"Abang ngapain membawa saya ke sini sih? Katanya tadi Abang mau menemani saya ke rumah sakit?" Pandan heran saat Mahater menghentikan laju kendaraannya di gerbang rumahnya sendiri. Ya, ternyata Mahater membawanya ke rumah keluarga besar Depati. Dulu ia memang senang-senang saja kalau di ajak oleh keluarganya mengunjungi rumah Om Anak Dewa ini. Rumahnya sangat luas dan di penuhi tanaman-tanaman yang asri sekali. Menurut cerita lama yang ia dengar, dulunya rumah ini di bangun si Om untuk ibunya. Karena dulu Om Anak Dewa sangat mencintai ibunya. Om Anak Dewa membangun rumah ini persis seperti buku cerita dongeng favorit ibunya. Tapi apa mau dikata, mereka memang tidak berjodoh. Ibunya menikah dengan ayahnya dan Om Dewa menikah dengan Tante Suci Melati.
Dulu ia sering mengunjungi rumah ini dengan ibunya. Karena bagaimanapun ibunya adalah adik angkat Om Anak Dewa. Tapi sekarang keadaan 'kan sudah berbeda. Ia mengunjungi rumah ini bukan lagi sebaga
"Pandan Wangi Delacroix Bimantara. Wah... wah... wah... nama Anda unik sekali ya, Bu? Perpaduan dari nama asli Indonesia, Prancis dan juga sansekerta. Apakah ibu tahu apa arti dari nama Ibu?" Dokter muda yang melihat kalau calon pasiennya ini begitu tegang dan gelisah, berusaha untuk mengalihkan keresahannya. Relaksasi sebelum berkonsultasi adalah hal yang kerap kali ia lakukan. Terutama untuk para calon ibu-ibu muda yang nervous saat harus melakukan pemeriksaan kehamilan untuk pertama kalinya."Ibu saya dulu mengatakan bahwa ia menamakan saya Pandan Wangi, karena ia ingin saya membumi. Bisa bertahan hidup dalam segala situasi, dan tetap harum mewangi meski dipotong, dicabut bahkan diinjak-injak sekalipun." Jawab Pandan jujur. Ia sebenarnya sangat tegang saat akan memeriksakan kandungannya pertama kali ini. Apalagi ternyata dokter kandungannya adalah seorang laki-laki. Ia sempat ingin mengurungkan niatnya saat baru masuk tadi. Apalagi saat melihat Denver y
"Kita bisa mampir ke warung seafood di depan itu nggak, Bang? Saya tiba-tiba kepengen makan kerang rebus." Pandan menunjuk pada sebuah warung sederhana pinggir jalan dengan tulisan Kerang Rebus Medan. Penampakan kerang yang baru saja diangkat dari dandang membuat mulutnya berliur seketika. Membayangkan menyantap kerang rebus panas-panas yang dicocol dengan sambal nenas membuat perutnya kian berontak."Bisa, tapi nggak bisa," sahut Denver sambil terus berkonsentrasi menyetir. Ia bahkan dengan sengaja menekan pedal gas sedikit lebih kencang saat mobil mereka melewati warung yang ia maksud. Eee amang, apa maksudnya ini? Mau cari perkara dengannya ya? Pandan jadi emosi melihatnya."Udah lewat itu warungnya, Bang! Apa maksud Abang dengan kata bisa tapi nggak bisa? Kalau Abang nggak mau nungguin saya makan juga nggak apa-apa kok. Saya nanti bisa pulang sendiri. Sekarang berhenti. Saya mau turun!" Amuk Pandan kesal. Tetapi lagi-lagi ucapannya
"Selamat sore semuanya. Tumben sekali semuanya pada ngumpul di sini. Lengkap lagi. "Denver berusaha mencairkan suasana dengan menyapa ringan ayah dan adiknya. Ia juga menundukkan sedikit kepalanya pada Om Revan, Lautan dan Puput. Berusaha bersikap tetap tenang. Ia tidak mau kalau Pandan sampai ikutan stress melihat suasana yang mulai terasa aura tegangnya ini."Tidak terlalu lengkap Denver. Ibumu dan Tante Embun, Om kirim ke mall dulu. Mereka Om bisikin tentang sale besar-besaran akhir tahun. Jadi mereka berdua masih akan sangat lama berada jauh dari rumah ini," sahut Om Revan kalem. Kalimat terselubung Om Revan ini sudah membawa aura peringatan yang sangat halus namun efektif untuknya. Om Revan bermaksud mengatakan kalau ia tidak usah mengharapkan bantuan dari ibunya maunya Tante Embun. Ancaman terselubung sedang dilancarkan. Om Revan ini memang sangat jago mengintiminasi maupun memanupulasi perasaan orang. Ada kemarahan tertahan yang ditutupi oleh kalimat-kali
