Di sebuah taman yang hijau, Steve duduk berselonjor kaki di bawah rindang pohon beralas rumput. Menikmati semilir angin yang menerpa. Tak lama kemudian, wanita itu datang menenteng bakul makanan di tangan kanannya. Rambut pirang panjangnya yang lurus menari-nari terbang terbawa angin. Ujung-ujung dress kuning selututnya juga ikut melambai-lambai seiring langkahnya. Wanita itu, Rose. Kekasih Steve. Mahasiswi pertukaran pelajar internasional dari Ukraina yang berhasil menyita perhatian Steve. Steve jatuh cinta pada pandangan pertama sejak Lynn –sahabatnya– memperkenalkannya. Steve tersenyum melambai ke arah Rose. Rose membalas tersenyum sembari mempercepat langkahnya. Lesung pipinya terhias indah di kedua pipinya. Lesungnya itu yang membuat Steve rindu setengah mati.
"Aku merindukanmu, Steve." ujar Rose sembari mengecup pipi kanan Steve. Rose tersenyum lagi, menampakkan lesung pipinya. Steve menangkup kedua pipi Rose memerhatikan pipi Rose yang merona terkena si
"Kebetulan sekali, aku memang mencarimu sedari tadi!" Lalu, Jeff merogoh saku bajunya menyodorkan undangan bersampul merah muda ke arah Lynn. "Ulang tahun adikku," ujar Jeff menjawab kebingunan Lynn. Lynn hanya manggut-manggut lalu membaca sekilas sampul undangan tersebut. Matanya terpaku pada sebuah nama 'Roselina" awalan nama adik Jeff kembali menyayat hatinya, sosok yang berusaha dilupakannya kembali mencuat muncul di benaknya hanya karena awalan namanya yang sama 'Rose'. "Jadi, selama ini kau–" "Maafkan aku. Aku sangat buru-buru, Lynn. Aku menunggumu nanti malam," potong Jeff lalu berbalik meninggalkan Lynn. Lynn menatap punggung lelaki itu yang sudah menjauh. Dia mengatur napas, nanti malam saja dia akan mengatakannya. "Kau keluar makan sendiri? Tak ingatkah kau punya teman seruangan?" tanya Leiss memburu menatap Lynn yang berdiri
"Aku juga ingin mengatakan sesuatu. Ya, sesuatu yang sedikit mengangguku akhir-akhir ini." Lynn tak mengindahkan tatapannya dari kolam ikan. Lama keduanya terdiam, Lynn menoleh. "Jadi, apa yang ingin kau katakan?" tanya Lynn memecah keheningan. "Mungkin kau yang harus mengatakannya terlebih dahulu. Lady's first," ujar Jeff.Lynn terkekeh kecil mengernyit. "Tak. Kau yang lebih dahulu. Kau lebih dahulu ingin mengatakan sesuatu," balas Lynn. Suasana kembali hening. Jeff tampak berpikir lalu pria tersebut kembali menghela napas. "Baik. Dengarkan aku dengan cermat!" ujar Jeff terkekeh kecil. Jeff menatap dalam manik mata Lynn. Jeff menarik kedua tangan Lynn, menggenggamnya. Ibu jarinya mengusap-usap punggung tangan Lynn. Lynn menatap Jeff berkerut kening. Dia ingin menarik tangannya, tapi dia tak melakukannya. Dibiarkanlah tanganny
Steve berdiri di sebuah lorong dengan semak belukar yang tinggi, dindingnya berlumut. Ia melangkah masuk lebih dalam menemui lorong-lorong yang bercabang. Ini bukan lorong biasa, lorong ini menyusahkan, lorong labirin. Salah satu hal yang tak disukai Steve. Baginya, hidupnya saja sudah menyulitkan, Steve tak ingin menyulitkan kakinya hanya untuk menemukan pintu keluar. Lorong-lorong itu sangat terang bahkan Steve dapat melihat langit yang biru, tapi tak terasa panas sedikitpun. Steve berjalan mundur, pintu keluar masih dalam ambang penglihatannya. Steve mundur menyisakan lima langkah lagi mencapai pintu keluar. "Rose?" ujar Steve menatap sebuah punggung wanita yang muncul dari lorong kiri. Rambut sepinggang berwarna pirang, gelang berliontin mawar di pergelangan tangan kirinya lalu setangkai mawar merah berduri di tangan kanannya. Darah tangan kanan Rose menetes, melumuri buku-buku tangannya, sangat kontras di kulit pucatnya. "Rose!" pan
"Pak Endrik mengatakan sesuatu?" tanya Emily. "Tidak ada. Hanya salam perpisahan," jawab Steve.Arya dan Emily hanya manggut-manggut. Wajah keduanya nampak murung, mereka akan segera berpisah nanti malam. Pertemuan, apakah pertemuan hanya ada untuk membuahkan perpisahan? "Aku akan ikut mengantarmu nanti malam dan kau jangan lupa menjemputku!" tunjuk Emily ke arah Arya dengan sedotan minumannya.Arya hanya mendelik sedangkan Steve terkekeh kecil menyaksikan keduanya. Saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Steve mulai membenahi barangnya. Tak butuh waktu lama barangnya terkemas dalam kopernya bersamaan dengan ponselnya yang berdering. "Halo!" sapa Steve.Terdengar grasak-grusuk di seberang telepon. "Steve!" panggil Jessica. "Kau akan pulang nanti?" tanya Jessica. "Ya," jawab Steve singkat.
