak!” jelas Mama panjang lebar. Aku tercengang mendengarnya.

“U-uang bulanan Mama gede banget!” gumamku.

“Oh iya, kamu juga coba cek rekening kamu. Papa bilang sudah transfer uang jajan kamu buat bulan ini."

Mendengar itu, aku langsung mengambil ponselku dan mengecek m-banking. Tertera pemberitahuan uang masuk pagi tadi senilai lima belas juta rupiah. Aku terdiam sejenak. Apa aku boleh seperti ini? Tidak, aku tidak bisa menerima ini!

Kuambil baju yang sudah Mama pilih, semuanya aku kembalikan pada tempatnya dan segera kutarik Mama keluar dari toko itu.

“Hulya, apa-apaan sih, kamu?!” berontak Mama sambil melepaskan lengannya.

“Ma, kita dulu emang miskin, tapi kita nggak boleh begini, Ma! Ini bukan hak kita, Mama nggak boleh pake uang dari Papa seenaknya!" Kutatap Mama dengan perasaan kecewa.

“Hulya, bagaimana bisa ini bukan hak kita? Kita udah jadi bagian keluarga Papa. Kita berhak menikmati kekayaan Papa.”

“Pokoknya Hulya nggak mau kalo berlebihan kayak gini. Udah, kita makan aja. Hulya akan balikin semua uang yang udah Papa kasih tadi.”

Akhirnya aku dan Mama masuk ke sebuah restoran dan makan di sana. Kemudian, kami memilih untuk hanya berbelanja barang kebutuhan pribadi sehari-hari saja. Kebetulan, kemarin gaji terakhirku baru saja cair.

Selesai makan, kami memutuskan untuk pulang. Namun, sebelum pulang, aku meminta Pak Udin untuk mampir ke minimarket tempatku bekerja dulu. Karena, aku ingin sekali bertemu Dina. Dan kebetulan Dina sedang shift malam, hari ini.

“Dinaaa!” seruku. Tepat setelah aku dan Mama memasuki minimarket itu, aku melihat Dina sedang berdiri di area kasir dan menyambut kedatanganku.

“Ya ampun, Hulya! Masih inget lo ke sini?” sahutnya girang sambil berlari ke arahku. Kami pun berpelukan satu sama lain, setelah itu Dina memberi salam pada Mama.

“Ciyeee, yang udah jadi anak pengusaha kaya." Dina menyenggol lenganku. Aku hanya tertawa mendengarnya.

“Iya, Din. Kapan-kapan main dong ke rumah gue. Nanti gue kenalin sama Kakak sambung gue.”

“Mereka seganteng yang waktu itu ambil first ki ...” kututup mulut Dina yang hampir keceplosan mengatakan mengenai first kissku di depan Mama.

“I-iya, Din. Mereka ganteng kok, mirip Taehyung," sahutku. Dina melepaskan tanganku dari mulutnya dengan kasar, lalu mengelap mulutnya sendiri dengan punggung tangannya dan tak melanjutak perkataannya. Ia sepertinya mengerti maksudku dan tak membahasnya lebih jauh.

Setelah mengobrol sebentar dengan Dina, akhirnya kami pulang. Hari sudah hampir malam, jalanan kota Jakarta tampak macet, seperti biasa. Kami sampai harus menghabiskan waktu selama dua jam hanya untuk pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, kami melenggang masuk ke dalam dengan Pak Udin yang membawakan barang belanjaan kami. Tepat di ruang tamu, ada Edgar dan Zayn yang sedang mengobrol.

Mereka menatap kami tajam kala melihat barang belanjaan kami. Mama sempat berhenti sesaat, namun aku menariknya untuk tetap melanjutkan langkah meninggalkan mereka berdua.

“Wah! Ada yang abis belanja, nih? Enak ya, jadi orang kaya bisa foya-foya? Hmmm, hari ini belanja sepuasnya, besok apa lagi ya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 66 - Rasa Rindu

    Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 65 - Alexa Mulai Bergerak!

    Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status