Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 13 - Ke kampus

Share

Bab 13 - Ke kampus

Author: Fantazia
last update Last Updated: 2021-10-03 10:29:44

Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya.

“Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku.

Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang?

“Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa.

Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.”

“Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar.

Apa katanya? Tante?!

“Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa.

Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua!

Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.”

Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar peringatan Papa. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Kuharap setelah liburan ini mereka akan lebih baik satu sama lain dan berhenti berkelahi.

“Mama dan Papa tidak ikut, karena ini acara khusus kalian,” sambung Papa.

Kami semua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Satu hal yang mengganggu pikiranku, Carel dan Edgar akan disatukan di tempat yang sama. Tepatnya di atas kapal dan di tengah laut. Kalau sampai mereka bertengkar di sana, bukan tidak mungkin mereka akan saling mendorong ke lautan.

Membayangkannya saja membuatku merinding.

Tapi kuharap itu tak akan pernah terjadi. Karena, mau bagaimana pun mereka tetaplah saudara.

***

Esoknya, aku sedang membantu Mbok Minah membuat sarapan. Tiba-tiba Papa datang dan duduk di kursi mini bar. Papa sudah terlihat rapi dengan jas kerjanya. Papaku itu, walaupun sudah berumur tapi masih gagah dan tampan. Pantas saja Mama sampai tergila-gila pada Papa.

Aku segera menghampiri Papa, takut ia membutuhkan sesuatu.

“Ada yang perlu Hulya bantu, Pa?” Aku bertanya sambil duduk di sebelahnya.

“Nanti, kamu ikut Edgar ke kampus, ya. Siapa tau kamu mau liat-liat kampus dulu.” Ucapan Papa sukses membuat mataku berbinar-binar.

“Tapi, apa Edgar mau, Pa?” Seketika aku khawatir si mesum itu tak akan mau.

"Soal itu, serahkan pada Papa!" timpal Papa, yang langsung membuatku sedikit tenang.

Lalu, setelah itu Papa berpindah ke meja makan, di sana ada Mama dan Zayn yang baru datang. Setelah semuanya siap, aku pun segera bergabung dengan mereka dan sarapan bersama.

Setelah membereskan meja makan, aku membuatkan secangkir kopi untuk Papa. Ini adalah pertama kalinya aku membuatkan kopi untuk Papa sambungku.

Kebetulan Papa belum berangkat kerja pagi ini. Kulangkahkan kaki menuju Papa yang sedang duduk di teras rumah sambil membaca koran yang sama seperti yang semalam ia baca.

Namun, seketika langkahku terhenti kala aku melihat Edgar yang duduk di sebelahnya. Dan, tanpa sengaja aku menguping pembicaraan mereka.

“Nggak, Edgar nggak setuju kalo si Hulk itu satu kampus sama Edgar.” Terdengar suara Edgar.

“Kenapa?” Papa.

“Pa, Edgar nggak mau kehidupan kuliah Edgar terusik gara-gara dia!”

“Nggak ada alasan lagi, pokoknya Papa akan tetap masukkan Hulya ke kampus kamu. Dan hari ini, kamu tolong antar Hulya ke kampus, ya!” perintah Papa.

Aku tak mendengar jawaban dari si mesum itu, namun ketika aku melangkah, tiba-tiba dia sudah ada dihadapanku. Ia menatapku tajam.

“K-kenapa?” tanyaku dengan terbata. Jujur, aku takut melihat ekspresi Edgar yang menatapku tajam seperti itu.

Tanpa berkata apa-apa, ia menjatuhkan nampan yang ada dalam peganganku. Tentu saja gelas dan piring kecil yang ada di atas jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping, dan tumpahan kopi membuat lantai marmer yang mengkilap itu menjadi kotor berwarna coklat.

Setelah melakukan itu, ia berlalu begitu saja tanpa berkata sepatah kata pun. Papa yang mendengar kegaduhan menghampiriku.

“Ada apa?” tanya Papa bingung melihat pecahan gelas yang berantakan di lantai.

“Nggak apa-apa, Pa. Tadi tangan Hulya licin.” Aku sengaja berbohong pada Papa. Karena, jika Papa tahu kalau ini ulah Edgar, Papa pasti akan memarahi anak itu. Aku hanya tak ingin mendengar keributan di rumah ini, sekali saja.

Usai makan siang Edgar menghampiriku yang tengah bersantai di sofa yang ada di ruang keluarga. Aku tak menghiraukan kehadirannya.

“Cepetan siap-siap, lo!” ucap Edgar. Ia merebut ponsel yang ada di tanganku.

“Edgar balikin! Siap-siap kemana?” tanyaku sambil merebut kembali ponselku.

“Ke kampus gue!”

Aku menatapnya terkejut, “Serius?”

“Iya! Gara-gara lo nih uang jajan gue bakal dipotong kalo nggak nurut!” sahutnya lesu.

“Oke, tunggu ya!” Tak kuhiraukan cerita Edgar mengenai uang jajannya dan aku langsung melesat menuju kamarku untuk berganti pakaian dan langsung menyusulnya yang sudah ada di dalam mobilnya.

Edgar langsung melajukan mobilnya, kali ini ia menggunakan kecepatan sedang. Mungkin, ia belajar dari kesalahan sebelumnya dan tak ingin membuatku pingsan lagi. Ternyata masih punya belas kasihan juga anak ini.

Sesampainya di kampus, Edgar menyuruhku untuk berkeliling sendirian. Dan, ia malah pergi ke kafe yang ada di seberang kampus. Aku hanya mendengus kesal melihat kelakukan si mesum ini.

Akhirnya aku berkeliling sendiri, untunglah sekarang di kampus tidak begitu ramai mahasiswa yang masuk. Jadi, aku tidak terlalu malu berjalan sendirian.

Kampusnya sangat bagus dan lengkap. Dan aku sudah memutuskan untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia. Ya, karena aku menyukai dunia literasi.

Setelah puas berkeliling, aku menyusul Edgar di kafe. Kulihat ia sedang membaca sebuah buku, dan ada kopi di hadapannya. Aku sempat melihat isi buku yang dibaca Edgar. Ia sedang membaca mengenai penyakit pernapasan pada manusia. Oh, mungkinkah ia mengambil jurusan kedokteran?

***

Malam telah tiba, aku menghampiri Daffa yang sedang melamun di balkon. Kulihat raut terkejut di wajahnya ketika melihatku yang sudah berdiri di sampingnya.

“Ngelamunin apa, sih, Kak?” tanyaku penasaran.

Ia menoleh, “Engga kok, gue seneng aja ngeliatin orang-orang di bawah sana yang lagi macet-macetan.”

Kuikuti arah pandangan Daffa, dan benar saja. Jalanan yang ada di seberang kompleks sedang macet parah. Lampu-lampu kendaran menghiasi malam ini, di tambah bunyi klakson yang bersahutan membuat keadaan semakin chaos.

“Hulya,” panggil Daffa.

Aku menoleh ke arahnya, “Iya, Kak?”

“Lo mau tau nggak kenapa Edgar sama Carel sering berantem?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 66 - Rasa Rindu

    Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 65 - Alexa Mulai Bergerak!

    Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status