Share

Bab 6. Pagi Setelah Itu. 

Aвтор: Ucing Ucay
last update Последнее обновление: 2025-08-02 13:30:46

Pagi itu, Alesha terbangun dalam keheningan yang terasa terlalu utuh.

Udara kamar masih sarat aroma tubuh dan malam—sisa-sisa dari pelukan yang seharusnya tidak terjadi.

Matanya terbuka perlahan, dan kesadaran datang bersama nyeri lembut di pangkal pahanya. Gerakan kecil saja cukup untuk mengingatkan tubuhnya tentang semua yang telah mereka lakukan. Tentang bagaimana ia menggenggam, menyerahkan, menerima … dan larut.

Tapi bukan nyeri itu yang membuatnya resah.

Bukan pula sentuhan.

Melainkan perasaan lain yang tak bisa ia beri nama.

Bingung.

Kosong.

Terhisap dalam sesuatu yang seharusnya tak ia rindukan, tapi kini menuntut ruang di dalam dadanya.

Tangannya meraba sisi ranjang yang satunya—kosong.

Dingin.

Tak ada jejak tubuh Rayhan di sana.

Alisnya bertaut pelan. Tubuhnya menggeliat bangun, selimut melorot dari pundak telanjangnya. Ia meraih baju kaos yang tergeletak di lantai, memakainya sebelum bangkit perlahan.

"Om?" panggilnya, suara serak karena tidur dan emosi yang belum tuntas.

Tak ada sahutan.

"Om Ray?" suaranya sedikit lebih kencang kali ini.

Masih hening.

Jantungnya mulai berdetak cepat.

Dengan langkah ragu, Alesha berjalan menuju kamar mandi. Mengetuk pintunya dulu sebelum membukanya perlahan.

Kosong.

Cermin berembun samar, seperti tadi ada yang memakainya—tapi sekarang sudah tak ada siapa-siapa.

Dia berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tercekat.

"Dia ke mana?"

Pertanyaan itu tak butuh jawaban, tapi menggema dalam dadanya yang makin tak karuan.

Rasa hangat di tubuhnya tadi pagi, kini berubah menjadi sunyi yang menggigit.

Ia berdiri di depan cermin.

Kulitnya masih kemerahan di beberapa tempat. Lehernya ada bekas samar. Matanya sayu, rambutnya berantakan. Tapi justru di sanalah ia merasa paling jujur. Paling terbuka. Tak ada topeng. Tak ada pose. Hanya dirinya, apa adanya, dengan seluruh rasa yang sedang kacau balau.

Lalu tiba-tiba, kenangan itu datang.

Kilas balik yang tidak ia undang.

Waktu ia masih kecil. Sekitar umur enam atau tujuh. Ia sedang duduk di lantai ruang tamu, menggambar sesuatu dengan krayon di atas kertas lusuh. Gambar rumah dan matahari yang terlalu besar, khas anak-anak. Tapi hari itu, tangannya gemetar, dan warna yang ia pilih hanya hitam dan abu-abu.

Suara dari dapur terdengar lebih nyaring dari biasanya. Suara ibunya. Bukan suara bernyanyi atau bersenandung seperti pagi-pagi lain yang cerah, tapi suara tinggi yang menusuk—cemas, marah, dan lelah dalam satu tarikan napas.

“Aku capek, Mas! Kamu pikir aku bisa terus begini sendirian?”

Alesha diam, matanya masih menatap kertas, tapi telinganya merekam setiap kata.

“Aku juga kerja, tapi kamu? Kamu bahkan nggak pernah ada! Selalu rapat, lembur, bisnis, proyek ini-itu. Kamu suami atau cuma tamu di rumah ini?”

Suara ibunya pecah. Lalu jeda. Dan disusul suara lebih rendah, lebih tenang, tapi juga dingin. Ayahnya.

“Aku kerja buat kita, buat kamu dan Alesha. Kamu pikir enak jadi satu-satunya tulang punggung?”

“Kerja? Atau kamu memang udah nggak peduli sama keluarga ini?”

Dentuman terdengar. Seperti gelas pecah. Atau pintu dibanting. Alesha tak tahu pasti, karena saat itu ia hanya bisa memeluk lututnya dan merapatkan tubuhnya ke meja.

