Share

Love, Lies, and The Price of Desire
Love, Lies, and The Price of Desire
Author: Kurisinasan

SATU

Author: Kurisinasan
last update Last Updated: 2025-05-19 11:43:42

Klub mewah Royal Ravelle bagai permata malam di jantung ibukota Muliakarta. Fasadnya mencerminkan mahakarya arsitektur kaca dan cahaya. Di dalam, klub itu adalah dunia glamor eksklusif. Lampu-lampu gantung kristal mengerlipkan bias bepola ke seluruh penjuru ruangan.

Dengung percakapan berpadu dengan dentuman musik yang menghentak, menghadirkan sensasi khas klub malam. Para pelayan berseragam meliuk-liuk di tengah kerumunan, diantara tebaran aroma parfum-parfum mahal, menyeimbangkan nampan-nampan berisi minuman dan hors d'oeuvres.

Rinjani Wardhani berjalan masuk ke dalam klub dengan anggun dan tenang, persis di belakang Zora, saudari tirinya. Rinjani mengenakan gaun hasil rancangannya sendiri, terusan berwarna hijau zamrud tanpa bahu dengan tebaran batu amethyst halus yang serasi dengan postur semampainya. Beberapa pasang mata mengamati, tapi Rinjani tetap fokus pada Zora, yang berjalan menuju meja undangannya.

***

Kedua mata Rinjani memindai suasana klub. Ini adalah kali pertama ia masuk ke Royal Ravelle, dan bahkan ke tempat yang dijuluki klub malam. Jika bukan karena ketegangan yang terjadi dengan ayahnya sore tadi, dan jika bukan Zora yang membujuknya, klub malam takkan pernah jadi pilihan Rinjani–untuk alasan apapun.

Di sebuah meja besar, beberapa lelaki setengah baya tampak berbincang seru satu sama lain. Satu tangan memegang gelas berisi whiskey dan tangan yang lain memeluk wanita di sampingnya atau menjepit cerutu.

Para sosialita dan selebriti papan atas pun berkumpul di kelompok meja mereka. Beberapa dari mereka bergantian untuk berpose selfie di depan logo ‘RR’ besar berwarna violet bergaris tepi perak. Kesemuanya itu menjadi cerminan gaya hidup di klub Royal Ravelle malam ini.

“Tidak buruk ‘kan? Kujamin kamu akan terbiasa lalu jatuh cinta dengan suasana di sini.”

Mata Zora nyaris membelalak karena antusias. Mereka lalu duduk di salah satu meja undangan dekat lantai dansa.

Rinjani mengangguk kecil dan menanggapi ringan, “Ya, ini…mengesankan.”

Senyuman tipis Zora merekah mendengar ucapan adik tirinya itu.

Keduanya menyaksikan pesta berlangsung. Seorang Disc Jockey tampil, memainkan intro irama musik besutannya yang terkenal. Orang-orang segera berhamburan ke lantai dansa. Zora lalu mencondongkan badan ke arah Rinjani.

“Rin, tunggu disini ya, aku akan mengambil minuman. Siapa tahu beberapa teman mau bergabung dengan kita.”

Rinjani tak menyahut, dan saudara tirinya itu telah bergerak lincah melewati kerumunan orang menuju bar. Sementara di lantai dansa memanas dari energi gerakan kerumunan, Rinjani hanya bersantai di sofa, bersandar sambil selayang pandang dari satu orang ke orang yang lain.

Tak lama berselang, Zora kembali membawa dua gelas koktail, dan meletakkan satu di depan Rinjani.

“Ini dia. Mari bersulang!” katanya sambil mengangkat gelas.

“Untuk apa?” Rinjani bertanya sedikit sinis.

“Ikatan persaudaraan.” Zora tersenyum lalu mendentingkan gelas mereka.

Zora minum sembari memandang ke sekitar, mencoba mengenali orang-orang di sekitarnya. Ia lalu melirik ke arah Rinjani yang membiarkan dirinya bersandar santai sambil menikmati koktail. Senyuman kecil Zora nyaris tak kasat sebelum kemudian ia berdiri.

“Sepertinya beberapa temanku ada di lantai. Aku akan bergabung dengan mereka. Ikut?”

Rinjani melambaikan tangan. “Silakan saja. Mungkin aku akan ke bar saja nanti.”

Zora ragu-ragu, tersenyum sejenak, kemudian melangkah pasti menuju kerumunan.

