Share

4. Kontrakan Vs Rumah Mewah

Mendengar permintaan maaf darinya, laki-laki itu tampak kaget. Seolah baru pertama kali mendengarnya.

"Kamu lagi apa?" tanya Zinnia mencoba mencairkan suasana. Tak lupa ia memasang senyuman ramah yang terukir di wajah tampan Rey. Gadis itu tak segera mendapatkan jawaban dari adiknya itu. Yang terlihat laki-laki itu masih memandanginya penuh ketidakpercayaan.

"Eh i-ini lagi minum teh, Kak," balas sang adik.

"Oh." Zinnia mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kak Rey mau? Aku buatin," tawar sang adik yang tak diketahui namanya itu. Ingin rasanya Zinnia menanyakan nama sang adik. Akan tetapi ia takut akan membuatnya bertambah bingung.

"Nggak usah. Biar mb-kakak buat sendiri aja," balas Zinnia masih tersenyum. Ia lalu megambil sebuah cangkir berukuran sedang dan segera membuat teh celup yang sama dengan adik Rey.

Gadis itu kemudian duduk di hadapan laki-laki itu. Sang adik masih terus menatapnya. Karena canggung, adik Rey pun memainkan ponselnya sendiri. Zinnia yang melihatnya tiba-tiba mendapatkan sebuah ide. Sedikit ragu ia menatap sang adik.

"Dek," panggil Zinnia. Laki-laki itu pun menatap sang kakak dengan wajah penuh keterkejutan.

"Mbak eh maksudku kakak boleh pinjem hapenya bentar gak?" tanya Zinnia.

"Untuk apa? Bukannya Kak Rey sudah punya hape sendiri?" tanya sang adik sedikit curiga.

"Emmm. Kakak lupa password hape kakak. Bentar aja ya? Nanti kakak balikin," pinta Zinnia dengan wajah memelas. Sunyi beberapa saat. Hingga sang adik membuka suara.

"Baiklah. Nih. Bentar aja ya, Kak?" Sang adik seperti meminta kepastian. Zinnia hanya mengangguk meyakinkan.

Dengan segera gadis itu mengambil ponsel milik adik Rey dan berjalan cepat kembali ke kamarnya. Membuat sang adik penasaran sekaligus kaget.

"Pinjem kok dibawa pergi sih? Kakak juga aneh deh hari ini? Apa lagi ada masalah ya di kantor?" gumam sang adik menatap kepergian kakaknya.

Di dalam kamar, Zinnia langsung memasukkan nomor ponselnya sendiri. Dengan segera ia menghubungi nomornya dan menunggu diangkat.

Di sisi lain, sebelum Zinnia mendapatkan ponsel adik Rey, tubuhnya yang asli tengah menelisik keadaan kamar berukuran kecil di kontrakan itu. Kasur busanya langsung berada di atas lantai tanpa dipan. Meja kayu kecil juga berada di samping kasur itu. Sebuah lemari plastik empat pintu berdiri di dekat pintu keluar kamar. Rey yang sadar berada di tempat asing mengusap wajahnya sendiri.

'Tertukar lagi?' tanya Rey dalam hati. Laki-laki itu kemudian menatap cermin di sampingnya. Cermin berukuran 30x50 senti meter yang tertempel pada tembok kamar. Ia dapati wajah gadis yang pernah ditemuinya dua hari yang lalu. Gadis kecil yang bertukar jiwa dengannya. Gadis itu mengenakan kaos pendek dan hot pant sebagai kostum tidurnya. Mungkin karena hawa panas di Jakarta. Sedangkan ruangan itu tanpa pendingin seperti kamar miliknya.

'Bagaimana bisa terjadi lagi?' tanya Rey lagi sembari menelan ludah menatap pantulan dirinya. Tak lama kemudian ponsel milik Zinnia berbunyi. Rey langsung mengambil ponsel itu dan melihat nomor yang menghubunginya. Bukan miliknya melainkan milik sang adik.

"Halo," ucap Rey dengan suara datar.

"Halo. Kamu. Apa yang kamu lakukan? Kenapa kita bisa bertukar lagi?" tanya suara yang familiar di telinga Rey, suaranya sendiri.

"Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu," jawab Rey masih dengan suara datar milik Zinnia.

"Ya ampun. Kamu masih di kontrakan, kan?" tanya Zinnia terdengar panik.

"Hm."