Ia tak pernah benar-benar paham apa yang diributkan. Tapi hari itu, ia tahu satu hal: suara ibunya terdengar seperti akan menangis, dan suara ayahnya terdengar seperti akan pergi.

Dan benar saja.

Beberapa minggu setelah itu, ayahnya pergi. Tak ada penjelasan. Tak ada pelukan perpisahan. Hanya jaket kulit yang tak tergantung lagi di balik pintu, dan bau aftershave yang menghilang dari udara pagi.

Alesha tak pernah mengingat wajah ayahnya dengan jelas sejak saat itu. Hanya bayangan samar: suara langkah berat, tangan besar yang pernah mengangkatnya tinggi ke udara, dan kehangatan yang perlahan menguap dari hidupnya.

Setelah itu, rumah jadi terlalu sunyi.

Meski lampu menyala, meski TV bersuara, ada kehampaan yang menempel di dinding rumah mereka. Seperti ada lubang kecil yang tak pernah bisa ditambal. Ibunya jadi semakin sibuk. Pulang malam, sering menghela napas panjang di depan cermin. Tak pernah benar-benar bicara kecuali soal makan malam atau PR.

Dan Alesha belajar banyak dari keheningan itu.

Belajar untuk tidak merepotkan. Belajar membaca suasana dari raut wajah ibunya. Belajar memendam pertanyaan. Dan belajar menghilang dalam diam.

Karena dalam diam itu, ia merasa ... tak terlihat.

Seolah kehadirannya tak cukup penting untuk ditanyakan. Tak cukup berharga untuk dipertahankan.

Mungkin itu sebabnya ... saat Rayhan menatapnya—dengan sorot mata yang penuh, hangat, dan gelap—ia merasa dilihat.

Benar-benar dilihat.

“Lesha .…”

Suara Rayhan dari dapur membuatnya tersentak. Ia buru-buru membuang pandang dari cermin, seolah baru saja tertangkap sedang membuka kotak rahasia dalam dirinya sendiri.

“Lesha, kamu bangun?”

Alesha mengangguk walau tahu tak terlihat. “Iya! Sebentar,” sahutnya pelan, bergegas merapihkan rambutnya dan mengikatnya asal, lalu berjalan turun dengan hati berdebar yang tak karuan.

Di dapur, Rayhan sedang menuang kopi ke dua cangkir. Wajahnya tampak santai. Rambutnya sedikit acak, tapi sisa kehati-hatian terpancar dari gerak-geriknya. Ia sedang berusaha ... biasa.

Dan justru itu yang mengganggu Alesha.

“Aku bikinin kamu kopi juga,” ucapnya tanpa menoleh, suaranya datar tapi sopan.

“Terima kasih,” Alesha duduk, berusaha menyembunyikan gelisah yang menumpuk di dadanya. Ia mencuri pandang. Rayhan mengenakan kaus hitam tipis dan celana training. Terlalu biasa. Terlalu tenang. Padahal semalam ... pria ini membuat dunia Alesha jungkir balik.

Rayhan menyerahkan cangkirnya. Jari mereka bersentuhan. Hanya sepersekian detik. Tapi Alesha menahan napas.

Tak ada apa-apa di tatapan Rayhan. Bukan dingin, bukan juga hangat.

Justru ... kosong. Seperti tembok yang baru dibangun semalam.

“Lesha,” katanya setelah duduk, matanya menatap permukaan kopi. “Kamu masih muda. Jangan karena malam itu, kamu ...”

Kalimat itu menggantung. Tak selesai. Tapi Alesha tahu maksudnya.

Ia mengepalkan tangan di pangkuannya, bibirnya menegang.

“Jangan apa, Om?” bisiknya pelan.

Rayhan tak menjawab langsung. Ia menghela napas, memijit pelipisnya, lalu akhirnya menatap Alesha. “Jangan bikin ini ... jadi beban. Aku nggak mau kamu merasa ... terjebak.”

Alesha menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdebar. Bukan karena kata-kata Rayhan, tapi karena cara pria itu menghindari semua hal nyata yang ada di antara mereka.

Ia ingin bilang sesuatu. Ingin meneriakkan bahwa semalam bukan hanya soal tubuh. Bukan soal kesenangan sesaat. Tapi juga soal luka. Soal rasa ingin dimiliki. Soal kesepian yang saling mereka isi tanpa tahu caranya benar.

