Share

Bab 13 - Ke kampus

Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya.

“Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku.

Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang?

“Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa.

Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.”

“Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar.

Apa katanya? Tante?!

“Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa.

Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua!

Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.”

Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar peringatan Papa. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Kuharap setelah liburan ini mereka akan lebih baik satu sama lain dan berhenti berkelahi.

“Mama dan Papa tidak ikut, karena ini acara khusus kalian,” sambung Papa.

Kami semua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Satu hal yang mengganggu pikiranku, Carel dan Edgar akan disatukan di tempat yang sama. Tepatnya di atas kapal dan di tengah laut. Kalau sampai mereka bertengkar di sana, bukan tidak mungkin mereka akan saling mendorong ke lautan.

Membayangkannya saja membuatku merinding.

Tapi kuharap itu tak akan pernah terjadi. Karena, mau bagaimana pun mereka tetaplah saudara.

***

Esoknya, aku sedang membantu Mbok Minah membuat sarapan. Tiba-tiba Papa datang dan duduk di kursi mini bar. Papa sudah terlihat rapi dengan jas kerjanya. Papaku itu, walaupun sudah berumur tapi masih gagah dan tampan. Pantas saja Mama sampai tergila-gila pada Papa.

Aku segera menghampiri Papa, takut ia membutuhkan sesuatu.

“Ada yang perlu Hulya bantu, Pa?” Aku bertanya sambil duduk di sebelahnya.

“Nanti, kamu ikut Edgar ke kampus, ya. Siapa tau kamu mau liat-liat kampus dulu.” Ucapan Papa sukses membuat mataku berbinar-binar.

“Tapi, apa Edgar mau, Pa?” Seketika aku khawatir si mesum itu tak akan mau.

"Soal itu, serahkan pada Papa!" timpal Papa, yang langsung membuatku sedikit tenang.

Lalu, setelah itu Papa berpindah ke meja makan, di sana ada Mama dan Zayn yang baru datang. Setelah semuanya siap, aku pun segera bergabung dengan mereka dan sarapan bersama.

Setelah membereskan meja makan, aku membuatkan secangkir kopi untuk Papa. Ini adalah pertama kalinya aku membuatkan kopi untuk Papa sambungku.

Kebetulan Papa belum berangkat kerja pagi ini. Kulangkahkan kaki menuju Papa yang sedang duduk di teras rumah sambil membaca koran yang sama seperti yang semalam ia baca.

Namun, seketika langkahku terhenti kala aku melihat Edgar yang duduk di sebelahnya. Dan, tanpa sengaja aku menguping pembicaraan mereka.

“Nggak, Edgar nggak setuju kalo si Hulk itu satu kampus sama Edgar.” Terdengar suara Edgar.

“Kenapa?” Papa.

“Pa, Edgar nggak mau kehidupan kuliah Edgar terusik gara-gara dia!”

“Nggak ada alasan lagi, pokoknya Papa akan tetap masukkan Hulya ke kampus kamu. Dan hari ini, kamu tolong antar Hulya ke kampus, ya!” perintah Papa.

Aku tak mendengar jawaban dari si mesum itu, namun ketika aku melangkah, tiba-tiba dia sudah ada dihadapanku. Ia menatapku tajam.

“K-kenapa?” tanyaku dengan terbata. Jujur, aku takut melihat ekspresi Edgar yang menatapku tajam seperti itu.

Tanpa berkata apa-apa, ia menjatuhkan nampan yang ada dalam peganganku. Tentu saja gelas dan piring kecil yang ada di atas jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping, dan tumpahan kopi membuat lantai marmer yang mengkilap itu menjadi kotor berwarna coklat.

Setelah melakukan itu, ia berlalu begitu saja tanpa berkata sepatah kata pun. Papa yang mendengar kegaduhan menghampiriku.

“Ada apa?” tanya Papa bingung melihat pecahan gelas yang berantakan di lantai.

“Nggak apa-apa, Pa. Tadi tangan Hulya licin.” Aku sengaja berbohong pada Papa. Karena, jika Papa tahu kalau ini ulah Edgar, Papa pasti akan memarahi anak itu. Aku hanya tak ingin mendengar keributan di rumah ini, sekali saja.

Usai makan siang Edgar menghampiriku yang tengah bersantai di sofa yang ada di ruang keluarga. Aku tak menghiraukan kehadirannya.

“Cepetan siap-siap, lo!” ucap Edgar. Ia merebut ponsel yang ada di tanganku.

“Edgar balikin! Siap-siap kemana?” tanyaku sambil merebut kembali ponselku.

“Ke kampus gue!”

Aku menatapnya terkejut, “Serius?”

“Iya! Gara-gara lo nih uang jajan gue bakal dipotong kalo nggak nurut!” sahutnya lesu.

“Oke, tunggu ya!” Tak kuhiraukan cerita Edgar mengenai uang jajannya dan aku langsung melesat menuju kamarku untuk berganti pakaian dan langsung menyusulnya yang sudah ada di dalam mobilnya.

Edgar langsung melajukan mobilnya, kali ini ia menggunakan kecepatan sedang. Mungkin, ia belajar dari kesalahan sebelumnya dan tak ingin membuatku pingsan lagi. Ternyata masih punya belas kasihan juga anak ini.

Sesampainya di kampus, Edgar menyuruhku untuk berkeliling sendirian. Dan, ia malah pergi ke kafe yang ada di seberang kampus. Aku hanya mendengus kesal melihat kelakukan si mesum ini.

Akhirnya aku berkeliling sendiri, untunglah sekarang di kampus tidak begitu ramai mahasiswa yang masuk. Jadi, aku tidak terlalu malu berjalan sendirian.

Kampusnya sangat bagus dan lengkap. Dan aku sudah memutuskan untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia. Ya, karena aku menyukai dunia literasi.

Setelah puas berkeliling, aku menyusul Edgar di kafe. Kulihat ia sedang membaca sebuah buku, dan ada kopi di hadapannya. Aku sempat melihat isi buku yang dibaca Edgar. Ia sedang membaca mengenai penyakit pernapasan pada manusia. Oh, mungkinkah ia mengambil jurusan kedokteran?

***

Malam telah tiba, aku menghampiri Daffa yang sedang melamun di balkon. Kulihat raut terkejut di wajahnya ketika melihatku yang sudah berdiri di sampingnya.

“Ngelamunin apa, sih, Kak?” tanyaku penasaran.

Ia menoleh, “Engga kok, gue seneng aja ngeliatin orang-orang di bawah sana yang lagi macet-macetan.”

Kuikuti arah pandangan Daffa, dan benar saja. Jalanan yang ada di seberang kompleks sedang macet parah. Lampu-lampu kendaran menghiasi malam ini, di tambah bunyi klakson yang bersahutan membuat keadaan semakin chaos.

“Hulya,” panggil Daffa.

Aku menoleh ke arahnya, “Iya, Kak?”

“Lo mau tau nggak kenapa Edgar sama Carel sering berantem?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status