"Pokoknya jangan ke mana-mana! Jangan berbuat yang aneh-aneh juga! Dan ... dan ...." Zinnia terdengar ragu meneruskan kalimatnya.

"Dan apa?"

"Emmm. Gak usah mandi! Pokoknya jangan mandi atau ke kamar kecil!" perintah Zinnia terdengar memaksa.

"Kenapa kau maksa banget? Jangan-jangan kamu sendiri sudah ...."

"Pokoknya jangan!" sergah Zinnia memotong kalimat Rey.

"Terus kalau aku kebelet buang air aku ngompol begitu di kasur?" tanya Rey dengan sengaja.

"Euh. Emmm. Ah. Menyebalkan! Kenapa harus bertukar lagi sih?" rutuk Zinnia entah pada siapa.

TOK TOK TOK

"Kak Rey? Udah belum hapenya?" tanya adik Rey dari luar kamar.

"Sebentar," balas Zinnia terkesiap. Takut jika adik Rey mendengar pembicaraan mereka.

"Pokoknya jangan macam-macam!" perintah Zinnia lagi dengan berbisik.

"Terserah."

"Pokok! Harus! Kalau nggak awas kamu!" ancam Zinnia yang hanya dibalas senyuman sinis dari Rey di tempat lain.

"Oh iya. Adikmu namanya siapa? Dia tadi curiga padaku," ucap Zinnia.

"Chandra."

"Oke. Dek Chandra? Ya udah gitu aja. Pokoknya jangan macam-macam!" ancam Zinnia lagi lalu segera menutup panggilan itu. Gadis itu membuka pintu kamarnya dan mengembalikan ponsel itu pada sang pemilik.

"I-ini Dek Chandra hapenya. Makasih ya," ucap Zinnia sembari tersenyum.

"Kak Rey aneh. Kakak sakit?" tanya Chandra sembari menerima ponselnya kembali.

"Eh? Enggak kok. Memangnya kenapa?" tanya Zinnia lagi.

"Biasanya Kak Rey cuma panggil aku Chandra atau Ndra aja. Kenapa sekarang ada embel-embel 'dek' segala?" tanya Chandra menatap aneh sang kakak.

"Ah. Maaf. Chandra ya? Emmm. Kakak cuma lagi coba pakai kata 'dek'. Eh ternyata malah kedengarannya aneh ya? Ya udah deh gak jadi," balas Zinnia sembari meringis. Sebenarnya ia merasa canggung memanggil dengan nama saja. Pasalnya usia Chandra tampak lebih tua dari gadis itu.

"Terserah Kak Rey aja deh. Yang penting kakak harus segera mandi dan ganti baju. Papah sama Mamah mau pulang jam sembilan," ucap Chandra memberi tahu.

"Memang mereka dari mana?" Dan dengan bodohnya Zinnia bertanya. Chandra menatapnya dengan tatapan aneh lagi.

"Oh. Maaf. Ya udah aku segera mandi. Dah," ucap Zinnia cepat-cepat sembari menutup pintu kamar itu.

'Bodoh. Kenapa malah keceplosan tanya?' rutuk Zinnia dalam hati.

Setelah menyalahkan kebodohannya sendiri, Zinnia sadar akan sesuatu yang penting. "Kanapa aku gak tanya password hapenya si Rey kutu kupret itu ya?"

Chandra yang berada di luar kamar Rey langsung membuka history ponselnya dan melihat nomor baru yang baru saja dihubungi sang kakak. Lalu timbullah pertanyaan, mengapa sang kakak menghubungi nomor itu dengan ponselnya?

Di sebuah kontrakan kecil, Rey masih duduk di atas kasur berukuran kecil itu. Ia masih enggan untuk beranjak meski ia tahu ia tak sedang berada di kamarnya sendiri. Pria itu masih gamang. Merasa tak nyaman jiwanya berada di dalam tubuh seorang gadis yang baru ditemuinya. Tak munafik jika ia merasa sedikit tertarik dengan gadis itu, penasaran. Jiwanya masihlah laki-laki normal yang masih tertarik dengan lawan jenis.

Meski sudah diperingatkan sedemikian rupa, ia tetap tak sanggup menahan panggilan alam yang tiba-tiba datang. Jiwa laki-lakinya mulai penasaran. Rey tahu bahwa ia tak boleh seperti itu. Hak Zinnia lah untuk melarangnya. Bagaimana pun juga mereka berdua hanyalah orang asing yang sialnya saling bertukar jiwa.

