Klub mewah Royal Ravelle bagai permata malam di jantung ibukota Muliakarta. Fasadnya mencerminkan mahakarya arsitektur kaca dan cahaya. Di dalam, klub itu adalah dunia glamor eksklusif. Lampu-lampu gantung kristal mengerlipkan bias bepola ke seluruh penjuru ruangan.
Dengung percakapan berpadu dengan dentuman musik yang menghentak, menghadirkan sensasi khas klub malam. Para pelayan berseragam meliuk-liuk di tengah kerumunan, diantara tebaran aroma parfum-parfum mahal, menyeimbangkan nampan-nampan berisi minuman dan hors d'oeuvres.
Rinjani Wardhani berjalan masuk ke dalam klub dengan anggun dan tenang, persis di belakang Zora, saudari tirinya. Rinjani mengenakan gaun hasil rancangannya sendiri, terusan berwarna hijau zamrud tanpa bahu dengan tebaran batu amethyst halus yang serasi dengan postur semampainya. Beberapa pasang mata mengamati, tapi Rinjani tetap fokus pada Zora, yang berjalan menuju meja undangannya.
***
Kedua mata Rinjani memindai suasana klub. Ini adalah kali pertama ia masuk ke Royal Ravelle, dan bahkan ke tempat yang dijuluki klub malam. Jika bukan karena ketegangan yang terjadi dengan ayahnya sore tadi, dan jika bukan Zora yang membujuknya, klub malam takkan pernah jadi pilihan Rinjani–untuk alasan apapun.
Di sebuah meja besar, beberapa lelaki setengah baya tampak berbincang seru satu sama lain. Satu tangan memegang gelas berisi whiskey dan tangan yang lain memeluk wanita di sampingnya atau menjepit cerutu.
Para sosialita dan selebriti papan atas pun berkumpul di kelompok meja mereka. Beberapa dari mereka bergantian untuk berpose selfie di depan logo ‘RR’ besar berwarna violet bergaris tepi perak. Kesemuanya itu menjadi cerminan gaya hidup di klub Royal Ravelle malam ini.
“Tidak buruk ‘kan? Kujamin kamu akan terbiasa lalu jatuh cinta dengan suasana di sini.”
Mata Zora nyaris membelalak karena antusias. Mereka lalu duduk di salah satu meja undangan dekat lantai dansa.
Rinjani mengangguk kecil dan menanggapi ringan, “Ya, ini…mengesankan.”
Senyuman tipis Zora merekah mendengar ucapan adik tirinya itu.
Keduanya menyaksikan pesta berlangsung. Seorang Disc Jockey tampil, memainkan intro irama musik besutannya yang terkenal. Orang-orang segera berhamburan ke lantai dansa. Zora lalu mencondongkan badan ke arah Rinjani.
“Rin, tunggu disini ya, aku akan mengambil minuman. Siapa tahu beberapa teman mau bergabung dengan kita.”
Rinjani tak menyahut, dan saudara tirinya itu telah bergerak lincah melewati kerumunan orang menuju bar. Sementara di lantai dansa memanas dari energi gerakan kerumunan, Rinjani hanya bersantai di sofa, bersandar sambil selayang pandang dari satu orang ke orang yang lain.
Tak lama berselang, Zora kembali membawa dua gelas koktail, dan meletakkan satu di depan Rinjani.
“Ini dia. Mari bersulang!” katanya sambil mengangkat gelas.
“Untuk apa?” Rinjani bertanya sedikit sinis.
“Ikatan persaudaraan.” Zora tersenyum lalu mendentingkan gelas mereka.
Zora minum sembari memandang ke sekitar, mencoba mengenali orang-orang di sekitarnya. Ia lalu melirik ke arah Rinjani yang membiarkan dirinya bersandar santai sambil menikmati koktail. Senyuman kecil Zora nyaris tak kasat sebelum kemudian ia berdiri.
“Sepertinya beberapa temanku ada di lantai. Aku akan bergabung dengan mereka. Ikut?”
Rinjani melambaikan tangan. “Silakan saja. Mungkin aku akan ke bar saja nanti.”
Zora ragu-ragu, tersenyum sejenak, kemudian melangkah pasti menuju kerumunan.
***
Rinjani minum perlahan, berusaha berdamai dengan pikirannya yang tidak lebih sepi dari suasana lantai dansa.
“Klub ini seperti dunia lain, tapi setidaknya, ini lebih baik daripada di rumah,” pikirnya. Ia pun menyesap koktail sekali lagi. Potongan episode perseteruan dengan ayahnya sore tadi berputar kembali di kepalanya.
“Kekanak-kanakan kamu! Kamu pikir bisnis ini hanya untuk kebanggaan Papa?” Postur ayahnya yang tinggi tegap menjulang di depannya. Rinjani masih ingat wajahnya yang memerah dibakar amarah. “Peleburan baja ini warisan dari kakekmu untuk keluarga kita, untukmu dan keturunan keluarga Wardhani berikutnya. Reputasi kita, kenyamanan yang kita nikmati, kita jaga dengan kerja keras, dengan konsistensi, bukan mimpi sesaat seperti desain-desainmu itu.”
