Share

Love Between Blood and Tears
Love Between Blood and Tears
Author: Metathea

Bersitegang

Sebatang rokok utuh sudah bertengger di mulut Antonio hampir lima menit. Manik mata lelaki itu menerawang ke langit-langit, sementara pikirannya melayang menuju masa lalunya. Sebuah rutinitas membosankan yang telah ia lakukan selama belasan tahun, terhitung sejak wanitanya tiada.

Hawa di dalam ruangan itupun selalu sama. Lengang dan redup. Tidak banyak barang di sana. Bukan apa-apa, empunya memang tidak punya banyak barang untuk disimpan. Hal itu akan mempermudah Antonio ketika harus berpindah tempat tinggal dengan cepat dan efisien.

Di sudut lain, gadis berambut hitam panjang terlihat sibuk dengan ponselnya. Sorot cahaya dari benda kotak itu mengenai wajah lesu Thea, gadis tadi.

"Jadi, Papa belum juga keluar dari penjerat itu?" suara parau milik Thea memecah kesunyian subuh hari itu.

"Kamu mendapatkan teror lagi?" Antonio terkesiap, membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak.

"Tidak bisakah Papa menjawab pertanyaan tanpa balik bertanya?" Thea beranjak.

"Gant ...,"

"Ganti nomor ponselmu dan block semua nomor yang menerormu. Aku akan pergi setelah ini. Jangan bukakan pintu untuk siapapun selain Papa." potong Thea.

Antonio menghela nafas kasar. Tangan kanannya merogoh saku dan mengambil pematik api. Lelaki itu mulai membakar ujung gulungan tembakau di mulutnya sambil menyesap asap dari ujung lainnya.

"Aku sudah sangat mahir untuk menirukanmu, bukan?" kata Thea. Saat ini tubunya mulai berpindah menuju partisi kaca yang menjadi sekat antara ruangan gelap tadi dengan ruang tengah. "Papa tidak pernah banyak bicara padaku kecuali karena hal ini," lanjutnya.

"Terlalu banyak yang aku pikirkan," tukas Antonio sembari mulai memasukkan beberapa barang ke dalam tas cokelatnya.

"Dan sayangnya aku hanyalah nol koma sekian persen bagian dari terlalu banyak yang kau pikirkan itu."

Antonio tidak bergeming dengan kalimat putrinya. Ia masih sibuk dengan peralatan yang lebih cocok disebut kumpulan senjata tajam. Beberapa ia masukkan ke dalam tas, sebagian lainnya ditinggalkan di dalam laci. Lelaki bertubuh besar itu yakin gadis kecilnya tahu kapan harus menggunakan benda-benda itu.

Thea berlalu begitu saja. Ia masuk ke dalam kamar meninggalkan sang ayah. Ruangan remang itu kembali senyap, menyisakan suara langkah kaki yang kian menghilang. Antonio membuang putung rokoknya yang masih setengah ke tempat sampah dan meninggalkan apartemen.

Tap tap tap ...

Suara benturan antara lantai dan alas sepatu menggema di sepanjang koridor. Antonio sadar kalau ia tidak sedang berjalan sendirian. Mungkin ada dua hingga tiga orang yang ada di belakangnya. Setelah keluar dari apartemen, Antonio menghentikan langkahnya di pinggir jalan raya yang masih sangat sepi.

"Selamat pagi, Tuan," suara bernada rendah menyapa Antonio.

"Masih terlalu gelap untuk mengucapkan selamat pagi," Antonio berbalik lalu merogoh kantong celana sebelah kanannya.

"Ah, Anda pasti tahu kalau saya tidak pernah peduli perkara itu, bukan?" seulas senyum terlukis dari pria pemilik suara berat tadi.

"Jadi, apa yang membuat para Collard begitu mempedulikan penghutang kecil sepertiku? Sampai-sampai orang kepercayaan Master yang turun tangan sendiri seperti ini," Antonio menyerahkan selembar kertas yang terlipat kusut.

"Tentu saja karena Anda bukan sekadar penghutang biasa." Juan menyambut kertas tadi dengan tangan kirinya.

"Baiklah, bagianku sudah selesai. Sekarang aku mohon jangan mengusik kehidupanku lagi," ujar Antonio sambil berjalan menjauh dari Juan.

"Entahlah Tuan, saya tidak yakin apakah ini sudah selesai atau ...," Juan berjalan berlawanan arah dengan Antonion. Senyum kembali terulas dari wajah lelaki tinggi itu. Ia berhenti sejenak dan melanjutkan kalimatnya, "..., mungkin juga baru permulaan?"

Antonio mengepalkan tangannya keras. Ayah satu anak itu kembali melanjutkan perjalanannya. Seperti biasa, berburu kudapan dan minuman untuk memabukkan diri demi lari sebentar dari realita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status