Share

Bab 2 Tersenyum Manis

Dia menatapku dengan acuh dan berkata.

“Apa yang kau pikirkan,” ujarnya sambil menyerahkan cangkir berisi teh hangat, minyak kayu putih dan juga Freshcare dia berkata lagi.

 “Kau mungkin memerlukanya,” timpalnya berbalik lalu pergi.

Aku bingung dan tidak memahami apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan.

Aku berjalan ke ruang tengah dan melihat mereka sudah berkumpul, dengan hidangan sarapan pagi sudah tertata rapi di atas meja. Kemudian Inang mengajaku untuk duduk bergabung bersama dengan mereka lalu pendeta mambuka percakapan.

“Mereka juga mahasiswa kkn sama sepertimu, hanya saja mereka fakultas kedokteran.” Pendeta menjelaskan mengenai Joy dan Feno kepadaku.

“Oh,” jawabku sambil menganguk-angguk petanda bahwa aku mengerti.

“Orang tua dari Joy merupakan sahabat kami, jadi selama tinggal di rumah ini kami harap kalian bisa saling beradaptasi. Apalagi karena Inang merupakan Guru di Tarutung jadi kami pulang kerumah ini setiap hari sabtu, minggu dan jika ada kegiatan lainya. Diakones di samping rumah akan sering memperhatikan kalian, kalau ada yang kurang kalian bisa menghubungi kami.”

“Baiklah karena Daisy juga sudah disini, setelah selesai sarapan Feno dan Joy nanti antarkan Daisy ke tempat kkn nya, amang tadi sudah menghubungi pelayan disana agar dia bisa melihat-lihat situasi disana dahulu. Karena besok Inang juga kerja jadi hari ini kami bakalan langsung pulang ke Tarutung.”

“Beres amang,” ucap Feno dengan senyum khasnya.

Setelah sarapan pagi selesai, kami mengantarka Pendeta dan istrinya sampai mereka berangkat.

“Kita juga berangkat sekarang?”  Aku bertanya kepada mereka berdua.

“Hmmm, kamu sama Joy aja yah. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.”

“Ok,” Aku menjawabnya dengan tersenyum tipis, dalam hati aku berpikir tadi Fenolah yang dengan cepat meng iyakan sekarang dengan cepat dia juga berkata tidak bisa.

“Joy bisa?” Tanyaku lagi dan menatapnya dengan penuh harap.

“Jangan menatapku seperti itu kau tampak mengerikan, pakai jaketmu karena disana akan lebih dingin daripada disini,” jawabnya sambil bergegas ke bagasi.

Aku tersenyum bahagia, walaupun Feno tidak bisa ikut setidaknya masih ada Joy yang bisa menemaniku. Aku masuk lagi kedalam rumah untuk membawa beberapa barang yang di perlukan.

Setelah keluar dari rumah aku melihat Joy sudah siap, tapi dia menggunakan motor gede. Tubuhku lansung lemas, bagaimana bisa aku menaiki motor itu? Aku harus menahan bobot badanku agar tidak bertumpu padanya dan itu akan sangat melelahkan. Aku berjalan mendekatinya dan bertanya.

“Kita enggak bisa naik mobil aja?” Aku bertanya dengan hati-hati, takut dia menganggapku sebagai wanita yang banyak maunya.

 Sambil memakaikan helm kekepalaku Joy menjawab.

 “Tempat kamu kkn itu jalanya hanya setapak enggak bisa dimasukin mobil, jadi hanya bisa di jalani sama kendaraan beroda dua.”

Dengan sangat terpaksa pada akhirnya kami mengendarai motor dan benar saja, jalanan menuju tempat kkn ku hanya setapak yang hanya bisa di jalani kendaraan beroda dua dan apa yang paling mengejutkan adalah jalananya naik turun bukit.

Baru berkendara 10 menit aku benar benar sudah sangat lelah menahan tubuhku sendiri, kakiku sangat pegal dan sakit, aku tidak tau harus berbuat apa aku terus bergerak untuk mencari posisi yang nyaman.

Tiba-tiba dia berhenti, tanpa menoleh kebelakang dia menarik tanganku dan melingkarkan di pinggangnya. Aku terkejut dan dengan reflek menarik kembali tanganku, tapi dengan sigap dia menahanya dan mengatakan.

“Kau ingin kakimu patah? Aku tidak mau disusahi olehmu kau terus menerus bergerak dan membuatku tidak konsentrasi, bertumpulah padaku.”

Dengan sangat terpaksa akhirnya aku berusaha tetap tenang, dan bertumpu padanya. Jalananya sangat sepi, samping sebelah kanan adalah jurang yang di bawahnya terdapat semak belukar dan di sebelah kiri tampak seperti diding-dinding tebing yang terlihat indah dan cuaca semakin dingin.

