Share

Bab 4 Payung

“Tok…tok…tok,” suara ketukan terdengar dari pintu kamarku, aku membuka pintu kamar dan mendapati Feno yang sudah berpakaian rapi.

“Aku dan Joy mau pergi melakukan penyuluhan kesehatan, Daisy ikut?” tanya Feno kepadaku.

“Aku di rumah saja, sebentar lagi aku akan ke rumah tetangga-tetangga kita sekalian mau berkenalan dengan pelayan diakones yang di samping rumah.”

“Hah, untuk apa?”

“Untuk bersosialisasi, kita kan tinggal disini dan melakukan praktek, jadi kita gak bisa bersikap apatis apalagi profesiku di masa depan mengharuskan untuk peduli pada hal-hal kecil sekalipun,” jawabku pada Feno.

“Kalau begitu kami pergi dulu yah, btw kalau ada apa-apa hubungi kami.”

“Ok tapi aku belum punya nomor kalian, ada cara lain untuk menghubungi kalian?” tanyaku sedikit menggodanya

“Hahahahhahahha, bisa bertelepati?” balasnya tak mau kalah.

“Feno cepatlah!” teriak Joy dari luar.

“Sebentar lagi Joy akan menabrakan mobil itu jika aku tidak segera keluar.”

“Itu akan sangat berbahaya, baiklah agar itu tidak terjadi sini nomormu.”

“Keputusan yang bagus ketiklah 0822XXXXXX, hubungi kami jika terjadi sesuatu,” ujarnya berjalan menjauh dan menghampiri Joy yang sudah menunggu.

Setelah mereka pergi aku juga keluar dari rumah menuju ke rumah pelayan diakones yang berada di samping rumah kami. Inang diakones sangat ramah dan menyambutku dengan sangat baik setelah berbincang-bincang agak lama, Inang mengajaku untuk bertemu dengan perkumpulan ibu-ibu yang ada di tempat ini.

Disini memiliki tradisi yang cukup unik yakni, karena Pasar hanya sekali seminggu yaitu pada hari selasa. Maka keluarga-keluarga disini tidak pergi bekerja keladang, melainkan menjual barang daganganya atau hanya sekedar belanja keperluan sehari-hari.

Setelah berkendara cukup jauh kami ke pasar dan bertemu dengan beberapa perkumulan ibu-ibu arisan yang sedang memilih milih bunga untuk dijadikan sebagai bunga altar. Mereka tampak kebinggungan memilih bunga yang ada di depanya, salah satu ibu bertanya kepada diakones.

“Inang bunga mana yang biasanya di jadikan bunga altar?”

“Yang paling umum, sih bunga aster nang iyakan Daisy?”

“Disini cuacanya dingin inang jadi banyak bunga yang bisa tumbuh mekar, kita bisa gunakan bunga aster warna warni di padukan sama bunga krisan. Terus nanti biar kelihatan ramai dan mewah kita bisa tambahkan bunga kecil-kecil ini nang nama bunganya baby’s Breath, nanti lapis luarnya kita bisa gunakan dedaunan yang berukuran sedang,” jawabku sambil menunjukan beberapa bunga kepada kumpulan ibu arisan itu.

“Kau tau banyak tentang bunga,” ucap salah satu ibu dengan pakaian formal yang sangat rapi.

“Ini nang mahasiswa praktek, dari sekolah pendeta Siantar. Dia melayani di salah satu pagaran kita, kebetulan tadi datang kerumah yaudah aku ajak aja biar pada kenal sama inang-inang yang tinggal di tempat kita ini.

“Ooh Mahasiswa sekolah pendeta, kapan sampainya inang?”

“Semalam pagi inang.”

Setelah memperkenalkan diri kamipun diundang ke rumah salah satu Ibu yang memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Dina untuk makan siang, sekaligus untuk merangkai bunga yang sudah kami beli. Kamipun berangkat sesampainya di rumah Ibu yang mengundang kami, disana kami di suguhkan dengan makanan yang sudah terhidangkan di lesehan.

Sambil makan kami berbicara banyak hal, dilanjutkan dengan merangkai bunga. Mereka memberikan banyak pemahaman yang menarik yang menjadi pelajaran yang menambah wawasanku mengenai tempat ini.

Tiba-tiba Inang diakones permisi untuk pulang terlebih dahulu karena ada urusan yang sangat mendesak mengharuskan mereka untuk segera pergi.

“Kami pulang terlebih dahulu yah inang Daisy bisa pulang sendiri, kan nanti bilang aja sama tukang ankotnya turun di depan rumah pendeta.”

Inang diakones benar-benar sangat terburu buru yang membuatku tidak bisa menolak dan lansung setuju, padahal aku sendiri benar-benar tidak tahu ini ada dimana dan nanti naik angkot yang bagaimana.

Setelah selesai merangkai bunga, aku juga berpamitan kepada tuan rumah dan juga ibu-ibu lain yang berada disana. Mereka menawarkan untuk mengantarkanku, tapi aku menolak karena aku tahu mereka juga sibuk dan juga lelah aku tidak mau merepotkan mereka.

Aku berjalan menuju jalan utama dan menunggu angkot disana akan tetapi jalanan sangat sepi dan kendaraan yang berlalu lalang juga bisa di hitung. Tidak sabar menunggu aku berinisiatif untuk menyusuri jalanan pelan-pelan.

Walau berjalan sudah cukup lama angkot tidak kunjung lewat, aku mulai sedikit gelisah da melihat sekelilingku hanya terdapat rumah yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Dan aku juga mempercepat jalanku ketika melewati lapo tuak atau tempat minum-minum.