Tapi sebelum bibir itu sempat terbuka, notifikasi ponselnya berbunyi.

Zira.

Voice note.

Dengan ragu, Alesha membuka dan mendekatkan ponsel ke telinganya.

“Leshaaa ... Besok aku pulang, ya! Kamu masih di rumah kan? Janji ya tungguin! Aku bawa oleh-oleh—ada yang kamu pasti sukaaa, hahaha. Sampai ketemu sore ini! 🤍”

Alesha terdiam.

Tangannya menurunkan ponsel perlahan, dan suara Zira masih terasa menggema di telinganya—ringan, ceria, tulus.

Ia menoleh ke Rayhan. Pria itu hanya diam, matanya kembali menunduk.

Dan di dalam dada Alesha, badai baru mulai terbentuk.

---

Ucing Ucay

Selamat membaca, masukan cerita ini ke pustaka ya.

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 6. Pagi Setelah Itu. 

    Pagi itu, Alesha terbangun dalam keheningan yang terasa terlalu utuh.Udara kamar masih sarat aroma tubuh dan malam—sisa-sisa dari pelukan yang seharusnya tidak terjadi.Matanya terbuka perlahan, dan kesadaran datang bersama nyeri lembut di pangkal pahanya. Gerakan kecil saja cukup untuk mengingatkan tubuhnya tentang semua yang telah mereka lakukan. Tentang bagaimana ia menggenggam, menyerahkan, menerima … dan larut.Tapi bukan nyeri itu yang membuatnya resah.Bukan pula sentuhan.Melainkan perasaan lain yang tak bisa ia beri nama.Bingung.Kosong.Terhisap dalam sesuatu yang seharusnya tak ia rindukan, tapi kini menuntut ruang di dalam dadanya.Tangannya meraba sisi ranjang yang satunya—kosong.Dingin.Tak ada jejak tubuh Rayhan di sana.Alisnya bertaut pelan. Tubuhnya menggeliat bangun, selimut melorot dari pundak telanjangnya. Ia meraih baju kaos yang tergeletak di lantai, memakainya sebelum bangkit perlahan."Om?" panggilnya, suara serak karena tidur dan emosi yang belum tuntas.Ta

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 5. Sentuhan yang Tak Bisa Dilupakan

    Ketika Rayhan naik lagi, mereka saling menatap. Napas masih memburu. Tubuh sama-sama lelah, tapi hasrat tak juga reda.“Sekarang, aku pengen kamu yang pimpin. Kamu yang gerak.”Alesha diam sejenak, napasnya tak beraturan. Matanya tetap terkunci pada Rayhan, mencari jawaban yang tak ada. Perlahan, dengan gerakan kaku, ia duduk. Tangannya menyentuh dada Rayhan, lalu turun … dan menyatukan tubuh mereka.Gerakan pertama membuatnya terengah. Tapi ia tak berhenti. Kali ini, ia yang memimpin. Namun dengan itu, ia juga menyadari satu hal:Ia bukan cuma menyerah. Ia mulai ketagihan. Dan kesadaran itu adalah cambuk paling menyakitkan.“Aku ngerasa … kayak mimpi,” bisik Alesha di tengah goyangan tubuh mereka yang lebur.Rayhan menatap dari bawah, suaranya berat, dalam, penuh. “Kalau ini mimpi … jangan bangunin aku.”Dan malam itu, sekali lagi, mereka larut—dalam tubuh, dalam nafsu, dalam ketagihan yang belum tentu bisa mereka hentikan. Sebuah lingkaran setan yang baru saja dimulai.Alesha memeja

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 4. Ketagihan. 

    Rayhan menatapnya dalam diam. Di detik itu, dunia di luar seolah tak ada. Yang tersisa hanya mereka berdua—dan dosa yang tak bisa mereka hentikan.“Aku sayang kamu, Lesha …,” ucapnya, penuh keyakinan. “Malam ini … biarkan aku tunjukkan pakai tubuhku. Bukan kata.”Dan malam itu pun milik mereka.Tertutup rapat oleh dinding-dinding rumah besar yang sunyi.Namun di dalam kamar itu, antara dada, bibir, napas, dan kulit—mereka tak lagi berpikir. Tak lagi menimbang. Tak lagi bisa lari.Mereka meleleh dalam satu rasa yang tak bisa didefinisikan: ingin.Alesha terbaring diam, memeluk tubuh Rayhan dengan perasaan bercampur. Tubuhnya menyatu dalam pelukan hangat pria itu, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Antara rasa bersalah yang menusuk dan kenikmatan yang memabukkan.Selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Tapi hawa panas di kamar belum reda. Bukan hanya dari sisa-sisa keintiman—melainkan dari guncangan batin yang belum reda sepenuhnya.Kepalanya bersandar di dada Rayhan, mendengarkan

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 3. Malam Pertama. 

