Clarissa tidak bisa bergerak. Kenginannya datang ke rumah Adimasta mau melepaskan amarah yang sudah berkecamuk di hatinya. Di dalam kepalanya sudah banyak kata-kata yang dia mau tumpahkan untuk meluapkan semua kekesalan. Apa daya! Di depan Alicia, Clarissa tidak mampu memulai. Dari mana dia akan memarahi Adimasta coba?
"Enak nggak?" Alicia memperhatikan Clarissa yang mengunyah pelan-pelan, tidak segera menjawab pertanyaannya.
"Oh, enak, Tan. Beneran. Ga terlalu manis, ada gurih, crunchy. Pas banget." Clarissa tersenyum.
"Tambah lagi. Yuk, ini." Tangan Alicia mendekatkan lagi toples ke depan Clarissa.
Clarissa tidak bisa menolak. Dia mencomot satu lagi dan langsung menggigitnya.
"Kenapa aku ga ditawarin? Aku juga mau." Adimasta mendekat, mengulurkan tangannya mengambil juga sepotong cookies.
Alicia tersenyum. Adimasta paling suka masakannya. Apapun yang dia masak, Adimasta akan makan dengan lahap tanpa protes. Dia selalu membuat Alicia
Kedua mata Adimasta melebar, meski tidak lebar juga. Dia menatap lekat-lekat apa yang Clarissa tunjukkan di depannya. Erni memasang foto mereka berdua. Ya, tadi Adimasta mengantar Erni pulang! Astaga, itu cewek sengaja ambil foto tiba-tiba buat dipamerkan di sosmed. Waduh, masalah betul! "Kamu ke mana selesai kuliah? Kenyataan dan jawaban kamu beda!" Clarissa seolah-olah punya ruangan luas untuk menghabisi Adimasta sekarang. "Clay, itu ga sengaja. Pas mau keluar kampus, ketemu. Karena sejalan aku bonceng Erni." Adimasta mulai meruntut kejadian sepulang kuliah itu. Dia katakan apa adanya, tampa ditambah atau dikurangi. "Bagus! Sudah tahu rumah Erni sekarang. Besok tinggal jemput buat ke kampus bareng. Dekat juga dari kampus. Asyik, tuh." Ucapan Clarissa terdengar ketus. "Ya nggak la ... Aku malah mau antar jemput kamu. Sayangnya tunggangan kamu lebih keren dari punyaku. Gimana?" Adimasta tetap bisa santai menghadapi Clarissa.&nb
Pembicaraan dengan Anindita cukup membuat Clarissa lebih tenang. Tidak lagi rasa meledak di dada. Tiba di tempat kos, apa yang terjadi di rumah Adimasta terpampang kembali di matanya. Orang tua Adimasta begitu menyenangkan. Clarissa sangat nyaman dengan mereka. Sedang Anindita, yang awalnya tidak begitu peduli hubungan Clarissa dan Adimasta, dia banyak bicara tentang bagaimana adiknya. "Apa iya, aku yang lebay sama Adimasta. Tapi, cowok kalau dikasih hati bukan bisa aneh-aneh? Aku ga mau kayak mama, ditinggal papa. Mama sayang sekali sama papa, aku tahu itu. Kenyataannya sayang aja ga cukup." Clarissa bicara sendiri. Menjalin hubungan tidak semudah asal bilang cinta. Ada banyak hal yang mengelilingi kata cinta yang akan menentukan hubungan itu akan jadi seperti apa. Adimasta sejak awal memang cinta Clarissa. Sedang Clarissa, dia hanya memanfaatkan Adimasta demi kepentingan dirinya. Setelah sekian bulan bersama, tidak bisa dipun
Mata Diaz masih tertuju pada Clarissa dan Adimasta yang tidak menyadari kedatangannya dalam kelas itu. Para mahasiswa yang lain juga hampir sama. Ada yang sudah mulai mengeluarkan peralatan, ada yang masih sibuk dengan yang bukan berhubungan dengan perkuliahan. "Peraturan dalam kelas yang aku ajar sangat jelas. Aku tidak suka jika ada yang makan di dalam kelas!" Lantang dan tegas suara Diaz ke seluruh ruangan. Kedua matanya belum beralih dari Clarissa dan Adimasta. Semua mahasiswa seketika memandang padanya. Lalu mereka mengikuti arah mata Diaz, tatapannya menghujam pada sepasang kekasih yang tengah asyik di dalam kelas itu. Clarissa memegang sepotong roti yang siap dia suapkan pada Adimasta. Sementara Adimasta hampir saja membuka mulutnya. "Memang sudah benar jika mahasiswa datang lebih awal ke kelas sebelum perkuliahan mulai. Tapi, alangkah lebih bagus jika sudah siap begitu dosen masuk dalam kelas," tukas Diaz. Beberapa teman rasanya ingin tertawa
"Sejak kapan bisa ngegombal? Belajar sama siapa? Keseringan berdua sama cewek-cewek?" Clarissa mencibir. Adimasta mengangkat kacamata di atas kepalanya sambil tersenyum lebar. "Nggak, dong. Aku sering nonton film. Romance," jawab Adimasta. "Serius?" Clarissa melebarkan mata. "Hee ... Nggak. Canda, Clay." Senyum Adimasta muncul kembali. "Ntar pulang kuliah jalan, yuk?" ajak Clarissa. "Hari ini?" Adimasta terkejut Clarissa mengajak dia nonton. "Hmm-mm." Clarissa mengangguk mantap. Tentu saja Adimasta tidak menolak. Kejadian langkah ini. Mumpung kekasihnya mau bersikap manis, lanjut saja. Lalu mereka cek film apa yang akan tayang siang hingga sore hari itu. Adimasta membiarkan Clarissa yang memilih. Dia ingin menyenangkan gadis cantik itu. Jika dia happy, Adimasta juga ikut senang. Kuliah berakhir, segera Clarissa dan Adimasta meluncur menuju ke gedung bioskop.