Setelah sampai kami di sambut ramah oleh keluarga pelayan disana dan tetangga juga turut serta meramaikan. Mereka mempersilahkan aku dan Joy untuk masuk, aku melihat sekelilingku. Rumah ini masih sangat sederhana, dindin-dindingnya masih terbuat dengan papan dan di cat berwarna biru yang menghidupkan suasana rumah.

Lalu terdapat tiga sofa tertata rapi yang warnanya mulai memudar lemari yang di jadikan tempat untuk menopang tv yang berukuran kecil.

“Inang, mau minum apa?” Tanya gadis remaja berkulit hitam manis kepadaku, yang kemudian aku ketahui dia bernama Astuti Simanjuntak, yang merupakan anak ke tiga dari delapan bersaudara di keluarga ini.

“Air putih aja dik.”

“Kalau abang?”

“Teh manis aja.”

Keluarga dan masyarakat disana menyambutku dengan sukacita, meskipun tempat ini masih sangat sederhana, aku merasakan kehangatan.

“Kemarin kata Pendeta Ressort hanya satu orang.”

“Aku Daniel Joy Saragi Amang, temanya Daisy mahasiswa kkn sama seperti Daisy tapi kami fakultas kedokteran amang. Kebetulan aja kami juga tinggal di rumah amang pendeta, jadi karena amang pendeta ada urusan amang itu minta tolong biar aku mengantarkan Daisy,” Jelas joy yang duduk di sampingku sambil tersenyum ramah.

“Ternyata dia bisa memasang wajah ramah seperti itu,” ujarku dalam hati

 “Amang pikir tadi, mahasiswa yang mau praktek jadi dua orang, mama boru apa Joy dan asal kamu darimana?”

“Mamah boru Gurning amang, dan asalku dari Medan.”

“Kalau Daisy mama boru apa dan asal darimana?” Lanjut amang bertanya kepadaku.

“Kalau mama boru Harianja Amang, aku dari Pekanbaru.”

“Kami sangat senang karena untuk pertama kalinya ada pelayan wanita yang praktek di Gereja kami ini, amang berharap kau bisa nyaman selama pelayanan disini.”

“Iya amang semoga semua berjalan lancar, mohon kerjasamanya amang.”

Aku sedikit merasa takut, karena tempat ini masih sangat kental dengan bahasa daerah yakni bahasa Batak, sedangkan aku sendiri aku paham jika ada orang yang berbicara denganku dengan menggunakan bahasa itu.

Tapi kelemahan terbesarku adalah aku sama sekali tidak bisa mengucapkanya dengan lancar, sepertinya aku harus banyak belajar lagi.

Setelah berbicara panjang lebar dan membicarakan program-program yang akan aku lakukan, maka kami sepakat bahwa aku akan ke tempat ini setip Jum’at, Sabtu dan Minggu. aku melirik jam tanganku yang menujukan pukul 20.00 WIB  kemudian Aku dan Joy pun berpamitan untuk pulang karena hari sudah gelap.

Tidak terasa kami berdiskusi dan membicaraka banyak hal dari pagi sampai malam, aku yang belum ada beristirahat benar-benar sangat lelah dan sudah mengantuk. Joy membuka jaketnya dan memasangkanya padaku.

“Apa yang kau lakukan?”

“Memasang jaketku untukmu.”

“Maksudku mengapa kau mendouble jaketku, kau juga memerlukan ini bukan? Aku tidak membutuhkanya jaketku kan sudah ada.”

“Tidak akan ada orang yang akan merawatmu jika kau sakit, ini sudah malam dan cuaca akan semakin dingin. Aku tidak sedang mengkhawatirkanmu hanya saja akan sangat merepotkan jika kau demam atau flu, jadi pakai saja.”

Setelah naik ke atas motor dia menambahkan perkataanya lagi.

“Masukan tanganmu ke kantong, dan jangan mengeluarkanya. Dan kepalamu sandarkan ke punggungku agar kepalamu tidak terkena terpaan angin malam.”

Aku melakukan semua yang dia suruh, dalam hati aku terus bertanya-tanya pagi tadi lelaki ini sangat menyebalkan. Dan sekarang, mengapa dia menjadi sangat ramah dan sangat perhatian apa mungkin dia memiliki kepribadian ganda pikirku dalam hati. Sebenarnya untuk beberapa alasan aku sangat terkejut dengan cara dia memperlakukanku.

Di perjalanan pulang, kami diam dan bergulat dengan pikiran kami masing-masing. Sesampainya di rumah, batang hidung Feno sudah tidak kelihatan, akupun kekamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan membasuh wajahku. Aku tidak sanggup lagi untuk mandi, airnya sedingin es dan Joy sudah lansung masuk ke kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status