    Rayhan menunduk. Bibir mereka bertemu, pertama kali, dalam ciuman yang sangat pelan, sangat hati-hati. Seolah mereka berdua takut membuat dunia runtuh, atau mungkin, takut mengakui betapa rapuhnya batas yang selama ini mereka bangun.Dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mulai kasar, terburu, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu. Sebuah badai yang sudah lama tertahan, kini tumpah ruah.Tangan Rayhan berpindah, menyentuh pipi Alesha, menelusuri garis rahangnya. Napas mereka bertaut, beradu di antara ciuman yang makin dalam, makin dalam lagi. Setiap sentuhan terasa seperti sebuah pengakuan terlarang.“Alesha …,” bisik Rayhan di sela-sela ciuman, suaranya serak, penuh perih dan ingin. “Aku … terlalu lama ingin ini.”Alesha tak menjawab. Lidahnya terasa kelu, seolah ada suara peringatan yang menahan di tenggorokannya. Tapi ia tak menjauh. Justru matanya menutup perlahan—dan itu jawaban yang paling jujur malam itu, sekaligus pengkhianatan pada akal sehatnya

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

    Pikirannya segera penuh kemungkinan. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menyuarakan protes yang sepenuhnya juga tak yakin ingin ia sampaikan.Alesha sudah kembali, membawa nampan. Dia menurunkan nampan ke meja kecil di depan sofa, lalu duduk di karpet dekat kaki Rayhan. Kakinya bersila, posisi nyaman sekali—dan sangat dekat. Ia membuka tutup mangkuk, aroma bubur ayam langsung memenuhi udara.“Makannya pelan-pelan ya. Panas.”Rayhan mengerjap. Matanya diam-diam memperhatikan wajah Alesha yang serius menyendokkan bubur, bibirnya sedikit mengerucut saat meniup uap panas. Pipinya halus, bersih, lehernya panjang. Ia kelihatan sangat muda … dan sangat … hidup.Dan untuk pertama kalinya sejak demam itu datang, Rayhan merasa tubuhnya sedikit lebih hangat—bukan karena bubur, tapi karena seseorang ada di situ, terlalu dekat. Terlalu nyaman.Dan mungkin …Terlalu berbahaya.“Aku tidur di kamar Zira aja, ya. Tadi aku ambil piyamanya sekalian. Badan kami kan mirip-mirip.”Rayhan tercekat.Zira.Put

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 1 — Malam yang Tak Pernah Direncanakan

    Pintu rumah besar itu terbuka perlahan, dan Alesha melangkah masuk dengan membawa kantong plastik berisi bubur hangat dan obat-obatan.“Om Rayhan?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Alesha memijak pelan lantai marmer yang dingin. Rambutnya dikuncir setengah ke atas, poni jatuh sedikit ke dahi. Ia hanya memakai jeans ketat robek di lutut dan kaos putih ketat lengan pendek yang cukup tipis, memperlihatkan garis samar bra berenda yang berwarna hitam. Sederhana. Tapi tubuh Alesha sudah bukan anak-anak lagi, dan Rayhan melihat itu dengan sangat jelas … saat ia muncul dari balik pintu kamar dengan langkah malas dan suara serak.“Lesha … kamu?”Alesha berbalik dan langsung tersenyum manis, tulus. “Om Rayhan! Aku bawain bubur. Kata Zira Om sakit?”Zira dan nenek sedang liburan ke Eropa selama dua minggu. Baru dua hari berlalu ketika Alesha menerima pesan itu.[Papa aku sakit. Please dong, jagain sebentar. Asisten rumah tangga juga lagi pada mudik. Aku khawatir, Lesh .…]Zira selalu manja s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status