LOGIN"Aku mencintaimu, Sayang. Kamu dan aku. Hanya itu yang penting. Hanya itu."Mereka ambruk ke seprai yang kusut, basah oleh keringat dan air mata yang mengering, kelelahan total menggantikan ketegangan yang mengerikan.Revan tidak bergerak. Ia menarik diri secara fisik hanya untuk memeluk Zira, membalikkan posisi mereka dengan lembut. Zira kini berada di atasnya, kepala Zira diletakkan di ceruk leher Revan. Posisi itu adalah inti dari aftercare mereka: Zira adalah beban terindah di dada Revan, beban yang paling ia rindukan di tengah kekacauan hidup mereka.Napas mereka beradu, perlahan-lahan kembali teratur, dari badai menjadi hembusan lembut yang seragam. Ruangan yang tadinya dipenuhi ketegangan kini terasa damai, diselimuti keheningan yang tebal dan hangat.Zira mendongak sedikit, matanya berkabut, wajahnya damai dan bersih dari semua kecemasan. "Aku merasa ... aku bisa bernapas lagi. Aku tidak takut lagi. Kamu menarikku keluar, Rev," katanya, suaranya sangat lembut, hampir sepe
"Ohhh ... Ahhh ... Ya ... Tuhanku ... Ini ... Kamu ... Ya ...."Revan menahan diri. Ia ingin sensasi ini melebihi ambang batas kecemasan Zira. Ia ingin Zira sepenuhnya tenggelam dalam realitas kehangatan tubuh mereka yang menyatu. Ia membelai wajah Zira, menyeka keringat dingin di pelipisnya."Aku di sini, Sayang. Biarkan aku menanggungnya. Biarkan semua stres itu keluar. Rasakan aku bergerak di dalammu. Aku adalah milikmu. Katakan padaku, siapa aku bagimu?""Kamu ... Ahhh ... Kamu adalah kebenaranku, Rev. Kamu adalah data yang tidak bisa dibantah ... Eughhh ...," rintih Zira.Dialog mereka kini berpadu dengan ritme tubuh Revan yang mulai bergerak. Revan bergerak dengan ritme yang stabil, kuat, dan terkontrol di awal, membiarkan Zira menyesuaikan diri dengan kedalaman dan kekuatan yang ia bawa. Ia bergerak dalam pola yang menenangkan, tetapi intens, menciptakan gelombang sensasi yang memaksa Zira untuk fokus pada setiap sentuhan, setiap dorongan.Zira meresponsnya dengan desaha
Rayhan menatapnya, ada jeda singkat di mana keheningan menjadi sangat tebal. Ia mendekat, tangannya menjelajahi area yang baru terekspos itu. Ia membiarkan Zira merasakan kehangatan telapak tangannya di kulitnya."Kamu selalu sempurna, Ra. Bahkan saat kamu marah," bisik Revan.Zira tidak menjawab, tetapi ia melingkarkan tangannya di leher Revan, menuntut ciuman baru. Ciuman itu kini lebih basah, lebih menuntut, dipenuhi dengan ketidaksabaran yang tiba-tiba.Revan membuka bra Zira dengan gerakan satu tangan yang terampil, membiarkan keindahan payudara Zira terekspos sepenuhnya. Ia membungkuk, dan ciumannya menyentuh kulit Zira yang kini benar-benar telanjang. Itu adalah pemujaan yang merangkul setiap inci kulit Zira.Ia menjelajahi puncak dada Zira, mencium lembut di antara payudara, dan perlahan, lidahnya dan bibirnya mulai bekerja, memompa hasrat Zira ke tingkat yang memabukkan.Zira menjerit kecil, tubuhnya melengkung. "Ahhh! Ohhh ... Revan! Eughhh ...." Ia mencengkeram rambut
Revan tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memegang tangan Zira, membalikkan telapak tangan Zira, dan mencium lembut pergelangan tangannya. Ciuman itu adalah sebuah janji, sebuah izin, dan sebuah undangan. Ia mengerti bahwa Zira tidak butuh kata-kata; Zira butuh pelepasan. Ia butuh pelabuhan yang tidak akan menuntutnya untuk menganalisis atau merasionalisasi apa pun.Revan bangkit dari kursi balkon. Zira mengikutinya, tanpa kata-kata, langkah kakinya terasa ringan, seolah-olah ia baru saja membuang beban ribuan ton. Mereka bergerak masuk dari dinginnya malam di balkon ke kehangatan remang-remang kamar Zira.Revan memimpinnya ke tengah ruangan. Ia memegang kedua bahu Zira, tatapannya lembut namun dalam, menuntut keheningan total dari pikiran analitis Zira. Ia melihat Zira yang sebenarnya: seorang wanita yang sangat rentan di bawah lapisan keras kedewasaan dan logika.Ciuman itu dimulai dengan sangat lambat. Revan menyentuh bibir Zira, sebuah sapuan yang lembut, menguji. Zira menutup
Revan tersenyum lembut, senyum yang menunjukkan ia sudah memprediksi alur data ini sejak lama. Ia mencondongkan tubuh sedikit, membiarkan suaranya menjadi bisikan di tengah keheningan yang kian pekat. "Mungkin dia memang tidak manipulatif, Ra. Mungkin dia hanya seorang gadis yang mencintai Ayahmu dan terpaksa berpisah. Lalu kecelakaan itu terjadi, kalian kembali dekat, dan dia tidak mau merusak momen itu, makanya dia menjauh. Dia melakukan cut loss atas hubungannya demi menjaga hubunganmu dengan Ayahmu. Itu adalah pengorbanan yang sulit diukur dalam angka, Ra. Sebuah anomali yang harus kamu akui.""Tapi kenapa dia tidak menjawab 'ya' dengan lantang?" Zira menekan lagi, mencari titik definitif. "Kenapa dia memilih ambigu, padahal dia bisa saja berteriak bahwa dia mencintai Ayahku dan memenangkan debat kami saat itu juga? Dia punya momentum.""Karena dia menghormatimu, Ra. Dia tahu kamu benci dia. Dia tahu kalian berpisah demi dirimu, atau setidaknya, dia membiarkanmu berpikir begitu,
Malam itu, Alesha berbaring di apartemen mewah yang disewakan Rayhan khusus untuknya. Dindingnya berwarna krem lembut, dilengkapi kasur empuk dan perlengkapan studi yang sempurna. Rayhan menjadikannya sebuah sanctuary yang sangat aman dan terisolasi.Panggilan video dari Rayhan masuk. Wajah Rayhan langsung muncul di layar, matanya khawatir."Bagaimana di kampus, Sayang? Kamu sudah minum vitamin? Mualnya masih parah?" Rayhan menghujani pertanyaan layaknya dokter kandungan yang posesif dan panik.Alesha tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Dokter Rayhan. Jangan khawatir berlebihan. Tapi, aku bertemu Zira dan Revan hari ini."Wajah Rayhan langsung mengeras. "Apa?! Apa yang mereka lakukan? Apa Zira membuatmu stres? Jika dia mengganggumu, aku akan segera membatalkan semua janji dan pulang. Katakan padaku, Aster!""Ssstt," potong Alesha lembut. "Tidak, Om. Zira tidak mengganggu. Kami hanya bicara. Revan yang meminta kami bertemu. Zira ... dia bertanya apakah aku masih mencintaimu."