***

Rinjani minum perlahan, berusaha berdamai dengan pikirannya yang tidak lebih sepi dari suasana lantai dansa.

“Klub ini seperti dunia lain, tapi setidaknya, ini lebih baik daripada di rumah,” pikirnya. Ia pun menyesap koktail sekali lagi. Potongan episode perseteruan dengan ayahnya sore tadi berputar kembali di kepalanya.

“Kekanak-kanakan kamu! Kamu pikir bisnis ini hanya untuk kebanggaan Papa?” Postur ayahnya yang tinggi tegap menjulang di depannya. Rinjani masih ingat wajahnya yang memerah dibakar amarah. “Peleburan baja ini warisan dari kakekmu untuk keluarga kita, untukmu dan keturunan keluarga Wardhani berikutnya. Reputasi kita, kenyamanan yang kita nikmati, kita jaga dengan kerja keras, dengan konsistensi, bukan mimpi sesaat seperti desain-desainmu itu.”

“Kenapa sulit sekali untuk Papa sadar? Kita punya bakat dan jalan yang berbeda. Aku bahagia dengan yang kulakukan. Aku Rinjani, bukan Papa, bukan Zora. Biarkan aku menjadi diriku sendiri.”

Dentuman musik yang mengakhiri sebuah lagu menyadarkan Rinjani. Entah sejak kapan air matanya pertama kali menetes. Rinjani mengusap jejak airmata di pipinya. Lalu, ia merasakan sebuah sensasi aneh. Jari-jari Rinjani mencengkeram tepian meja saat ruangan itu tampak kian miring. Beberapa kali ia mengerjapkan mata, mencoba menghilangkan kabut yang menyelimuti pandangannya.

Dari lantai dansa, diam-diam Zora memperhatikan dengan bibir tersenyum. Ia berbisik kepada seorang pria di sampingnya, yang lalu mengangguk sebelum pergi menerobos kerumunan.

Rinjani merasa perlu udara segar, atau setidaknya tempat yang lebih sepi untuk menenangkan diri. Kakinya terasa lunglai saat ia berdiri dan setiap langkah terasa lebih berat dari langkah sebelumnya. Tanpa tahu seberapa jauh melangkah, Rinjani menemukan kamar kecil. Ia nyaris mendobrak pintunya untuk masuk. Meskipun pandangannya mulai kabur, ia melihat eseorang berdiri di depan wastafel. Pria itu mengamati sosoknya yang goyah.

“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya, pura-pura khawatir. Rinjani melangkah mundur, tapi gerakannya terlalu lamban. “Tak apa, aku tidak apa-apa,” gumamnya, sedikit gemetar.

Pria itu menyeringai. “Sepertinya tidak.” Dia meraih lengan Rinjani lalu mendorongnya mundur hingga tersandar ke dinding. Kepanikan melanda, tetapi tubuhnya sulit bekerja sama. Pria itu terus mencengkeram dan mendekat.

Dari balik celah pintu yang terbuka, Zora berdiri, tersenyum puas. Ia mengangkat ponselnya dan mulai mengambil foto. “Mati kau sekarang,” bisiknya. Tiba-tiba, dari  ujung matanya ia melihat sekelebat bayangan dari arah belakang, secepatnya Zora pergi dari sana.

***

Pintu kamar mandi terbuka dengan hentakan keras. Cahaya dari koridor menyusup masuk, memproyeksikan bayangan panjang seorang pria jangkung yang memenuhi ambang pintu.

Raynar Wiyasa Nawasena melangkah masuk—aroma alkohol samar dari pakaiannya. Dua pengawal berjas hitam mengikuti di belakangnya, siap untuk apa pun.

Matanya menyipit ketika memindai ruangan sebelum melihat kelakuan seorang lelaki bertindak kasar pada Wanita di depannya. Rahang Raynar mengeras, urat di lehernya menonjol.

"Aku tak suka melihat yang seperti ini."

Kedua pengawalnya mengerti arti ucapan itu. Mereka bergerak seketika. Satu pukulan mendarat di tengkuk penyerang Rinjani, membuat pria itu terhuyung, kemudian pengawal kedua mencengkeram kerah kemejanya.

"Bawa dia ke keamanan."

Raynar lalu mendekati Rinjani yang duduk bersandar di dinding. Penyerang itu diseret keluar, sepatunya berdecit di lantai, meninggalkan keheningan yang berdenging.

