Share

Cara Untuk Move On

"Itu karena donatnya gagal move on, hatinya sudah lebur jadi abu. Makanya bolong," jelas Lynn dalam satu tarikan napas.

Wajah Steve langsung cengo, gigitan donat dalam mulutnya hampir jatuh.

"Teori macam apa itu?" sanggah Steve.

"Teori Lynn ulala yang membahanalah!" ujar Lynn dalam satu tarikan kecepatan penuh.

"Kau baru saja menyindirku?" Steve menyipitkan mata.

"Baguslah kalau kau merasa tersindir," jawab Lynn sambil lalu membawa cangkir teh kosong miliknya dan milik Steve. Steve memandang punggung Lynn yang tengah mencuci cangkir itu lalu meletakkannya di rak samping wastafel. Lynn mengeringkan tangannya kemudian mendekat ke arah meja.

"Berikan ponselmu!" 

Steve melihat Lynn bergantian dengan tangannya yang kini menadah meminta ponsel.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Steve membuat bola mata Lynn berputar 360 derajat.

"Berikan saja padaku!" 

Steve terpaksa menyerahkan ponselnya menyadari nada paksaan Lynn. Terkadang, Steve memang merasa takut dengan Lynn. Lynn menerima ponsel itu, berusaha menahan senyum kemenangannya lantas mengotak-atik ponsel Steve.

"Nih!" sodor Lynn. 

Mata Steve langsung melotot, ia langsung berdiri dari duduknya. 

"Kau menghapusnya?!" teriak Steve.

"Tentu. Hal pertama yang harus kau lakukan untuk move on adalah menghapus semua foto-fotonya." Lynn melipat tangan di dada, tak ada nada bersalah dalam ucapannya. Berbeda dengan Steve yang kini menatap nanar galerinya. Lynn benar-benar menghapus semuanya tanpa tersisa. Itu berarti, Steve tak bisa lagi melihat wajah cantik Rose.

"Dengar, Steve, kau harus bisa melupakannya, kau harus move on darinya. Bagaimanapun caranya. Karena percuma saja kau menyimpan memori dengannya, Rose tak akan peduli dengan kenangan manis kalian dan Rose mustahil berlabuh kembali di hatimu. Yang ada justru kau yang semakin terluka, Rose pastinya sudah bersenang-senang dengan pacar barunya. Kalau Rose saja bisa kenapa kamu tidak, ya kan?!" Lynn menatap manik mata Steve, Lynn tak berniat mengungkit masa lalu. Namun, sepertinya itu perlu untuk menyadarkan Steve saat ini.

"Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya semudah itu jika dia tidak hanya membawa separuh jiwaku, tapi seluruh jiwaku!"

Lynn merasa sedikit bersalah, wajah Steve sudah murung di pagi yang cerah itu.

"Oleh sebabnya itu, kau harus membuktikannya," ujar Lynn dengan lembut. Lagi-lagi Steve hanya menatapnya kemudian mengangguk. 

"Senyum, dong!" 

Senyum terpaksa menghiasi bibir Steve.

"Langkah kedua apa?" Senyum Lynn merekah mendengar pertanyaan Steve.

"Bakar semua fotonya."

Steve memasuki kamarnya diikuti Lynn, pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kamar lelaki itu. Aroma maskulin menusuk inderanya. Netra Lynn menatap setiap sudut-sudut dinding.

"Bolehkah?" izin Lynn.

Steve mengangguk diikuti helaan napasnya. Lynn merebut sebuah bingkai foto Rose yang sedang tertawa, tampak seperti foto yang diambil diam-diam. Namun, Rose tampak terlihat bahagia di foto itu. Rasanya bagai dongeng, Rose meninggalkan Steve begitu saja, apa perasaan Rose hancur seperti Steve atau Rose memang tak mencintai Steve? Batin Lynn.

Terkaan Lynn salah total kala dia mendapati foto Steve dan Rose yang saling merangkul. Di foto itu, Rose melirik ke arah Steve, tampak cinta yang besar di matanya. Sebenarnya apa motif Rose meninggalkan Steve? Pikir Lynn.

Lynn melepas foto-foto tersebut dari bingkainya, melepas jepitan-jepitan foto polaroid di kamar Steve. Steve hanya terduduk pasrah menyaksikan Lynn melepas semuanya.

Steve membawa Lynn ke taman belakang, menumpukkan ranting-ranting kecil kemudian menyalakan api. Mata Steve meredup, Lynn menatap bola mata Steve yang terpantul cahaya api.

