Beranda / Romansa / Luapan Gairah Panas Ayahmu / Bab 5. Sentuhan yang Tak Bisa Dilupakan

Share

Bab 5. Sentuhan yang Tak Bisa Dilupakan

Penulis: Ucing Ucay
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-16 18:13:34

Ketika Rayhan naik lagi, mereka saling menatap. Napas masih memburu. Tubuh sama-sama lelah, tapi hasrat tak juga reda.

“Sekarang, aku pengen kamu yang pimpin. Kamu yang gerak.”

Alesha diam sejenak, napasnya tak beraturan. Matanya tetap terkunci pada Rayhan, mencari jawaban yang tak ada. Perlahan, dengan gerakan kaku, ia duduk. Tangannya menyentuh dada Rayhan, lalu turun … dan menyatukan tubuh mereka.

Gerakan pertama membuatnya terengah. Tapi ia tak berhenti. Kali ini, ia yang memimpin. Namun dengan itu, ia juga menyadari satu hal:

Ia bukan cuma menyerah. Ia mulai ketagihan. Dan kesadaran itu adalah cambuk paling menyakitkan.

“Aku ngerasa … kayak mimpi,” bisik Alesha di tengah goyangan tubuh mereka yang lebur.

Rayhan menatap dari bawah, suaranya berat, dalam, penuh. “Kalau ini mimpi … jangan bangunin aku.”

Dan malam itu, sekali lagi, mereka larut—dalam tubuh, dalam nafsu, dalam ketagihan yang belum tentu bisa mereka hentikan. Sebuah lingkaran setan yang baru saja dimulai.

Alesha memejamkan matanya, tapi gelap tak bisa menutupi getar yang mengendap di bawah kulitnya. Sentuhan Rayhan, hangat dan pelan, menjalar seperti kabut pagi yang tak bisa ditepis. Ia seharusnya menjauh, melangkah mundur, menarik selimut bukan ke atas tubuh mereka, tapi pada seluruh keinginan yang sudah menyesatkan.

Namun tubuhnya lebih dulu mengkhianati niat. Sebuah pengkhianatan yang paling pahit.

Ada desir aneh di dadanya, seperti langkah kaki ragu yang tetap menuruni tangga larangan. Jantungnya tak berdetak, ia merasa seperti hanyut—perlahan tapi pasti—dalam arus yang tidak pernah ia niatkan untuk dicoba. Jari-jarinya mencengkeram sprei, bukan karena nikmat, tapi karena kebingungan yang mendalam.

Kenapa aku diam saja?

Ia tahu ini keliru. Tahu betul. Hela napas Rayhan di tengkuknya adalah pelanggaran yang manis, dan bibir pria itu yang menjalar lembut ke kulitnya hanya menambah luka pada suara hatinya.

Sebuah rintihan tipis lolos dari bibirnya, nyaris tak terdengar, seperti embusan angin yang malu-malu menyentuh dedaunan.

Tapi pria itu tak menjawab. Atau mungkin memang tak mau. Karena bibirnya sedang sibuk mengeja luka di tubuh Alesha dengan kecupan dan desahan. Seolah tubuh ini bukan tubuh yang harus dijaga, seolah hubungan ini bukan dinding yang tak boleh diterobos.

Alesha membeku sejenak. Matanya terbuka. Menatap langit-langit gelap kamar yang tiba-tiba terasa terlalu sempit, terlalu panas, terlalu penuh dengan detak dan bisikan yang seharusnya tak pernah ada.

Namun saat jari Rayhan menemukan lengkung pinggangnya, saat tarikan napas mereka saling berkejaran … tubuhnya malah melemas. Dan ia membenci betapa nikmatnya itu. Rasa benci itu sekuat kenikmatan itu sendiri.

"Aku ... ini salah. Ini salah ...," gumam hatinya berulang, seperti doa yang tak pernah sampai.

Tapi kenikmatan memang licik. Ia tidak datang saat kita butuh, tapi menyerbu saat kita paling lemah.