Raynar menutup jarak di antara mereka dengan langkah-langkah panjang, kemudian berjongkok di depan Rinjani. Parfum campuran kayu mahoni dan jeruk bergamot dari kemeja Raynar menyusup ke hidung Rinjani, mendahului aroma alkohol dari kemejanya.

"Hei," panggilnya, suaranya melembut. "Kau terluka?"

Cahaya lampu memperlihatkan wajah pucat Rinjani. Matanya mengerjap pelan, berusaha fokus. Napasnya pendek dan tak beraturan—udara terasa berat di paru-parunya.

"A–Aku–" Suaranya terdengar seperti bisikan bahkan di telinganya sendiri. "Ya… Kurasa–" Kata-kata itu terputus.

Raynar mengerutkan kening, matanya yang tajam menyipit, mengamati wajah Rinjani. Kepala Raynar pun masih pening oleh pengaruh alkohol, tapi ia yakin kondisinya lebih baik daripada wanita cantik di depannya ini.

"Tidak," ucapnya tegas. "Kamu tidak baik-baik saja."

Ia menjulurkan tangan, jari-jarinya berhenti beberapa sentimeter dari wajah Rinjani—sebuah permintaan izin tak terucap. Lalu, dengan kelembutan tak terduga, ia menyibak rambut yang menutupi hampir separuh wajah Rinjani.

"Kau mau kuantar pulang?"

Rinjani membuka mulutnya, kata-kata penolakan sudah di ujung lidah—penjelasan tentang Zora, tentang bagaimana ia tidak sendiri malam ini. Namun, saat matanya bertemu pandang dengan mata Raynar, ia terdiam. Alih-alih menolak, ia justru mengangguk pelan—sebuah gerakan kecil yang akan mengubah segalanya.

***

Sebuah mobil hitam terparkir dalam kegelapan, nyaris menyatu dengan bayangan gedung Royal Ravelle. Raynar mendudukkan Rinjani di kursi penumpang depan. Perlahan Rinjani merasakan kulit jok yang dingin, kontras dengan tubuhnya hangat.

Raynar memutar kunci, dan mesin menyala dengan dengung halus. Ia mencengkeram kemudi dengan kedua tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Kepalanya tertunduk, keringat menetes dari pelipisnya, dan satu tetes jatuh ke pangkuannya.

Rinjani mengamati dari sudut matanya—garis rahang yang tegas, bekas luka tipis di bawah telinga kanannya, dan caranya menarik napas dalam-dalam. Entah bagaimana Rinjani menyadari bahwa di balik penampilan tenang lelaki ini, ada badai yang nyaris tak terkendali.

"Terima kasih," bisik Rinjani, suaranya serak dan lemah.

Raynar menoleh, pandangan mata mereka bertemu dalam keremangan.

"Istirahatlah," sahutnya. "Kamu sudah aman sekarang."

Waktu seakan meregang dan menyusut di sekitar mereka. Jari-jari Rinjani bergerak tanpa perintah, terulur untuk menyentuh lengan Raynar. Kain jas halus diusap lembut jemarinya. Ketegangan di antara mereka bergeser, berubah menjadi sesuatu yang lain—seperti gravitasi yang menarik keduanya jatuh pada titik yang sama.

"Kamu tak semestinya sendirian di sana." Suara Raynar sedikit tercekat.

Rinjani refleks mendekat untuk bisa mendengar lebih jelas. Jarak di antara mereka menipis. Saat menunduk, pandangannya teralih pada bibir pria itu. Ada bekas luka kecil di sudut bibirnya—detail yang tak akan ia perhatikan dari kejauhan.

"A–Aku–" Kata-kata Rinjani terputus, tertelan oleh dentum jantungnya sendiri.

Dua napas beradu di kerapatan jarak tubuh mereka. Lapisan kain yang membalut tubuh mulai mereka tanggalkan. Mobil itu adalah keseluruhan dunia mereke saat ini. Cahaya lampu jalan menyusup masuk melalui jendela, membuat keduanya nampak seperti garis dan siluet.

Ciuman pertama mereka ragu-ragu dan penasaran. Kelembutan bibir Rinjani terasa mencandu Raynar. Jari-jarinya menelusuri garis rahang Rinjani hingga ke belakang telinga lalu membelai rambut yang tergerai.