"Kau bisa melakukannya, kan?" Lynn menyerahkan foto-foto kebersamaan Steve dan Rose. Lynn melangkah masuk ke rumah, memberikan ruang privasi untuk Steve.

Steve menatap foto-foto tersebut untuk terakhir kalinya. Menyaksikan satu-persatu foto-foto itu dilahap api. Steve memandang lama foto terakhir di tangannya, foto kala dia mengecup kening Rose. Foto itu seketika hangus kala bersentuhan dengan api dan perlahan api itu memadam, kehabisan ranting dan bahan bakarnya.

"Sudah?" tanya Lynn mengalihkan matanya dari majalah pria di meja ruang tamu. Steve mengangguk pelan lalu menyandarkan dirinya di kursi, matanya terpejam.

"Makasih, Lynn. Aku merasa sedikit lebih baik."

Lynn hanya mengangguk.

"Tapi, bagaimana aku bisa melupakan kenangannya?" tanya Steve kembali. Seumur hidup dia tak pernah mengalami kegalauan bertaraf ekstrem sebelum bertemu dengan Rose. Masih diingatnya mantan-mantannya; Indah, Clara, dan Jessi. Steve cukup santai saja walau memang Steve sendiri yang memutuskan hubungan dengan mantannya saat itu. Berbeda dengan Rose. Rose yang memutuskannya, secara tak terduga.

"Kau harus alihkan fokus pikiranmu. Cobalah kencan dengan wanita lain," saran Lynn.

"Aku tak dekat dengan seseorang saat ini," balas Steve.

"Kalau begitu, kencan denganku saja." 

Steve lantas tertawa, dia menanggapi ucapan Lynn sekedar gurauan, itu sungguh menggelitik perutnya. Tapi, aku serius, Steve! Teriak Lynn dalam benaknya. Lynn lantas tersenyum paksa dan ikut tertawa.

Steve merenungkan saran 'kencan' Lynn. Di kepalanya dominan memilih Jessica. Namun, Steve dilanda kebingungan, dia bahkan tak kenal Jessica, pertemuan mereka sedikit tragis. Steve jujur bahwa dia menaruh minat, tertarik dengan Jessica. Namun, bagaimana jika Jessica sedang dekat dengan seseorang? Pikiran Steve berkecamuk. 

Steve memberanikan diri menghubungi Jessica yang langsung diangkat pada dering pertama. Lenyap sudah beban pikiran berkecamuknya kala mendengar sapaan Jessica, tawanya sungguh menenangkan. Obrolan keduanya mengalir hingga lima belas menit lamanya, degup jantung Steve menderu. Haruskah dia mengajaknya kencan atau tidak? Batin Steve. Namun, bagaimana jika dia menolak? Mau ditaruh mana mukaku? Lagi-lagi pikiran Steve berkecamuk. Jessica memanggil nama Steve, menyadari suara hening di teleponnya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" 

"Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?" 

Steve menghela napas. Dia akan melakukannya, resiko ditanggung di belakang.

"Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" tanya Steve pelan. Suara hening seberang telepon memacu deru jantung Steve, tanpa sadar dia menggigit bibirnya. 

"Tidak untuk saat ini, kenapa?"

 Tubuh tegang Steve melemas kemudian menghela napas lega, senyum terbit di wajahnya.

"Aku hendak mengajakmu ke suatu tempat. Hm, sekedar perkenalan. Tapi, ya itu ... jika kau tak keberatan." 

Jessica sedikit tertawa mendengar nada patah-patah ucapan Steve.

"Tentu," jawab Jessica. 

Steve bersorak menang dalam hati. Steve mulai mengatur jadwal pertemuannya dengan Jessica dan langsung disetujui Jessica.

Steve bangun lebih pagi bersiap menuju tempat kerjanya, kemudian mengeluarkan mobilnya dari garasi. Sebelumnya, dia mampir di toko donat langganan Lynn, membeli se-boks donat favorit Lynn.

Lynn menatap bergantian boks donat dan wajah Steve yang menurutnya terlalu berbinar, tampak terlihat seperti baru saja memenangkan lotre.

"Sebagai ucapan terimakasih," jelas Steve.

"Aku baru saja mengajak Jessica kencan, bukan, tepatnya perkenalan ulang," lanjut Steve. 

Alis Lynn bertautan, mengingat nama teman wanita Steve tapi tak kunjung menemukan nama Jessica. Lynn kembali menatap Steve menuntut penjelasan lebih, dilihatnya Steve mendengus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status