“Kenapa sulit sekali untuk Papa sadar? Kita punya bakat dan jalan yang berbeda. Aku bahagia dengan yang kulakukan. Aku Rinjani, bukan Papa, bukan Zora. Biarkan aku menjadi diriku sendiri.”
Dentuman musik yang mengakhiri sebuah lagu menyadarkan Rinjani. Entah sejak kapan air matanya pertama kali menetes. Rinjani mengusap jejak airmata di pipinya. Lalu, ia merasakan sebuah sensasi aneh. Jari-jari Rinjani mencengkeram tepian meja saat ruangan itu tampak kian miring. Beberapa kali ia mengerjapkan mata, mencoba menghilangkan kabut yang menyelimuti pandangannya.
Dari lantai dansa, diam-diam Zora memperhatikan dengan bibir tersenyum. Ia berbisik kepada seorang pria di sampingnya, yang lalu mengangguk sebelum pergi menerobos kerumunan.
Rinjani merasa perlu udara segar, atau setidaknya tempat yang lebih sepi untuk menenangkan diri. Kakinya terasa lunglai saat ia berdiri dan setiap langkah terasa lebih berat dari langkah sebelumnya. Tanpa tahu seberapa jauh melangkah, Rinjani menemukan kamar kecil. Ia nyaris mendobrak pintunya untuk masuk. Meskipun pandangannya mulai kabur, ia melihat eseorang berdiri di depan wastafel. Pria itu mengamati sosoknya yang goyah.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya, pura-pura khawatir. Rinjani melangkah mundur, tapi gerakannya terlalu lamban. “Tak apa, aku tidak apa-apa,” gumamnya, sedikit gemetar.
Pria itu menyeringai. “Sepertinya tidak.” Dia meraih lengan Rinjani lalu mendorongnya mundur hingga tersandar ke dinding. Kepanikan melanda, tetapi tubuhnya sulit bekerja sama. Pria itu terus mencengkeram dan mendekat.
Dari balik celah pintu yang terbuka, Zora berdiri, tersenyum puas. Ia mengangkat ponselnya dan mulai mengambil foto. “Mati kau sekarang,” bisiknya. Tiba-tiba, dari ujung matanya ia melihat sekelebat bayangan dari arah belakang, secepatnya Zora pergi dari sana.
***
Pintu kamar mandi terbuka dengan hentakan keras. Cahaya dari koridor menyusup masuk, memproyeksikan bayangan panjang seorang pria jangkung yang memenuhi ambang pintu.
Raynar Wiyasa Nawasena melangkah masuk—aroma alkohol samar dari pakaiannya. Dua pengawal berjas hitam mengikuti di belakangnya, siap untuk apa pun.
Matanya menyipit ketika memindai ruangan sebelum melihat kelakuan seorang lelaki bertindak kasar pada Wanita di depannya. Rahang Raynar mengeras, urat di lehernya menonjol.
"Aku tak suka melihat yang seperti ini."
Kedua pengawalnya mengerti arti ucapan itu. Mereka bergerak seketika. Satu pukulan mendarat di tengkuk penyerang Rinjani, membuat pria itu terhuyung, kemudian pengawal kedua mencengkeram kerah kemejanya.
"Bawa dia ke keamanan."
Raynar lalu mendekati Rinjani yang duduk bersandar di dinding. Penyerang itu diseret keluar, sepatunya berdecit di lantai, meninggalkan keheningan yang berdenging.
Raynar menutup jarak di antara mereka dengan langkah-langkah panjang, kemudian berjongkok di depan Rinjani. Parfum campuran kayu mahoni dan jeruk bergamot dari kemeja Raynar menyusup ke hidung Rinjani, mendahului aroma alkohol dari kemejanya.
"Hei," panggilnya, suaranya melembut. "Kau terluka?"
Cahaya lampu memperlihatkan wajah pucat Rinjani. Matanya mengerjap pelan, berusaha fokus. Napasnya pendek dan tak beraturan—udara terasa berat di paru-parunya.
"A–Aku–" Suaranya terdengar seperti bisikan bahkan di telinganya sendiri. "Ya… Kurasa–" Kata-kata itu terputus.
Raynar mengerutkan kening, matanya yang tajam menyipit, mengamati wajah Rinjani. Kepala Raynar pun masih pening oleh pengaruh alkohol, tapi ia yakin kondisinya lebih baik daripada wanita cantik di depannya ini.
"Tidak," ucapnya tegas. "Kamu tidak baik-baik saja."
Ia menjulurkan tangan, jari-jarinya berhenti beberapa sentimeter dari wajah Rinjani—sebuah permintaan izin tak terucap. Lalu, dengan kelembutan tak terduga, ia menyibak rambut yang menutupi hampir separuh wajah Rinjani.