Rey lalu berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Ia tak mau menyalahi permintaan Zinnia, meski rasa penasarannya cukup tinggi. Pria itu menahan segala rasa tak nyaman itu serta membuang pikiran-pikiran kotornya. Bagaimana pun juga ia merupakan seorang laki-laki terhormat. Ia tak boleh merendahkan harga dirinya bahkan di hadapan Zinnia.

"Gak ada makanan layak apa?" gumam Rey ketika menilik kulkas Zinnia. Di sana hanya ada lima butir telur ayam, satu dus susu bubuk rasa cokelat, roti tawar yang tinggal setengah bungkus, kubis, tomat, empat buah sosis ayam seharga seribuan, serta buah apel dan jeruk yang masing-masing berjumlah dua.

Rey kemudian mengambil ponsel milik Zinnia dan menelpon kembali nomor sang adik. Ia ingat bahwa ponselnya selalu ia kunci. Jadi, Zinnia tak mungkin bisa menggunakannya.

"Halo? Ini siapa ya?" Mendengar sang adiklah yang mengangkat panggilannya, Rey langsung menutup telepon itu.

"Sialan. Udah dibawa Chandra," sungut Rey menatap layar ponsel gadis itu yang terdapat wallpaper fotonya sendiri. Rey tampak tersenyum tipis melihat foto itu. Wallpaper ponsel itu tampak ceria, sedangkan ponselnya sendiri terpasang gambar dan tema berwarna gelap. Rey lalu memanggil nomornya sendiri. Ketika sudah tersambung ia langsung mematikan panggilan itu. Untuk menghilangkan jejaknya, Rey menghapus history pada ponsel Zinnia.

Rey kembali pada tujuan utamanya yaitu sarapan. Dengan terpaksa ia membuat telur ceplok dan memanggang dua potong roti tawar beserta semua sosis yang ada dengan teflon. Tak banyak memang peralatan memasak di kontrakan Zinnia, berbeda dengan rumahnya. Baru hendak menyantap makan paginya, Rey tampak mendelik melihat sesuatu berjalan cepat di lantai. Dengan gerakan cepat ia langsung berlari ke dalam kamar sembari membawa roti isi dan segelas susu. Lalu menutup pintu kamar itu. Ia tampak pucat seperti baru saja melihat hantu.

"Kenapa di sini ada kecoa?" tanya Rey masih mengatur napasnya.

Di rumah Rey sendiri, sarapan sudah disediakan beraneka ragam oleh seorang asisten rumah tangga. Jadi, tak perlu repot-repot memasak sendiri dan tinggal santap saja. Zinnia yang sudah secara terpaksa selesai mandi, duduk kagum melihat masakan di hadapannya. Gadis itu kini sudah berpakaian rapi dengan kemeja berwarna hitam dan celana panjang milik Rey yang tentu saja sudah disetrika sangat licin. Saking licinnya mungkin lalat saja akan terpeleset jika berani hinggap di baju itu.

Hingga pukul sembilan kurang seperempat, jiwa Zinnia yang masih berada di dalam tubuh Rey sudah berada di bandara bersama Chandra. Mereka tengah menunggu kedatangan kedua orangtua Rey. Zinnia tampak begitu gugup. Ia benar-benar tak tahu bagaimana kedua orangtua Rey. Apakah menyebalkan seperti pria itu? Jika saja adik Rey tak mengajaknya, ia pasti sudah menuju kontrakan miliknya untuk menemui dirinya sendiri.

"Pah, Mah. Selamat datang," ucap Chandra pada kedua orangtuanya. Ayah dan ibu Rey tersenyum melihat kedua putra mereka.

"Iya, Chandra, Rey," ucap sang ibu sembari memeluk Chandra. Zinnia hanya memasang sebuah senyuman. Lalu secara tak sadar ia mencium punggung tangan ibu dan ayah Rey sebagai bentuk rasa hormatnya. Perbuatannya itu justru membuat ketiga orang itu terkejut tak percaya.

Suasana hangat mulai tercipta seiring senyuman yang terpasang di wajah tampan Rey. Membuat kedua orangtua Rey yang masih heran dengan tingkah aneh anak sulung mereka merasa sedikit senang. Tampaknya mereka senang dengan kehangatan Rey di hari itu. Hari itu pun Zinnia menghabiskan waktu bersama keluarga Rey di rumah mewahnya. Ternyata hidup jadi orang kaya enak juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status