Share

8. Jalur Abu-Abu

Cinta tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Dia berada disebuah helikopter bersama Bian, ntah kemana Bian akan membawanya.

Setelah itu dia merasakan helikopter semakin turun dan mereka sudah berada didepan sebuah gedung putih. " kita dimana?" tanya Cinta penasaran saat akan memasuki pintu besar berwarna putih itu.

"Ini rumah impianku." jawab Bian dan Cinta takjub. Ini rumah, dia pikir ini sebuah hotel atau museum karena tadi dari luar rumah ini begitu mewah.

Dan saat masuk didalamnya Cinta juga kagum, sangat berkelas dengan gaya Eropa klasik yang memenuhi desain rumah ini.

"Kenapa bapak membawa saya kerumah bapak?" tanya Cinta yang masih berjalan disebelah Bian. Sedangkan Bian berjalan menggunakan kursi rodanya.

"Ntah la, saya hanya merasa butuh kamu saat ini."

"Apa ini di Jakarta?"

Bian menggelengkan kepalanya.

"Jika di Jakarta kita tidak akan berlama-lama dihelikopter tadi." Cinta mengangguk paham. Tapi dimana mereka.

"Lalu ini di mana pak?"

"Bali."

"What?" Cinta luar biasa terkejut. Melihat senja yang sudah terlihat dari balkon yang sekarang dipijaki Cinta benar-benar luar biasa. Panta Bian menyukai rumah seperti ini. Cinta melihat Bian yang menikmati hembusan angin diwajahnya, matanya tertutup dengan senyuman yang membuat pria itu semakin mempesona.

Bunyi ponsel Cinta membuat mereka berdua tersentak lalu Cinta segera mengangkat telpon dari Kevin itu.

"Kamu dimana Cinta? Apa kamu lupa janji kita hari ini"?

Cinta tersenyum merasa bersalah. Bagaimana dia menjelaskan kepada Kevin. Sebenarnya baru saja Cinta akan menjawab perasaan Kevin padanya, eh ternyata Bian sudah terlebih dulu membawanya pergi.

"Sini telponnya." Bian meminta ponsel Cinta.

"Tap.. tapi pak.."

"Sini Cinta." Cinta memberikan ponselnya dan merasa takut kalau Kevin akan salah sangka.

"Halo Kevin, Cinta sama saya. Saya mengajaknya pergi tadi. Maaf jika membuatnya melupakan janji kalian."

Kevin mengenal baik suara pria ini.

"Mas Bian?" tanya Kevin. Kevin adalah sepupu Bian dari sebelah ibunya. Ibu Kevin adalah adik dari mamanya. Dan kebetulan Kevin juga bekerja diperusahaan keluarga Jayker yang dipimpin oleh Bian sekarang.

"Iya ini aku." Kevin berpikir sejenak dan dia menggelengkan kepalanya. Dia berdoa semoga wanita yang dia suka bukanlah wanita yang diceritakan mamanya sedang dekat dengan Bian. Cinta dan Bian tidak pernah terlihat dekat selama ini.

"Baiklah mas, titip salam sama Cinta."

"Oke". Bian mengembalikan ponsel Cinta dan Cinta masih diam mengambil ponselnya.

"Pak Bian, boleh saya jalan-jalan disekitar daerah ini. Kan mumpung di Bali."

Bian tertawa dan mengangguk dengan ungkapan Cinta yang jujur.

"Saya temani." Cinta tersenyum dan mereka turun dari balkon itu. Saat turun dengan lift Cinta kembali tersenyum bahagia membuat Bian juga bahagia melihat senyuman itu.

"Kamu mau jalan kemana?"

"Jalan disekitar sini saja pak, udaranya sejuk banget." Bian mengangguk, dia setuju udara nya sejuk terlebih diluar pagar rumah besar itu ada taman dan juga pura tempat beribadah umat Hindu. Komplek perumahan Bian memang tempat hunian orang kelas atas. Meski langit sudah gelap tapi tetap terang dimata Cinta, obor yang banyak menghiasi jalan membuat pemandangan begitu khas.

"Wah pak ada Pura?"

Bian mengangguk. Dilihatnya Cinta mengarah jalan ke Pura yang terletak disebelah kiri mereka, dan Bian mengikuti Cinta. Kursi rodanya bergerak tanpa lelah kemanapun Bian inginkan.

Cinta meminta difotokan oleh Bian dengan ponsel kurang canggihnya. Dan segera Bian memfotokan Cinta dengan ponselnya juga.

Tak jauh dari Pura terdapat sebuah lapangan yang ramai oleh anak-anak muda yang sedang bermain bola basket.

Bian tersenyum dan tanpa sadar dia menggerakkan kursi rodanya kesana. Cinta mengikuti Bian yang sudah terlebih dulu sampai disana. Cinta berdiri disebelah Bian yang melihat permainan beberapa anak muda itu dengan sedih.

"Dulunya, aku sangat suka bermain basket. Bahkan aku adalah ketua tim basket disekolahku." cerita Bian membuat Cinta ikit sedih, dia mengerti apa maksud dari sedikit cerita itu.