"Ini konyol," bisiknya di antara ciuman. "Aku seharusnya mengantarmu pulang."

Rinjani tersenyum. "Aku bahkan tak mengenalmu." Ia kembali mencium Raynar, jari-jarinya tenggelam dalam rambut yang tebal.

Raynar menangkap jemarinya. "Aku juga."

Dalam mobil itu waktu seakan berhenti. Sentuhan dan ciuman mereka semakin jauh ke dalam. Jok kulit berderit pelan saat Rinjani bergeser lebih dekat. Tangan kiri Raynar menyanggah leher Rinjani, sementara yang kanan menelusuri tulang selangkanya.

Rinjani bergetar kecil dan sedikit menggelinjang. Raynar menyambut dengan tarikan tangan agar mereka lebih dekat lagi. Kedua telapak Rinjani menangkup pipi Raynar. Tekstur kasar dari janggut tipis di sekitarnya mengirimkan sensasi asing yang ia sukai.

“Oh!...” Seketika Rinjani melenguh.

Di dalam mobil yang gelap itu, mereka menemukan keintiman, candu yang mereka reguk sepenuhnya. Sentuhan dan genggaman, lenguh dan erangan mengiringi irama gerakan keduanya. Lalu napas yang kian memburu menandai kerasnya otot-otot mereka dari pendakian berpeluh yang makin dekat ke puncak romansa.

Ketika akhirnya mereka terpisah, napas mereka terengah. Raynar menyandarkan dahinya ke dahi Rinjani, dengan tangan tetap pada tengkuknya—seakan takut melepaskan momen ini.

"Kamu–" bisiknya, suaranya bergetar. Rinjani tak mampu menjawab. Matanya terasa berat, pandangannya kian kabur. Kehangatan menyelimutinya dalam keremangan suasana. Kesadarannya perlahan memudar. Terakhir yang ia lihat adalah wajah tenang Raynar di sampingnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH DELAPAN

    Lantai 32 Menara Wiyasa Nawasena Group nampak lengang. Raynar berdiri menghadap jendela kaca yang memperlihatkan panorama ibukota Muliakarta di siang hari. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di bawah terik matahari. Ia baru saja menyelesaikan panggilan konferensi dengan para calon investor baru dari luar negeri ketika pintu ruangannya diketuk."Masuk," perintahnya tanpa menoleh.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya. "Maaf mengganggu, Pak." Asisten pribadinya berdiri dengan raut wajah tegang. "Ada telepon penting dari rumah."Raynar berbalik, alisnya terangkat."Kepala rumah tangga baru saja mengabarkan." Asistennya menelan ludah. "Tuan muda tidak ada di rumah. Mereka sudah mencari ke seluruh penjuru rumah sejak satu jam yang lalu."Raynar membeku. "Apa? Zethra?""Terakhir kali tuan muda ada di kamarnya sepulang sekolah. Saat makan siang diantar ke kamarnya, ia tidak ada."Raynar merasakan aliran dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya. Ia meraih ponselnya dari at

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TUJUH

    Hari senin siang itu membawa kehangatan lembab khas musim penghujan di Muliakarta. Rinjani Wardhani baru saja tiba di Sweet Spot Coffee yang menawarkan kesejukan dari teriknya matahari. Ia mengenakan rok pensil warna arang yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem–sederhana namun tetap elegan.Rambut hitamnya disanggul rendah ke belakang, memperlihatkan sepasang anting-anting mutiara kecil yang menangkap cahaya saat ia bergerak. Ia memilih meja sudut dengan tempat duduk yang nyaman untuk enam orang, menata buku sketsa dan tabletnya sebelum memesan segelas iced café latte.Sejenak ia tersenyum mengenang “perbaikan” yang dilakukan Aruna sambil menata kertas-kertas itu dengan rapi di atas meja. Untung saja semua desain cadangan dalam buku sketsa itu bisa dipulihkan secara sempurna.Gusti dan Rhea menerobos pintu masuk berikutnya. Rhea langsung menuju meja dimana Rinjani duduk, sementara Gusti berbelok ke meja pemesanan.“Kau baru saja datang, Rin? Mana Lila? Kupikir dia sudah di sin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH ENAM