Clarissa tiba juga di tempat kos. Hampir jam delapan malam. Langsung gadis itu menuju kamar Yenny, bukan ke kamarnya sendiri. Dia tidak sabar ingin menginterogasi sahabatnya yang diam-diam menjalin hubungan dengan laki-laki tidak jelas. Dengan langkah tergesa-gesa, Clarissa sampai di depan kamar Yenny. Dia buka pintu dan terkunci. Tidak biasa Yenny mengunci pintu kecuali dia mau tidur atau keluar kamar. "Yenny!" Clarissa memanggil cukup keras. Dia sengaja agar tidak perlu mengulang atau dia akan membuat kamar-kamar lain terganggu dan penghuninya akan muncul di pintu kamar mencari tahu apa yang terjadi. Pintu kamar terbuka, Yenny muncul. Dia memandang Clarissa dengan telunjuknya menutup mulut. Clarissa mendorong pintu lebih lebar dan dia masuk. Dengan rasa kesal Clarissa duduk di ranjang, menatap Yenny yang sedang menutup pintu. Lalu Yenny berjalan ke arah Clarissa, duduk di kursi belajar, menghadap temannya yang memasang wajah sangar. Yenny
Clarissa duduk tegak di atas kasur, dia perhatikan lagi postingan yang menandai papanya itu. Postingan itu dari akun istri Arlon. Dan gambar yang tampak di sana seorang bocah terbaring lemah, kaki dan tangannya dibalut putih. Pada wajah bocah itu terdapat luka-luka. 'cepat sehat lagi, anakku sayang' Clarissa membaca caption yang ada di bawah gambar itu. Tiba-tiba hati Clarissa terasa berdenyut. Bocah tampan yang terbaring tak berdaya itu adalah Calvin, anak Arlon dengan Fransiska. Apa yang terjadi padanya? Clarissa segera mencari kontak papanya dan menghubungi via telpon. Tidak tersambung. Beberapa kali Clarissa mencoba lagi, masih sama. Sepertinya ponsel Arlon tidak aktif. Hati Clarissa makin gelisah. Yang dia pikirkan sekarang, papanya pasti cemas. Selama ini memang Clarissa masih belum berkomunikasi dengan istri dan anak Arlon. Dengan Arlon memang lebih sering sejak pertemua mereka yang lalu. Namun, Clarissa sudah mulai bisa menerima keluarga
Kuliah hari itu selesai. Dengan sedikit lesu Clarissa membereskan peralatannya. Yenny yang ada di sisinya cepat-cepat akan meninggakan kelas. "Aku duluan, Clay." Yenny berdiri seraya menyampirkan tasnya di pundak. "Kamu mau jalan lagi?" tanya Clarissa dengan tatapan tak bersemangat. "Iya, diajak makan sama Stemmy. Abis gitu diantar pulang. Ga ke mana-mana." Yenny menjawab dengan cepat. "Oke." Clarissa menyahut datar. Yenny bergegas keluar kelas. Adimasta yang duduk di belakang Clarissa pindah ke sisinya. Dia perhatikan wajah kekasihnya. Masih seperti tadi pagi, resah. Dia menunggu kabar dari papanya, apakah mereka sudah tiba di rumah sakit atau belum. "Kita makan dulu, yuk?" ajak Adimasta. Clarissa cuma mengangguk. Keduanya berjalan keluar kelas yang sudah sepi. Adimasta mengajak Clarissa ke rumahnya. Adimasta berharap bertemu Alicia akan membuat Clarissa lebih tenang dan sedikit terhibur. Alicia menyambut Clarissa deng
Calvin mengalami perkembangan yang baik meskipun agak lambat. Dia perlu mungkin hingga dua minggu untuk dirawat di rumah sakit. Arlon terpaksa meninggalkan istri dan anaknya karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama. Clarissa akhirnya yang menemani Fransiska di rumah sakit. Setiap pulang kuliah, Clarissa datang menjenguk Calvin. Sempat juga dia ikut menginap di rumah sakit. Clarissa mulai bisa mengenal Fransiska, wanita yang sekarang menjadi istri Arlon. Wanita yang dulu sangat dihindari Clarissa. Bagi Clarissa siapapun wanita yang ada di sisi Arlon telah merebut kasih sayang pria itu buat Clarissa. Yang Clarissa pikirkan, karena wanita itu, Clarissa dan Rosita tidak lagi penting buat Arlon. "Kamu tidak lapar?" Fransiska duduk di sisi Clarissa. Clarissa menoleh dan memandang Fransiska. Dia masih cukup muda, mungkin beda usianya dengan Arlon sampai sepuluh tahun. Fransiska sangat sederhana, tetapi sabar dan penyayang. Sangat berbeda dengan ka