Sepoi angin berhembus dengan mesra, menerbangkan sebagian rambut panjang terurai milik Stela. Jantungnya berdebar kencang tak menentu, di tambah lagi tatapan tajam Axelle menelusup masuk ke relung hatinya. Sangat terasa mengesankan, senyum sang suami begitu membuatnya terhipnotis.
"Saya mencintai Om Axelle," kata Stela begitu saja. Wanita itu kemudian menutup mulut dengan segera. "Kenapa aku mengatakannya tanpa sadar Axelle tampak berbinar menyaksikan wajah memerah sang istri. Sepeti buaha apel yag soap untuk di gigit. Bukan hanya itu, taoi Acelle begitu tergoda akan pesona Stela. Dia bangkit dari duduk, mengulurkan tangan denga mesra.
"Mari kita pulang sekarang, Sayang," ujar Axelle kemudian. Lelaki itu tak ingin berlama-lama. Melihat wajah Stela yang selalu menggoda naluri lelakinya. Axelle membuka pintu mobil mempersilahkan istrinya masuk. Stela tersenyum manis dan masuk ke dalam mobil. Axelle berlari lecil menuju
Gemerisik dedaunan terseok angin yang menyapa, menyambut kedatangan Mirza di kediaman utama Zeroun. Kakinya menjadi tumpuan di tanah kala ia turun dari motor gedenya. Langkah kaki panjangnya terlihat memburu, cepat. Seolah ada sebuah kekhawatiran besar yang merayapi hatinya. Kedatangan Mirza disambut Zeroun. Lelaki tua tersebut berdiri di depan pintu, senyum mengembang di wajah keriput miliknya. Rambut yang memutih menari-nari tersapu angin. Mirza langsung berlari kecil agar lebih cepat sampai. Pemuda tersebut menyalami Zeroun. Zeroun sendiri langsung saja meraih, memeluk Mirza. "Pagi sekali Nak," ujar Zeroun pada Mirza. "Semalam saya tidak bisa tidur kakek," jawab Mirza. "Aku mengerti, masuklah," ajak Zeroun. Mirza menggandeng Zeroun. Layaknya seorang cucu memapah kakeknya. Keduanya berjalan ke sofa yang berada di ruang tamu. Mereka kemudian duduk berdapmpingan, di salah satu kursi sofa
Mobil yang di kemudikan Axelle masuk ke parkiran rumah sakit yang kemarin. Di ikuti motor gede kebanggaan Mirza, selang tak lama mobil yang di naiki Zeroun jua ikut menepi. Ketiganya berkumpul untuk kemudian berjalan semakin mendekat ke arah ke pintu rumah sakit. Mereka menelisuri lorong, menuju ke ruang laboratorium. Tanpa susah payah minta izin, ketiganya masuk ke dalam ruangan. Dokter botak yang kemarin menangani mendekat menghampiri. Memberikan amplop panjang kepada Axelle. Zeroun nampak menepuk pundak Mirza kala amplop di tanga Axelle diserahkan pada Mirza. Pemuda tersebut bergegas membuka amplop tersebut. Sebuah surat yang akan membuatnya tercengang dengan mata melebar. Hasil tes menunjukkan ketidak cocokan antara gen miliknya dengan sang papa. Air bening meleleh di pipi. Axelle kemudian memeluk Mirza menguatkan hati pemuda yang selama ini ia besarkan.
Amarah tersembunyi hampir saja membeludak kala Freya mengecup bibir Axelle. Rasanya tak seindah dulu, hal yang ingin di hindari adalah menyentuh wanita penghianat itu. Tangan Freya yang melingkar di leher Axelle menariknya hingga Axelle sedikit membungkuk. Dengan sungkan Axelle membalas lumatan bibir Freya. Setelah di rasa cukup lelaki itu menarik tubuh sintal sang wanita. "Sayang, kau tidak merindukanku?" telisik Freya. "Bukan begitu Sayang, kita sedang di kantor. Kau juga tengah hamil. Jaga kehamilan kamu baik-baik," jawab Axelle. Lelaki itu menggandeng Freya dan mempersilahkan duduk di sofa tamu. "Apa yang kau bawa itu?" imbuh Axelle. Keduanya duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalang. Freya tersenyum, dia meletakkan rantang makan siang di meja. Untuk kemudian membuka satu persatu. Ada beberapa makanan sea food, sed
