Share

6 -Sarapan Bersama

Meira baru saja keluar dari kamarnya, seuasai beberapa menit tadi ia mandi. Ia bisa melihat Hale yang duduk di sebuah sofa usang di ruang tamu miliknya. Rumah Meira itu tak besar, hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang tak dipisahkan dengan sekat apapun.

Hale sedikit memandang anti pada perabotan disana. "Semuanya terlihat usang dan tak bagus!" ucap Hale sambil mengamati barang-barang yang ada disana.

"Tuan, tunggu sebentar ya, aku akan buatkan sarapannya..." ucap Meira yang saat ini tengah sibuk di dapur kecilnya.

Hale dapat dengan jelas melihat betapa lihainya tangan putih Meira saat memotong beragam sayuran dengan pisau itu. "Apa masakannya akan enak?" gumam Hale seorang diri. Ia yakin Meira tak akan mendengar, ah! Hale lupa, Meira itu kan tuli.

Setelah lima belas menit berlalu akhirnya makanan yang Meira buat telah selesai. Hale dapat mencium aroma harum dari sana. "Tuan, kemari lah, ini sudah jadi..." ucap Meira dengan menyiapkan makanya ke dalam piring.

Hale mendekati Meira. Jujur, dari aromanya makanan itu terlihat enak? Pikir Hale.

"Maaf tuan, aku biasanya hanya sarapan telur gulung dan salad sayur ini, tak apa kan?" tanya Meira.

Hale hanya mengangguk, ia mulai menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.

'Ini enak! batin Hale.

"Apa enak tuan?" Meira bertanya pada Hale yang masih memandangi makanan buatannya.

"Ini lumayan." ucap Hale yang masih saja angkuh.

"Syukurlah, kukira orang kaya seperti tuan tak akan bisa memakan makanan seperti ini..." ucap Meira tanpa pikir panjang.

Hale menatap Meira sedikit tajam. "Kau pikir apa yang orang kaya makan hah? Emas?" sarkas Hale, kemudian ia kembali melanjutkan makannya.

"Emas itu tak bisa dimakan..." celetuk Meira polos.

"Sudah tahu jangan tanya. Kau ini hanya tuli kan? Bukan bodoh?" ucap Hale tanpa menatap Meira.

Meira yang mengamati bibir Hale itu pun akhirnya sedikit kesal, "tuan! Kau itu kok sangat mengesalkan sih? Aku tak bodoh! Aku hanya tuli!" ucap Meira.

Hale mengangkat pundaknya acuh, dan melanjutkan makannya. Jujur, ia sangat jarang sarapan pagi. Biasanya ia akan berangkat ke kantor tepat jam enam pagi tanpa sarapan. Ia hanya tinggal seorang diri di apartemen, terlebih lagi ia tak bisa memasak.

Rasa-rasanya mengapa setiap lelaki, apalagi lelaki kaya, nereka itu pasti tak bisa memasak? Entahlah. Aku juga tidak tahu.

"Terimakasih atas sarapannya." ucap Hale sambil menatap pada Meira yang sedang meminum teh hijau.

Meira mengangguk dan tersenyum. "Sama-sama tuan."

Lalu setelah Meira selesai merapihkan piring bekas sarapan mereka, Meira menoleh pada Hale.

"Tuan? Kau kok tak pergi-pergi?" celetuk Meira, tadi seusai sarapan Hale bukanya pergi, tapi ia hanya duduk kembali di sofa ruang tamu.

"Kau mengusirku?!" tanya Hale angkuh.

Meira yang membaca gerak bibir Hale hanya menggeleng dengan polosnya. "Tidak kok, aku kan hanya bertanya, mengapa kau masih duduk disitu?"

"Ekhmm,"

Hale berdehem dan bangkit lalu mendekati Meira yang berdiri di dekat kompor. "Bolehkan aku melihat beberapa lukisanmu yang lain?" tanya Hale dihadapan Meira.

Ya, Hale sangat penasaran. Pasalnya di ruang tamu ini tak ada sama sekali tanda-tanda kehadiran lukisan Meira.

Meira menggeleng. "Aku tak mau memperhatikannya pada siapapun, kecuali saat nanti pameran." ucap Meira spontan.

Hale memandang Meira dongkol. Apa harus menunggu pameran dulu baru gadis tuli itu mau menunjukan lukisanya pada Hale?!

"Begitu?" tanya Hale tak percaya.

"Iya tuan," ucap Meira polos.

Hale mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang disana.

"Halo!"

"Halo tuan Hale, anda dimana? Pertemuan pagi ini akan segera-"

"Persiapkan acara pameran tiga hari tiga malam!"

"Apa?!"

"Aku mau acara itu siap dalam dua hari!"

"Tapi-"

"Atau aku akan memotong gajimu tiga bulan kedepan, Nona Seva..."

"Aaa?! Baik tuan, baik!"

Dan Hale mematikan panggilan itu sepihak. Lalu kembali menatap pada Meira yang masih memandangnya polos.

"Dua hari lagi kau harus memperlihatkan lukisanmu! " ucap Hale angkuh dan kemudian ia pergi tanpa pamit dari rumah Meira.

"Orang kaya memang sangat menyebalkan ya? Jika menjadi orang kaya akan seperti tuan itu, aku akan lebih memilih menjadi miskin saja!" celetuk Meira.

Sebelum sampai di pintu keluar, Hale berbalik dan menatap Meira datar, ia kembali berjalan mendekati Meira yang menatapnya penuh kebingungan.

"Apa ada yang tertinggal tuan?" tanya Meira, ia menoleh ke meja ruang tamu memastikan jika tak ada apapun barang Hale yang tertinggal disana.

"Tidak." ucap Hale singkat dan datar.

"Lalu?" tanya Meira dengan binggung.

"Namaku bukan tuan. Namaku Hale. Panggil aku Hale." ucap Hale dengan jelas dan pelan agar Meira mampu memahaminya.

"Tapi tuan-"

"Hanya Hale, dan tanpa tuan." ucap Hale penuh penegasan.

"Ba-baiklah..." ucap Meira terbata-bata. Tahu tidak? Hale memandang Meira sangat intens barusan. Lagi dan lagi darah Meira berdesir karenanya.

"Dan ya, sekali lagi terimakasih untuk sarapannya." ucap Hale dan kini ia benar-benar pergi dari rumah Meira.

Deg

Meira memegangi dadanya. "Kenapa disini berdetak sangat kencang?" tanya Meira pada dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status