"Kau mau kuantar pulang?"
Rinjani membuka mulutnya, kata-kata penolakan sudah di ujung lidah—penjelasan tentang Zora, tentang bagaimana ia tidak sendiri malam ini. Namun, saat matanya bertemu pandang dengan mata Raynar, ia terdiam. Alih-alih menolak, ia justru mengangguk pelan—sebuah gerakan kecil yang akan mengubah segalanya.
***
Sebuah mobil hitam terparkir dalam kegelapan, nyaris menyatu dengan bayangan gedung Royal Ravelle. Raynar mendudukkan Rinjani di kursi penumpang depan. Perlahan Rinjani merasakan kulit jok yang dingin, kontras dengan tubuhnya hangat.
Raynar memutar kunci, dan mesin menyala dengan dengung halus. Ia mencengkeram kemudi dengan kedua tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Kepalanya tertunduk, keringat menetes dari pelipisnya, dan satu tetes jatuh ke pangkuannya.
Rinjani mengamati dari sudut matanya—garis rahang yang tegas, bekas luka tipis di bawah telinga kanannya, dan caranya menarik napas dalam-dalam. Entah bagaimana Rinjani menyadari bahwa di balik penampilan tenang lelaki ini, ada badai yang nyaris tak terkendali.
"Terima kasih," bisik Rinjani, suaranya serak dan lemah.
Raynar menoleh, pandangan mata mereka bertemu dalam keremangan.
"Istirahatlah," sahutnya. "Kamu sudah aman sekarang."
Waktu seakan meregang dan menyusut di sekitar mereka. Jari-jari Rinjani bergerak tanpa perintah, terulur untuk menyentuh lengan Raynar. Kain jas halus diusap lembut jemarinya. Ketegangan di antara mereka bergeser, berubah menjadi sesuatu yang lain—seperti gravitasi yang menarik keduanya jatuh pada titik yang sama.
"Kamu tak semestinya sendirian di sana." Suara Raynar sedikit tercekat.
Rinjani refleks mendekat untuk bisa mendengar lebih jelas. Jarak di antara mereka menipis. Saat menunduk, pandangannya teralih pada bibir pria itu. Ada bekas luka kecil di sudut bibirnya—detail yang tak akan ia perhatikan dari kejauhan.
"A–Aku–" Kata-kata Rinjani terputus, tertelan oleh dentum jantungnya sendiri.
Dua napas beradu di kerapatan jarak tubuh mereka. Lapisan kain yang membalut tubuh mulai mereka tanggalkan. Mobil itu adalah keseluruhan dunia mereke saat ini. Cahaya lampu jalan menyusup masuk melalui jendela, membuat keduanya nampak seperti garis dan siluet.
Ciuman pertama mereka ragu-ragu dan penasaran. Kelembutan bibir Rinjani terasa mencandu Raynar. Jari-jarinya menelusuri garis rahang Rinjani hingga ke belakang telinga lalu membelai rambut yang tergerai.
"Ini konyol," bisiknya di antara ciuman. "Aku seharusnya mengantarmu pulang."
Rinjani tersenyum. "Aku bahkan tak mengenalmu." Ia kembali mencium Raynar, jari-jarinya tenggelam dalam rambut yang tebal.
Raynar menangkap jemarinya. "Aku juga."
Dalam mobil itu waktu seakan berhenti. Sentuhan dan ciuman mereka semakin jauh ke dalam. Jok kulit berderit pelan saat Rinjani bergeser lebih dekat. Tangan kiri Raynar menyanggah leher Rinjani, sementara yang kanan menelusuri tulang selangkanya.
Rinjani bergetar kecil dan sedikit menggelinjang. Raynar menyambut dengan tarikan tangan agar mereka lebih dekat lagi. Kedua telapak Rinjani menangkup pipi Raynar. Tekstur kasar dari janggut tipis di sekitarnya mengirimkan sensasi asing yang ia sukai.
“Oh!...” Seketika Rinjani melenguh.
Di dalam mobil yang gelap itu, mereka menemukan keintiman, candu yang mereka reguk sepenuhnya. Sentuhan dan genggaman, lenguh dan erangan mengiringi irama gerakan keduanya. Lalu napas yang kian memburu menandai kerasnya otot-otot mereka dari pendakian berpeluh yang makin dekat ke puncak romansa.
Ketika akhirnya mereka terpisah, napas mereka terengah. Raynar menyandarkan dahinya ke dahi Rinjani, dengan tangan tetap pada tengkuknya—seakan takut melepaskan momen ini.
"Kamu–" bisiknya, suaranya bergetar. Rinjani tak mampu menjawab. Matanya terasa berat, pandangannya kian kabur. Kehangatan menyelimutinya dalam keremangan suasana. Kesadarannya perlahan memudar. Terakhir yang ia lihat adalah wajah tenang Raynar di sampingnya.
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan
Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d
Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me