"Kalau begitu ayo bernostalgia." ajak Cinta bersemangat. Cinta mendorong kursi roda Bian setelah dia mengganti mode manual dikursi roda itu.

"Cinta stop. Aku tidak lagi bisa melakukannya. Kau tahu aku", kalimat yang tidak selesai dari Bian itu membuat Cinta memposisikan dirinya berdiri disebelah Bian dengan melihat wajah Bian dan tersenyum.

"Anda masih punya tangan Pak, kalau kaki itu gampang. Saya yang akan menjadi kaki bapak untuk melangkah."

Saat Cinta mengatakan itu seolah itu adalah pernyataan dari Cinta yang siap menjalani kehidupan dengan Bian. Lama mereka berhadapan dan saling terpesona, hingga bola basket itu mengenai tubuh Bian.

"Lihat, bola basket itu minta untuk kau mainkan."

Bian tersenyum dan dia mengambil bola basket itu dengan tangannya.

"Apakah keberatan jika kami bergabung?"

Tanya Cinta dan anak-anak muda itu tersenyum juga mempersilahkan mereka. Cinta bersorak semangat. Dia mengeluarkan bagian kemejanya yang masuk kedalam celana kainnya. Cinta memang masih menggunakan setelan kerja begitu juga Bian, Bian hanya minus jas dan dasinya saja. Cinta lalu mendorong Bian kesana kemari dengan hels nya, Cinta sedikit tahu permainan bola basket jadi dia tahu kemana harus membawa Bian yang memantulkan bola itu, dan.....

"Ye.......... Ye... Ye....". Sorak Cinta lalu memeluk tubuh Bian dari depan. Bian juga begitu semangat memeluk Cinta, dia mendapatkan kebahagiaan yang sudah lama sekali tidak dia rasakan. Cinta melepaskan pelukannya dan merasa malu kepada Bian, lalu memilih mengucapkan terimakasih kepada anak-anak remaja itu. Mereka akhirnya kembali ke rumah Bian dengan perasaan bahagia dihati masing-masing.

Saat sampai dirumah, Bian membawa Cinta kesebuah ruangan. Dan ternyata Bian membawanya kesebuah kolam renang dan Cinta melihat sebuah meja yang diatasnya sudah ada makanan juga lilin yang indah memberikan kesan romantis. Tapi Cinta tidak berpikir kalau Bian memang menyiapkan ini untuknya saat mereka pergi meninggalkan rumah.

"Ayo makan, kau pasti lapar kan?"

Cinta mengangguk. Tapi wajah Cinta terlihat cemberut saat melihat steak daging yang sangat menggiurkan sana.

"Kenapa?". Tanya Bian heran.

"Saya tidak bisa menggunakan pisau untuk memotong daging itu. Eh... Tak terbiasa." jawab Cinta jujur. Dia tidak ingin menutupi kekolotannya dan berakhir memalukan dihadapan Bian. Bisa saja daging yang dia potong itu akan lompat mengenai Bian.

"Tenang saja, ayo kita nikmati. Aku akan menjadi tanganmu untuk memotongnya."

Cinta tertawa, Bian mengikuti kata-katanya tadi. Mereka duduk dan makan, dengan Bian yang menyuapi dirinya juga diri Bian sendiri.

"Pak saya tidak mabuk kan setelah meminum ini."

Tunjuk Cinta kepada sebuah gelas berisi cairan berwarna hitam. Bian tertawa begitu juga Cinta yang merasa konyol dengan pertanyaannya.

"Tidak love, itu hanya soft drink. Aku tidak lagi meminum alkohol ataupun wine."

"Baguslah." kata Cinta dan meminum dengan lega.

Bian memperhatikan gerak tubuh Cinta dan dia melihat betapa cantiknya Cinta. Wajah manisnya dan juga Cinta sangat menyenangkan diajak berbicara. Banyak hal yang mereka bicarakan saat makan malam itu. Salah satunya adalah masa-masa SMA Bian dan juga Cinta.

Bian mengajak Cinta menuju salah satu kamar dirumah itu. Karena kata Bian mereka akan kembali besok pagi saja. Dan Cinta menurutinya, Cinta begitu bahagia hari ini. Ntah apa yang membuatnya sangat bahagia, hanya saja perasaan Cinta untuk Bian tumbuh perlahan dihatinya. Tapi Cinta cukup tahu diri dan tak ingin tersakiti, dia tidak sederajat dengan Bian. Sehingga dia memutuskan untuk mengantisipasi perasaannya itu, dan semoga saja bisa.

Sedang dikamarnya Bian juga sama. Begitu bahagia dan ingin terus seperti ini bersama Cinta. Dia tak lagi menampik ingin berdekatan dengan Cinta. Meski Bian tahu kalau dia tak ingin membuat Cinta terkurung dalam hidupnya yang menyedihkan. Dan inilah masalah mereka berdua, masalah yang tidak tahu bagaimana akan menyelesaikannya.




Bersambung......


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status