Cahaya matahari bersinar sangat cerah. Bulatan oranye itu sudah terlalu berada jauh di atas kepala, menyebarkan sengatan yang menusuk dan membakar kulit. Suasana jalanan masih terus dipenuhi kendaraan yang berlomba membuang gas beracunnya. Bisingnya jalanan tidak mengusik suasana kafe di salah satu komplek pertokoan, tidak jauh dari gerbang kampus Merva. Bangunan dua lantai itu disulap menjadi kafe kecil yang nyaman. Dengan ukuran sempit, pemiliknya berhasil membuat Le Blanc menjadi tempat ngopi yang instagramable. Setiap sudut dihiasi dengan berbagai ornamen menarik. Rooftop kafe menjadi tempat paling favorit, asal tidak turun hujan.Gia duduk di sebuah sofa paling ujung, di samping lorong menuju kamar mandi. Dia meringkuk di sudut kafe sendirian. Dia memeluk kedua kaki yang sengaja dinaikkan ke sofa. Wajahnya dibenamkan ke sela-sela kedua pahanya. Gia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Suara musik yang disetel kencang mengalunkan lagu-lagu riang tidak memengaruhinya. Suasana hat
Sebelum matahari terbenam, Restu sudah kembali menjalankan mobilnya menjauhi area pantai. Suasana mulai sepi. Lampu-lampu mulai memancarkan cahayanya, menggantikan tugas matahari yang mulai menjauh. Mobil Restu meninggalkan tumpahan air asin jauh di belakang. Di sampingnya, Gia terus bernyanyi bersama Gavin yang sekarang menyembulkan kepalanya di sela-sela Restu dan Gia. Kepala Gavin bergerak mengikuti irama tepukan tangan Gia. Restu tidak mau kalah dengan ikut menyumbangkan suaranya yang tidak terlalu merdu. Mobil Restu dipenuhi paduan suara yang sumbang. Tidak ada satu pun, dari tiga manusia yang berada di dalam mobil, mempunyai suara bagus. Sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan bagi Restu, jelas bukan karena suara-suara menyedihkan yang terus bernyanyi dengan riangnya. Gavin sudah lama tidak sebahagia ini. Ini semua karena Gia. Sebuah alasan sederhana kenapa Restu bisa mencintai perawan muda yang tinggal di depan rumahnya itu. Gia berhasil memberikan nyawa pada keluarga keciln
Pagi ini Gia bersiap lebih pagi dari biasanya. Dia bahkan mau repot-repot menyetel alarm di jam lima pagi. Padahal, biasanya Gia baru bisa bangun karena teriakan Bunda. Semua ini dilakukan Gia demi janji yang terlanjur diucapkannya kepada Gavin. Dia tidak mau membuat kecewa Gavin. Gia memandang pantulan dirinya di cermin. Rambut panjangnya disisir supaya rapi dan dibiarkan terurai begitu saja. Segera Gia meraih tas ransel cokelat yang tergeletak di atas tempat tidurnya, lalu keluar kamar. Bunda sedang masak di dapur saat anak gadisnya muncul. Gia segera menghampiri Bunda dan mencium pipi kanannya sekilas. "Gia ke rumah Om Restu dulu, ya. Sekalian langsung berangkat," pamit Gia. "Iya. Ati-ati, ya, Gi. Di rumah orang jangan bikin malu." Bunda mengingatkan. Pandangannya tetap fokus pada tumis brokoli yang dimasaknya. "Bunda apaan, sih? Masa Gia bikin malu. Gia ini wanita terhormat yang selalu menjaga sopan santun layaknya bangsawan Eropa. Ratu Elisabeth aja berguru sama Gia," protes G
Sebuah tepukan di pundak mengagetkan Gia. "Cieh, dianterin Om Restu. Cieh, senyum-senyum najis," ejek Jessica yang tiba-tiba ada di belakang Gia.Gia terlonjak. Refleks, dicubitnya hidung Jessica pelan. "Ngagetin aja lo! Mau bikin jantung gue keluar dari mulut?" protes Gia gemas."Aduh aduh, sakit, ih," keluh Jessica sambil mengusap-usap hidungnya yang mungil. "Mukanya cerah bener, Neng? Lagi jatuh cinta, ya?" Jessica masih terus menggoda Gia.Gia melotot. "Jatuh cinta apaan?" bantahnya, lalu berjalan memasuki gedung A, mengabaikan Jessica."Keliatan kali orang jatuh cinta, mah. Pipi merah. Mata berbinar. Senyum terkembang. Jantung berdetak lebih cepat. Rahim anget abis dibakar api cinta. Itu yang terjadi sama lo saat liat Om Restu tadi, kan?" Jessica menjelaskan. Dia berjalan cepat sampai berhasil berada di sisi kanan Gia."Ngaco aja lo, Je!" bantah Gia. Padahal, Gia benar merasakan apa yang disebutkan Jessica tadi.Jessica mengamati wajah Gia. "Cieh, malu-malu, tuh. Biasa aja hidungn