Saat Rayhan menariknya lebih dekat, seolah ingin menghapus jarak bahkan pada pikiran mereka, Alesha menggigit bibir bawahnya. Ia tahu ini bukan cinta. Tapi kenapa rasanya seperti pelukan yang ia rindukan? Kenapa bisikan Rayhan di telinganya justru membuatnya tenggelam?

Air matanya tak jatuh, tapi batinnya retak. Di antara lenguhan dan hela napas, ia ingin berteriak. Tapi yang keluar hanyalah bisikan lirih yang nyaris tak bersuara.

Rayhan hanya menghela napas. Tak menjawab. Tapi tetap tinggal.

Dan Alesha, untuk kali kedua malam itu, tak melawan. Tapi bukan karena setuju. Karena lelah. Karena hatinya sudah terlalu letih membantah apa yang membuat tubuhnya merasa hidup lagi. Hatinya lelah, tapi tubuhnya telah memilih.

***

Pagi itu, matahari sudah tinggi.

Cahaya lembut menyusup lewat tirai tipis, menghangatkan udara di kamar yang masih berbau tubuh, peluh, dan malam yang membakar. Tapi di atas ranjang lebar itu.

Tubuhnya masih terbaring menyilang di atas dada Rayhan. Napasnya perlahan kembali tenang, meski dada itu masih naik turun tak teratur. Alesha memejamkan mata sejenak, membiarkan kehangatan itu meresap sampai ke ujung-ujung pori.

Ia menggerakkan tubuhnya sedikit. Otot-ototnya menegang pelan, paha bagian dalamnya masih nyeri lembut … jejak dari satu malam yang mengubah segalanya. Malam pertama. Dan mungkin juga … malam terakhir.

Ia masih bisa mengingat semuanya dengan sangat jelas. Bagaimana tangan Rayhan menjelajahi tubuhnya—ragu, lalu yakin. Bagaimana bibir mereka menyatu lagi dan lagi. Bagaimana ia menggenggam pria itu erat, menjerit tanpa suara saat tubuhnya dibuka, disentuh, dan disatukan oleh pria yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpinya yang terlarang.

Tapi tak lama kemudian, kehangatan itu berubah jadi sesuatu yang lain—rasa asing yang menggerogoti pikirannya seperti kabut dingin di tengah pagi. Sebuah penyesalan yang samar namun mulai mencengkeram.

Ia menarik tubuhnya perlahan, duduk dengan selimut separuh menutupi kulit yang kini terasa terlalu telanjang. Tangan kanannya menyisir rambut panjang yang kusut, sementara mata itu menghindari tatapan Rayhan yang masih setengah lelap.

Dan di sanalah ia duduk. Di ujung ranjang yang terasa terlalu sempit untuk hatinya yang sedang bingung.

Kenapa bisa sampai sejauh ini?

Pertanyaan itu berputar di kepalanya, bergema seperti denting kaca yang pecah perlahan.

Ia tahu. Dari awal ia tahu ini salah. Rayhan bukan lelaki sembarangan. Dia ayah dari sahabatnya sendiri. Terlalu dewasa. Terlalu dekat. Terlalu … mustahil untuk dimiliki dengan benar.

Namun tubuhnya, pikirannya, bahkan hatinya—semuanya seperti melawan logika. Ia masih bisa merasakan sentuhan itu, masih bisa mendengar desahnya, masih bisa mengingat bagaimana Rayhan menyebut namanya dengan nada yang membuatnya meleleh.

Alesha mengerjap pelan, lalu menatap tangannya sendiri. Masih ada bekas cengkeraman di sana. Bekas dirinya. Bekas Rayhan.

Tapi kenapa? Kenapa saat bersamanya … semua yang salah terasa benar?

Ia menggigit bibir bawahnya—keras. Seolah berharap rasa sakit itu bisa mengusir kenikmatan yang masih membekas. Tapi tubuhnya tak lupa. Dan hatinya pun tak menyesal sepenuhnya. Sebuah paradoks yang menyiksa.

“Alesha?” Suara Rayhan parau, terdengar seperti gumaman dari balik kabut. 