Dan sekarang aku benar-benar sangat panik karena hari sudah mulai gelap dan aku juga sudah mulai lelah. Aku teringat bahwa tadi pagi aku menyimpan nomor Feno, cepat-cepat aku mengeluarkan hpku dari saku celanaku dan berusaha menelponya. Sudah beberapa kali menghubungi tidak ada jawaban.

Aku sangat putus asa, air mata sudah mulai mengenang di pelupu mataku aku mencoba meghubungi Feno sekali lagi.

Di tempat lain Joy yang baru selesai mandi melihat hp Feno diatas kasur yang terus berdering, sejenak dia ragu untuk mengangkat karena nomor yang menghubungi tidak bernama tapi karena terus menerus berdering pada akhirnya Joy mengangkatnya.

“Hallo.” Aku memulai percakapan.

 “Hallo.” Suara dari seberang menyahutku.

 “Ini Daisy aku tersesat aku …hiks hiks hiks,” timpalnya dan tagisanya mulai pecah, tangisan wanita itu membuat apa yang di ucapkanya tidak terdengar dengan jelas.

“Yakkkkk!! Jangan menangis bicaralah dengan jelas agar aku bisa paham!” bentakku karena dia tidak berbicara dengan jelas dan hanya menangis.

“Aku aku tadi aku diajak inang diakones berkunjung ke rumah ibu-ibu arisan, terus aku takut ngerepotin inang dan mereka, jadi aku bilang aku bisa pulang sendiri, sekarang aku enggak tau aku dimana,” jelasnya kepadaku sambil menahan tagisanya.

“Cobalah tenang sekarang lihat sekitarmu, apa yang kau lihat.”

“Disini ada rumah berjarak-jarak cukup jauh satu sama lain, lalu aku baru saja melewati seperti perkebunan sayur terus …tut…tut…tut,” telepon kami terputus, aku berusaha untuk menelpon wanita itu kembali akan tetapi nihil tidak ada jawaban sedikitpun.

Daisy berusaha mengoyang-goyangkan hpnya agar mendapatkan jaringan namun usaha yang dilakukanya sia-sia.

“Apakah aku akan mati disini,” pikir Daisy dalam hati, sambil tetap berjalan dengan air mata yang terus membanjiri pipinya.

Di rumah Joy juga benar-benar panik, dia datang ke rumah Inang Diakones akan tetapi rumahnya tutup dan tidak ada orang. Lalu dia bergegas masuk ke dalam mobil dan menghubungi Inang Diakones setelah beberapa kali menghubungi, puji syukur inang itu mengangkat dan memberitahukan alamat tempat mereka tadi berkumpul.

Joy terus menyusuri jalan, pada akhirnya dari kejauhan melihat seseorang yang berjalan dengan kepala meununduk sambil memeluk dirinya sendiri. Tadi jantungku hampir meledak ketika dia mengatakan bahwasanya dia tersesat, aku sangat khawatir sampai tidak tau harus berbuat apa.

Aku meminggirkan mobil dan turun, berlari ke arah Daisy, menarik tanganya dan membawanya kedalam pelukanku aku sangat lega melihat dia tidak kenapa-napa.

“Mamah hiks hiks hiks mamah hiks hiks,” tangisnya pecah dan tubuhnya bergetar hebat pertanda bahwasanya dia sudah sangat ketakutan.

“Tenanglah, aku sudah disini semua sudah baik baik saja.”

Setelah tangisanya meredah aku merenggangkan pelukanku dan mengangkat dagunya, menatap matanya dan kembali menariknya kedalam pelukanku. Entak perasaan apa yang menggerogoti hatiku yang aku tahu aku benar-benar sangat takut jika suatu hal terjadi padanya.

Ko“Dasar gadis bodoh,” ujarku sambil menghusap kepalanya dengan lembut.

Kemudian kami berjalan, tanganku dengan setia menggenggam tanganya dan menuntunya ke mobil. Setelah Daisy masuk, aku juga menyusul. Aku melihatnya yang duduk tanpa mengeluarkan suara, kemudian aku memasangkan sabuk pengamanya sambil menatapnya yang masih terdiam dengan tatapan kosong.

Aku mengendarai mobil dan membawa kami ke tempat makan, setelah sampai aku melepas sabuk pengamanya, membukakan pintu mobil untuknya dan menuntunya keluar. Menurutku wanita ini benar-benar terguncang dengan kejadian tadi.

“Daisy.” Panggilku

“Hmm,” jawabnya dalam keadaan kepala menunduk

“Daisy, lihat kesini.”

Gadis itu berlahan mengangkat kepalanya lalu melihat kearahku.

“Kamu tahu kan kalau kamu salah.”

“Aku salah, tapi aku hanya enggak mau ngerepotin orang-orang disekitarku,” bantahnya diikuti air matanya yang kembali berlinang.

“Terus kalau kejadinya seperti tadi, kamu masih mau bilang enggak mau ngerepotin,” Aku mengambil tisu dan menghapus air matanya dengan berlahan.

“Kau tahu Daisy, kita selalu takut kalau ngerepotin orang lain padahal terkadang sesuatu yang seperti itu perlu. Aku harap mulai dari sekarang kamu tahu cara memegang payung untuk orang lain dan aku juga berharap kamu dapat menerima payung yang di pegang, kan orang lain kepadamu,” lanjutku menjelaskan kepadanya.

“Maaf, aku salah aku enggak bakalan mengulang hal begituan lagi.” Tatapan matanya terlihat dalam dan meyakinkan.

“Seharusnya memang begitu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status