"Ayo berangkat!" ujar Steve. Lynn mengangguk sambil lalu membawa piring kosong keduanya. Lynn cukup mengerti, Steve berada dalam keraguan dengan Jessica. Steve berdiri di samping motor besarnya menunggu Lynn yang belum keluar. Steve menatap terpaku ke arah Lynn yang juga menatap Steve tak berkedip. "Ada apa, Steve? Aneh?" tanya Lynn lalu memerhatikan kostumnya. Jean ketat abu-abu berpadu baju berlengan panjang, rambut panjangnya dikuncir tinggi dengan kalung kecil melingkar di leher jenjangnya. Tak ada yang salah dengan kostumnya, memang sudah seharusnya begitu. Lynn tak mungkin mengenakan dress untuk mengendarai motor. "Tidak ada," jawab Steve. Ada sesuatu yang menggejolak dalam dirinya. Namun, dia sendiri tak tahu apa. Steve menyodorkan helm untuk Lynn. "Steve, pengaitnya tak bisa masuk," ujar Lynn. Steve menoleh menatap Lynn,
"Maafkan aku," ulang Lynn menyodorkan ponsel miliknya. Lagi-lagi pria itu hanya mengangguk, dan berlalu cepat meninggalkan tempat tersebut."Kau tak apa?"Lynn menggeleng-gelengkan kepalanya, dia baik-baik saja. Ia menyelipkan rambut basahnya di belakang telinganya."Kau lihat tadi?" Lynn memperagakan reaksi pria tadi yang hanya mengangguk terus, seperti orang bisu saja."Ah, sudahlah. Ayo!" Lynn menarik Steve.Degup jantungnya masih memacu, apa yang terjadi padanta jika saja pria tadi tak menangkapnya. Buruknya, kepalanya mungkin akan terkantuk di pinggir kolam atau barangkali kecebur kembali ke kolam dengan kepala di bawah, menubruk dasar kolam. Oh tidak, yang terakhir memalukan.Lynn baru saja keluar dari ruang ganti, Steve sudah berdiri bersandar di dinding dekat pintu. Keduanya berjalan beriringan menuju ke parkiran. Steve memasangkan helm di kepal
Steve yang selesai makan duluan, tersenyam-senyum menatap Jessica yang lahap makannya. Jika saja semua wanita seperti Jessica tentu akan sangat mempermudah para pria tanpa perlu merasa bersalah karena salah pesan menu."Pulang?"Jessica mengangguk."Kau bisa menemaniku besok malam?" tanyanya sebelum turun dari mobil Steve."Jadwalku besok kosong," lanjutnya.Steve mengangguk, "Iya, tentu."Steve menarik koper Jessica, mengikuti langkah wanita itu menuju kamarnya. Pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kamar wanita itu. Sangat luas, jauh lebih luas ketimbang ruang tamunya, ditambah lagi lemari full kaca yang semakin membuat luas ruangannya. Wajar saja jika kamarnya luas, Jessica seorang model, dia butuh ruangan untuk menampung pernak-pernik kebutuhan modelnya. Tak kunjung habis Steve menatap sudut ruangan tersebut. Lalu, matanya melotot saat objek matanya Jessica."A-apa yang kau lakukan?"
"Bersenang-senang di Bali, huh?!" Fianne bersedekap tangan di dada, menatap Steve yang baru saja datang."Untukmu." Steve menyodorkan paperbag."Syal?" Wajah Fianne berubah 180 derajat, yang tadinya berwajah masam kini berubah sumringah."Kau tahu saja aku pengoleksi syal. Kau yang terbaik." Fianne mengacungkan dua jempolnya.Tentu saja Steve tahu, sejak hari pertama kerja. Steve memang sudah mengulas segala hal yang disukai teman kerjanya. Menurutnya, suatu saat akan berguna terlebih untuk menyumpal mulut cerewetnya."Oh ya, ada kabar baru tentang Lynn dan Jeff?" Steve sudah mencoba mengorek info dari Lynn, tapi wanita itu memang susah buka mulut terlebih soal cinta."Sepertinya tidak ada. Aku sering melihatnya, dan keduanya bagai teman biasa alih-alih seorang kekasih. Eh, tapi aku punya kabar buruk tentangnya." Fianne menahan tawa.Steve mengerutkan kening, "Kok senyam-senyum, kabar buruk ba