LOGINKeesokan paginya, Alesha sedang menikmati kopi di apartemennya ketika Arif menelepon. Nadanya dingin, formal, dan penuh perintah.“Datang ke kantorku sekarang, Alesha. Ada yang perlu Papa bicarakan.”Di sisi lain kota, di kantornya yang mewah, Arif duduk di kursinya, wajahnya muram. Di atas meja, ia meletakkan selembar foto. Itu adalah hasil cetakan dari pesan anonim yang ia terima.Foto itu buram, diambil dari jarak jauh, mungkin dari jendela kamar atau balkon. Foto itu menunjukkan Alesha dan Rayhan di rumah Rayhan, di ruang keluarga, dalam posisi yang sangat dekat—momen singkat di parkiran (meskipun itu tidak terlihat jelas di foto). Yang pasti, foto itu menunjukkan Rayhan dan Alesha berdua di rumah itu, di malam hari.Arif tahu betul, dari detail tata letak ruangan, bahwa itu diambil dari rumah Rayhan. Ia tahu itu adalah Alesha. Foto itu tidak menjabarkan kebohongan, tetapi menyiratkan keintiman yang tidak wajar antara seorang sahabat lama dan putri sahabatnya.Siapa yang meng
Saat Alesha berjalan kembali ke pintu, Rayhan memanggilnya.“Satu hal lagi, Lesh.”Alesha menoleh.“Mulai sekarang, lingkaran hitam di bawah matamu bukan lagi karena skripsi,” kata Rayhan, matanya bersinar gelap. “Itu karena aku.”Alesha hanya bisa menunduk, pipinya memerah, dan menyelinap keluar ruangan. Ia kembali ke kamar Zira, berbaring di karpet, memegang kunci emas itu erat-erat. Malam di bawah satu atap ini telah memberinya segalanya: sebuah ciuman terlarang, sebuah perjanjian rahasia, dan sebuah kunci menuju hidup ganda.Rayhan secara efektif memberikan perintah. Ia memposisikan dirinya sebagai komandan operasi rahasia, dan Alesha hanyalah prajurit yang harus patuh. Alesha menyadari, di mata Rayhan, ia telah berubah dari kekasih terlarang menjadi potensi pengkhianat.Alesha menjauh, mengangguk lemah. “Aku mengerti. Aku akan ke kamar.”Rayhan membiarkannya pergi, kembali ke ruang kerjanya. Ia tidak menoleh.Alesha memasuki kamar tamu. Kamar ini terasa dingin dan asing.
Di bawah, ruang keluarga kembali diselimuti keheningan yang mencekik. Kepergian Zira terasa seperti pintu yang dibanting, meskipun ia hanya menutupnya perlahan. Rayhan dan Alesha saling berhadapan. Adrenalin telah surut, meninggalkan jejak kekacauan dan ketakutan.Rayhan menjatuhkan buku medisnya ke meja kopi dengan suara keras. Suara itu terasa seperti peluru yang ditembakkan. Ia mengusap wajahnya, membersihkan keringat dingin di pelipisnya.“Dia melihat, Om,” bisik Alesha, suaranya pecah, matanya akhirnya berani menatap Rayhan. Air mata mulai menggenang, rasa bersalah kembali dengan kekuatan penuh. “Dia tahu. Kita sudah selesai.”"Aku membencimu, Rayhan. Aku membenci diriku. Gairah itu hanya sesaat, tetapi rasa bersalah ini abadi. Zira menatapku. Tatapan itu menuntut pengakuan. Aku bukan hanya mengkhianati sahabat, aku meracuni putrinya di bawah atapnya sendiri. Aku sudah tidak punya tempat untuk kembali. Tidak ada persahabatan, tidak ada keluarga, hanya Rayhan." Monolog Alesha
“Mobilnya baik-baik saja, Sayang. Ada masalah sedikit dengan rem tangan,” Rayhan berbohong, nadanya terdengar seperti ia sedang mendiagnosis penyakit ringan. Ia menggunakan keahliannya sebagai dokter untuk memberikan alibi yang terdengar logis dan teknis. “Jadi Papa periksa sebentar. Setelah itu, Papa duduk di sana, membaca halaman pertama buku ini. Gelap di ruang kerja, jadi Papa pakai lampu mobil.” Ia mengangkat buku tebal itu—sebuah buku tentang bedah, perisai kebohongan yang kokoh. “Kenapa? Ada apa? Papa mengganggu tidurmu?”Zira menatap Ayahnya, mengamati setiap detail. Ia membandingkan: Rem tangan vs. guncangan ritmis. Kemeja rapi vs. keringat di pelipis. Ekspresi tenang Rayhan vs. tatapan Alesha yang kaku di sofa.Kemudian, Zira membalikkan pandangannya ke Alesha. Tatapan itu menuntut kesaksian, mencari celah, mencari konfirmasi yang tidak bisa Alesha berikan.Alesha merasakan tatapan itu seperti sinar laser yang memindai setiap inci tubuhnya, mencari sisa-sisa pengkhianata
Rayhan mencium kening Alesha, ciuman itu kini berubah menjadi penuh penyesalan dan keputusasaan. “Kamu lihat apa yang kamu lakukan, Sayang? Kamu membuatku kehilangan kendali. Ini tidak boleh terjadi lagi di sini. Tidak di bawah atap ini,” bisiknya, suaranya dingin dan tajam. “Di sini terlalu berbahaya. Kamu mengerti?”"Iya, Om." Alesha mengangguk lemah, air mata hampir keluar, bukan karena kesenangan tetapi karena rasa bersalah yang langsung menghantamnya. Ia bangkit, merapikan pakaiannya yang kusut dengan tangan gemetar. Ia harus bergegas. Ia tidak berani menatap Rayhan.Rayhan membetulkan kursi pengemudi, tangannya gemetar. Ia mengambil buku medisnya—alasan palsunya—dan menatap Alesha dengan tatapan dingin. “Tunggu lima menit. Pastikan kamu sudah tenang. Lalu masuk. Bertinggalah normal. Kita tidak pernah berada di sini.”Alesha mengangguk. Ia menunggu, sendirian di dalam mobil yang pengap, merasakan bekas guncangan yang baru saja ia ciptakan. Ia sadar, ia telah mengambil risiko t
Tangan Rayhan menelusup di balik kaus oversize Alesha, menarik kain tipis itu ke atas. Ia mencari kulit halus di punggungnya, lalu bergerak semakin ke bawah, menekan paha Alesha agar ia merapatkan dirinya semakin erat ke Rayhan. Gerakan mereka terbatas, terkendala oleh setir, pintu mobil, dan konsol tengah.Di dalam mobil yang sempit, menanggalkan pakaian terasa sulit, lambat, dan sangat berisiko, menekankan betapa cepat mereka harus bertindak. Ini adalah momen penanggalkan identitas mereka sebagai Ayah dan Sahabat Zira.Rayhan dengan kasar menarik celana piyama Alesha, meremas kain itu dengan frustrasi. Alesha membantu, kaos itu kini terbuka, jatuh di kursi mobil, menjadi simbol identitas formal Rayhan yang mereka berdua robek dalam kegelapan.Rayhan merespons pelepasan pakaian itu dengan tarikan kuat yang hampir menyakitkan, menarik Alesha semakin erat ke pangkuannya. ”Ahhh ... Om!”“Diam, Sayang,” desah Rayhan, melihat ekspresi takut dan gairah di wajah Alesha. “Aku akan menguru