Gia menuangkan air panas ke dalam cangkir yang sudah diisi dengan kopi dan gula. Di sampingnya, Restu sedang sibuk memasak nasi goreng seafood pesanan Gavin. Aroma nasi goreng yang gurih dan kopi yang pahit bercampur di dapur Restu. Gia dan Restu sibuk dengan tugasnya masing-masing, sedangkan Gavin duduk manis menanti dengan tenang. "Belum mateng, Om?" tanya Gia sambil mengaduk kopi. Restu menghentikan gerakan tangannya mengaduk nasi goreng di dalam wajan. "Sudah lapar?" Restu balas bertanya. Tidak lupa dia memberikan senyum kepada Gia. "Baunya enak, bikin laper," jawab Gia, lalu tersenyum malu-malu. Entah kenapa debaran jantungnya kacau sejak dia masuk ke rumah ini tadi. "Sebentar lagi matang. Kamu duduk saja," sahut Restu kembali mencampur bumbu dan nasi. Gerakan tangannya cepat. Butiran nasi di dalam wajan perlahan berubah warna menjadi cokelat. Dihiasi potongan udang yang memerah, cumi, serta bakso ikan yang ikut kecokelatan, nasi goreng buatan Restu sungguh menggiurkan. Gia
Matahari mulai condong ke barat, perlahan menjemput senja. Beberapa gumpalan awan putih bergerombol menghalangi bulatan oranye yang panas itu. Kumpulan burung terbang rendah menuju rumah masing-masing. Teriakan pedagang siomai menjajakan dagangannya mengusik sore yang tenang di gang rumah Gia. Gia duduk di pinggir kolam ikan miliknya. Segelas besar susu dingin menemaninya. Sekarang, kolam ikannya terlihat lebih ramai dengan adanya tambahan lima ekor ikan harimau sumatera. Ikan ini ukurannya lebih kecil dari ikan emas koi yang sudah lebih dulu dimiliki Gia. Warna mereka kontras, mempercantik kolam kecil yang dibuatkan Ayah setelah Gia merengek selama satu minggu. Ayah yang tidak sanggup menolak permintaan anak semata wayangnya merombak halaman rumahnya. Sebuah kolam ikan dengan air terjun sederhana berhasil membuat Gia kembali tersenyum. Gia menebar makanan ikan ke dalam kolam. Ikan-ikan yang kelaparan itu langsung berebut melahap makanannya. Mereka saling menabrak dengan mulut terbu
"KAK GIA," panggil Gavin dari tengah jalan yang membatasi rumahnya dengan rumah Restu.Gavin memasang tampang cemberut. Wajahnya dilipat sampai terlihat kusut. Keringat sudah menghiasi wajah dan kaus putih tanpa lengan yang dipakainya."Kenapa, Gav?" tanya Gia bingung. Dia memandang Restu yang berdiri di samping Gavin. Restu hanya mengangkat pundaknya sebagai isyarat tidak tahu.Gia segera bangkit dari duduknya. Ditinggalkan kumpulan ikan yang masih berusaha menghabiskan sisa makanan. Dia berlari kecil mendekati Gavin."Kenapa?" tanya Gia lagi, saat sudah berdiri satu langkah di depan Gavin."Gavin capek, tapi Papa nggak ngasih izin buat istirahat," jawab Gavin mengadukan ulah papanya, yang dia anggap jahat. Kedua tangannya yang diselimuti sarung tinju terjulur di samping tubuhnya lemas."Om?" Gia menatap Restu tajam, meminta penjelasan.Restu yang merasa tersudut hanya bisa tersenyun kaku. Tangan kanannya yang dililit hand warp, mengusap tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Sementa
Mobil Restu menjauh, meninggalkan Gia yang masih belum rela ditinggalkan. Rasanya pagi ini dilewati terlalu cepat.Mendadak Gia tersadar akan sesuatu. Matanya langsung melihat ke sekeliling, mencari hal yang seharusnya tidak dia temui. Saat tidak menemukan yang dia cari, Gia mengembuskan napas lega. Segera dia berlari masuk ke gedung A, berharap bisa bersembunyi di dalam kelas. Setidaknya, ruangan berpendingin itu mampu menyembunyikannya selama satu jam ke depan.Setelah Hugo menyatakan cintanya kemarin, Gia langsung kabur. Dia tidak peduli dengan Hugo yang kemudian ikut mengejar. Gia terus berlari tanpa arah tujuan yang pasti. Sampai akhirnya, Hugo bisa menyusulnya dan menghentikan langkahnya dengan berdiri di hadapan Gia."Lo kenapa, Gi?" tanya Hugo. Mata tajamnya menatap Gia, membuat Gia takut dan memilih memandang deretan mobil yang terparkir di sebelah kiri mereka. Setidaknya, aneka merek mobil itu tidak akan menyakiti hatinya.Gia terdiam lama. Dia sengaja mengabaikan Hugo. Dadan