    Di luar, tetes-tetes pertama hujan mulai turun, mengetuk jendela seakan menghitung mundur pelaksanaan rencana besar di pikiran Raynar. Setiap langkahnya harus dilakukan dengan tepat. Setelah selesai, ia menutup laptopnya lalu beranjak menuju meja kecil dengan membawa gelas kosongnya. Ia telah mendapatkan pelajaran penting dari kasus ini--pola pikir dan sikap seorang pemimpin besar.Raynar menuang whiskey setinggi dua jari dan menenggaknya habis dalam sekali minum, seakan hendak merayakan kepercayaan dirinya dalam membuktikan bahwa ia layak menyandang nama besar Wiyasa Nawasena. Liquid amber membakar tenggorokannya, meninggalkan sensasi jejak hangat yang menyebar hingga ke dada.Malam harinya, rembulan tinggi menggantung di atas Taman Kota Muliakarta. Angin mendesau di antara pepohonan, membawa suara keramaian lalu lintas Minggu malam di kejauhan. Aroma tanah basah dari hujan sore bercampur dengan wangi bunga melati yang mekar di sepanjang pagar taman. Tempat yang ramai dikunjungi kelu

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH LIMA

    Dua hari kemudian, Sweet Spot Café kembali menjadi tempat pertemuan Lila dan Raynar sore itu. Suara percakapan para pengunjung lain dan desis mesin espresso yang sesekali terdengar menciptakan latar belakang yang nyaman untuk pertemuan mereka.Raynar tiba tepat pukul enam. Ia mengenakan jaket hitam panjang yang menyembunyikan kemeja biru tua dibaliknya. Beberapa pengunjung melirik, mengenali CEO muda Wiyasa Nawasena Group, sebelum dengan sopan kembali ke percakapan mereka.Raynar melihat Lila di meja pojok. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, sedang membuat sketsa di atas tablet dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam iced matcha latte yang baru saja ia seruput.“Multitasking yang sulit berubah,” kata Raynar sambil mendekat, senyum kecil tersungging di bibirnya.Lila mendongak. Dengan gerak cepat ia meletakkan pena tabletnya. Rona merah merona di pipinya, kontras dengan penampilannya yang tenang.“Kebiasaan lama.” Lila tersenyum kikuk sambil menunjuk kursi di seberan

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH EMPAT

    Lila dan Rinjani saling bertukar tatapan penuh harap.“Tidak semua, tapi setidaknya–” Rhea berhenti, meringis pada sebuah halaman yang berkilauan. “Tekanan dari krayon merusak beberapa detail, dan lem glitter ini–”“Tapi ini sesuatu,” kata Lila, merasakan secercah harapan.Gusti kembali ke meja, menyeimbangkan piring yang dibawanya.“Aku putuskan untuk makan sehat,” katanya sambil kembali duduk. “Jadi kupilih telur dadar gosong yang tebal dengan topping putih telur kocok.” Ia menunjuk pada brownies besar yang diberi topping es krim vanila.Rinjani sontak terkekeh. Suaranya kecil tapi bisa mencairkan ketegangan yang membelit dadanya. Lila menggelengkan kepala, sebuah senyum enggan terbersit di bibirnya. Bahkan ekspresi serius Rhea pun sedikit retak.“Cuma kamu, Gus,” sahut Lila, ”yang bisa bercanda di saat seperti ini.”“Hey, apa jadin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TIGA

    Rinjani memasukkan kunci ke dalam pintu apartemennya dengan tenang. Beban hari ini menekan pundaknya, tapi satu harapan masih tersisa. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.Aroma tipis melati dari pengharum ruangan kesukaan Bibi Sari menyambut kedatangannya. Apartemen itu sunyi, kecuali dengungan lembut pendingin ruangan dan suara anak-anak bermain di taman bermain terbuka.Rinjani melepas sepatu hak tingginya dan langsung menuju kamar tidurnya. Kakinya melangkah tak bersuara di lantai kayu. Pintunya terbuka sebagian, dan ia mendorongnya lebih lebar, langsung menuju laci bawah meja rias tempat ia menaruh buku sketsa itu.Ia berlutut, membuka laci itu. Kosong.“Tidak,” bisiknya, jari-jarinya panik mencari-cari isi laci. “Tidak, tidak.”Ia kembali duduk di atas tumitnya, menoleh ke kanan-kiri. Apakah ia telah memindahkannya? Apa sebenarnya ia tak menyimpan buku itu di laci?Rinjani memejamkan matanya. Lalu, ia berdiri, bergerak menuju lemari, lalu ke rak di atas meja, mencari setiap t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status