"Kenapa semua jadi melenceng dari plan begini? Gue kan udah bilang, jangan pernah melibatkan dia dalam semua aksi kita. Dia itu orangnya nekadan. Bisa berantakan semua ntar rencana kita kalo dia udah ikut campur. Lo kalau kerja yang bener dong? Katanya aja professional. Professional apaan coba?Seorang pria tampan rupawan yang sedang bergoyang-goyang santai mengikuti alunan musik EDM, berjalan menjauhi dance floor. Tangan kanannya memegang ponsel yang masih ditempelkan di telinga. Setelah menemukan satu spot yang tidak begitu bising, ia kembali melanjutkan pembicaraannya."Sorry... sorry... ini semua gara-gara si Daniel sih pake acara ngaku segala. Katanya dia takut bakalan dibikin jadi perkedel daging sama itu duo veteran Alcatraz. Makanya persoalan jadi melebar begini. Tapi lo tenang aja. Menurut gue, perubahan yang melenceng dari rencana kita ini malah jadi lebih bagus lagi. Keadaan akan makin chaos. Kedua keluarga besar akan saling curig
"Tyza... Tyza bisa bantuin Pandan nggak?" Begitu kakaknya berlalu, Pandan segera menghubungi tantenya via ponsel. Alzahra Tjandrawinata alias Zaza alias Tyza. Tantenya ini mempunyai usia yang sama dengan Lautan, kakaknya. Hanya berbeda bulan saja. Karena itulah Tante Zaza tidak mau dipanggil Tante oleh mereka berdua yang nota benenya adalah keponakannya. Alhasil Tante Zaza merubah panggilannya menjadi lebih enak didengar, yaitu Aunty Zaza yang disingkat menjadi Tyza."Ahelah, lo ngomongnya serius begini gue jadi deg deg-an. Pas kayak anak perawan lagi ngintip calon jodoh yang mau ngelamar. Lo mau ngomong apaan, Ndan? Jangan bilang kalo lo lagi bunting ya?"Mampus! Tebakan Aunty Zaza memang tepat sasaran."Emang iya sih. Tapi tujuan utama Pandan--""Eh ponakan durhaka. Lo ngelangkahin gue sebagai Aunty lo ya? Gue aja yang udah akhir dua puluhan gini belum pernah sekalipun ena ena. Lah lo yang baru bro
"Assalamualaikum."Pintu kamar rawat inap Denver terbuka seiring dengan suara salam dari seseorang. Denver dan Pandan serempak menoleh ke arah arah pintu. Seorang gadis manis berhijab memasuki ruangan dengan tangan yang dipenuhi oleh bungkusan. Zivana Wisesa."Lho ternyata ada lo toh di sini, Ndan? Kalo gitu ngapain juga gue lelarian ke sini disuruh bunda ngejagain gorill--" Ziva nyaris menggigit lidahnya sendiri. Ia terpeleset omong memanggil Denver dengan sebutan gorilla. Begini ini kalau suka membatin dan memberi orang julukan sembarangan. Bisa keluar sendiri dari mulut tanpa sempat ditahan lagi. Alamat dimarahin lagi lah ia oleh gori--eh Mas Denver yang gualaknya nauzubillah ini."Mau ngomong apa kamu tadi? Gorilla? Lagian siapa juga yang minta kamu jagain saya?" Denver langsung ngegas. Orang lagi sakit malah dikata-katain. Di depan mata gebetan lagi? Kan bisa merusak pasaran kegantengannya yang hakiki. O
Suasana ruang tamu kembali tegang. Jikalau beberapa waktu lalu tegang karena di sidangnya Mahater dan Thomas, kali ini tersangkanya adalah Denver. Hanya saja ekspresi tersangkanya sangat santuy sekali. Tidak tampak ada ketakutan sedikit pun yang terbias di matanya. Padahal penampilannya mengerikan sekali. Kaki kanannya masih di gips dan di sanggah oleh kruk. Kepalanya juga masih dibalut perban. Memar-memar di wajahnya sudah berwarna ungu kekuningan. Yang artinya memarnya susah berusia beberapa hari. Hanya tinggal pemulihannya saja. Intinya penampilannya persis seperti tentara yang baru pulang perang dari negara konflik. Penampilannya sudah seperti itu pun, sikapnya masih dingin-dingin songong saja. Padahal ekspresi wajah ayah dan kakaknya sudah seperti ingin mengunyahnya mentah-mentah.Sedari Denver menginjakkan kaki di ruang tamu ini, Om Revan dan Lautan terus mengawasinya seperti seekor burung elang yang sedang mengintai mangsa lezatnya. Tinggal menunggu
"Harus banget kita ke sini ya, Bang?" Pandan ragu-ragu saat Denver membawanya masuk ke kantor polisi. Bukannya apa-apa, seumur hidupnya ia tidak pernah menginjak yang namanya kantor polisi. Jadi ada perasaan tidak nyaman saat harus masuk ke sarang pria-pria berseragam ini. Rasanya seperti akan di penjara saja. Tapi sepertinya Denver sudah membulatkan tekad untuk melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib. Ia ingin menuntaskan kasus ini melalui prosedur yang benar katanya. Ia tidak mau lagi bermain detektif-detektifan yang akhirnya malah akan berakhir dengan penghianatan. Makanya ia dengan sengaja menemui Kompol Galih Kurniawan Jati terlebih dulu untuk bertukar pikiran, sebelum benar-benar akan melaporkan kasus ini secara resmi. Dan di sinilah mereka sekarang. Dalam ruangan kerja asri Kompol Galih Kurniawan Jati."Bukannya saya bermaksud untuk mencampuri urusan pernikahan kalian ya, Pandan, Denver. Hanya saja situasinya saya rasa kurang tepat untuk membuat sebua