Mirza sangat menyayangkan sikap sang mama. Bagaimana bisa sang mama menduakan cinta dari seorang lelaki bernama Axelle. Menyakitkan, dia bahkan bukan anak kandung dari lelaki yang ia anggap papa. Sesak mengingatnya, tapi apa daya. Waktu berlalu terlalu indah dan menyenangkan, perigainya yang dingin seperti balok es. Akan tetapi tidak dengan perhatiannya, bagi Mirza Axelle sosok ayah yang hangat penuh kasih sayang. Mata pemuda tersebut berkaca-kaca, buliran bening menetes di pipi. Ingin dia berteriak menyalahkan seseorang tapi harus menyalahkan siapa. Mirza tidak mungkin menghakimi sang mama. Wanita yang telah melahirkan dirinya. Lantas siapa ayah kandung sebenarnya. Mirza menanti semua kebenaran terungkap. Pemuda itu berjalan melewati koridor perusahaan Zeroun Groub. Langkahnya terhenti, mimik wajah sayu ia ubah ceria seketika. Di hapus air mata di pipi, dia menghela napas panjang. Dia kbali menguatkan hati, menatap lelaki tua di seberang sana tengah bercengkrama dengan
Sesuai yang Axelle janjikan, lelaki tersebut mengantar Stela untuk bersua dengan editornya. Mereka merangkul mesra istri kecilnya tersebut masuk ke dalam. Kemudian duduk di kursi dekat jendela kaca. Stela dapat melihat kendaraan berlalu lalang di kuar sana. Suasana semakin romantis dengan adanya grub musik yang melantunkan lagu romantis. Axelle nampak berseri menatap Stela yang duduk di sampingnya. Dia merasa terhibur dengan ocehan istri kecilnya. "Stela, maaf lama." Suara maskulin terdengar tiba-tiba mengagetkan. Stela dan Axelle menatap bersamaan ke arah suara tersebut. Seorang pemuda tampan tinggi berdiri. Pemuda tersebut menarik kursi, untuk kemudian duduk di hadapan sepasang suami istri itu. Dia tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipitnya. "Selamat sore Pak editor," sapa Stela.
Tidak akan ada wanita yang rela ketika suami tercinta menikahi wanita lain. Begitu pula Freya, semua ia lakukan demi status Mirza. Siapa sangka keputusan yang ia ambil ternyata membelenggu diri sendiri. Semua terjadi di ruang kendalinya. Axelle, lelaki yang dulu tidak pernah ia cintai. Dengan bodohnya Axelle dipermainkan Freya, demi hartanya wanita tersebut rela menjadi rubah. Seperti menelan ludah sendiri, pada akhirnya wanita tersebut malah terjerat akan pesona Axelle. "Freya, mari kita berhenti mengejar apa yang bukan milik kita. Lepaskan semua, kita mulai hidup yang baru. Toh sekarang perusahaan keluargaku telah stabil. Kita masih bisa hidup enak dengan semua itu," tutur Marvel. Wajah lelaki itu nampak garang, tatapannya tajam, menusuk. Mereka terlihat bersitegang di ruang tamu kediaman milik Axelle. "Aku tidak bisa melepaskan Marvel," sanggah Freya. "Kenapa?" telisik Marvel memincingkan mata.
Mirza tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Kenyataan yang harus ia terima, membuat Mirza seperti di pukul-pukul. Kepala terasa berat, nyeri, kejutan itu datang bertubi-tubi, di tengah dirinya yang belum bersiap diri. Benci, pasti ada di dalam benaknya. Pemuda tersebut memandang nanar lelaki yang bersimpu di hadapannya. Wajahnya terlihat bengkak, babak belur oleh hasil karyanya tadi. Mirza meraup wajah, mengatur napas, mengendalikan emosinya. "Lebih baik anda pergi sekarang, hari sudah mulai sore, pemilik rumah ini akan pulang sebentar lagi," ujar Mirza dengan wajah yang nampak penat. Dia membalikkan badan dan segera berlari masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya keluar rumah. Membiarkan sang Mama menangis sesegukan, dan lelaki yang katanya ayah kandung itu masih bersimpu. "Maafkan Papa, Nak, Maaf," teriak Marvel. Mirza tidak menggubrisnya. Ia mantap berjalan
Axelle dan Stela saling menatap. Gurat kekecewaan nampak jelas di wajah Axelle. Lelaki itu menundukkan kepala, menyandarkan kening di bahu Stela. Ketukan pintu itu sunghuh mengganggu, sangat mengganggu. Stela menepuk-nepuk pundak Stela. Istri kecilnya mengacungkan arah pintu. Suara ketukan juga semakin terdengar keras. Ia merasa sangat malas. Terpaksa Axelle membalikkan badan, berjalan bebebrapa langkah ke depan lalu membuka pintu. Mirza nampak berdiri dengan wajah sendu. Axelle mengernyitkan kening.Dia bernapas lega. Setidaknya bukan wanita ular yang mengganggunya. "Hay, Nak. Kau kenapa?" tanya Axelle. "Masuklah!" perintah Axelle menepuk pundak Mirza. "Sekarang harus bagaimana, Om," ucap Mirza. Axelle merasa canggung mendengar Mirza memanggilnya dengan sebutan lain. "Bagaimana apanya?" telisik Axelle. &