Alesha tak langsung menjawab. Ia menarik napas, lalu menggeleng—entah menjawab atau menepis pikirannya sendiri.

“Kenapa kamu diem?” tanya Rayhan lagi, suaranya lembut tapi menyelidik.

Ia menoleh perlahan. Matanya masih redup, tapi bukan karena lelah—melainkan karena keraguan yang membatu di sana. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin bicara, namun tak ada suara yang keluar.

“Mikir apa?”

Lelaki itu duduk, menarik tubuhnya mendekat. Tapi Alesha menahan. Sebuah gerakan menolak yang halus namun tegas.

Sebuah desahan berat keluar dari bibirnya, nyaris tak terdengar. Kemudian, dengan mata terpejam, ia berbisik dalam hati, “Kamu sadar nggak … ini salah?”

Rayhan menatapnya lama. Lalu mengangguk. “Aku sadar.”

Alesha hanya menunduk, matanya menatap selimut di tangannya. Sebuah isakan tertahan meluncur.

Rayhan tak menjawab segera. Tangannya bergerak untuk menggenggam jemari Alesha, tapi kali ini Alesha menariknya pelan. Penolakan halus itu jelas terlihat.

“Aku nggak tahu, Om. Aku nggak tahu kenapa … Tapi saat kamu menyentuhku, aku ngerasa hidup. Tapi habis itu… aku ngerasa kosong. Kosong dan bersalah.” Batin Alesha meraung, sebuah pengakuan yang tak bisa ia ucapkan.

Rayhan menghembuskan napas panjang. “Aku juga, Alesha. Tapi apa artinya salah kalau kita terus balik ke sini? Ke tempat yang sama. Ke pelukan yang sama?”

Alesha memejamkan mata. Rasa itu bercampur jadi satu: hangat, getir, manis, pahit.

Ia menarik selimut lebih tinggi ke dadanya, menyandarkan tubuh ke kepala ranjang. Diam. Dalam sunyi itu, ada sesuatu yang menggelegak di dadanya. Bukan cinta, bukan juga nafsu. Tapi semacam kesedihan yang tidak tahu bagaimana caranya pergi.

Mereka bukan sepasang kekasih. Tapi juga bukan sekadar pelarian. Mereka sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. Dan mungkin … tidak seharusnya ada.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 6. Pagi Setelah Itu. 

    Udara pagi menyusup pelan lewat celah jendela yang terbuka sebagian. Tirai putih tipis menari lembut diterpa angin, menciptakan bayangan samar di dinding kamar yang masih remang. Aroma samar tubuh mereka masih tertinggal di udara, bercampur wangi seprai hotel yang mewah dan sisa hujan semalam.Di ranjang besar bernuansa putih itu, Alesha terbangun lebih dulu.Kelopak matanya terasa berat, tapi pikirannya sudah tak bisa lagi diam. Ada sesuatu yang berdenyut di dada—bukan rasa takut, bukan pula penyesalan yang meledak-ledak—melainkan semacam ... kekosongan. Seperti setelah badai besar, hanya diam yang tersisa.Ia membalikkan tubuh pelan.Dan di sana, hanya sejengkal darinya, Rayhan masih terlelap.Lengan pria itu terentang ke arahnya, seolah secara naluriah ingin memastikan ia masih di sana—seolah malam itu bukan sekadar pelampiasan, melainkan sesuatu yang ... lebih. Nafasnya dalam dan teratur. Damai. Terlalu damai untuk seseorang yang semalam telah melampaui batas, dengan sahabat putri

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 5. Sentuhan yang Tak Bisa Dilupakan

    Ketika Rayhan naik lagi, mereka saling menatap. Napas masih memburu. Tubuh sama-sama lelah, tapi hasrat tak juga reda.“Sekarang, aku pengen kamu yang pimpin. Kamu yang gerak.”Alesha diam sejenak, napasnya tak beraturan. Matanya tetap terkunci pada Rayhan, mencari jawaban yang tak ada. Perlahan, dengan gerakan kaku, ia duduk. Tangannya menyentuh dada Rayhan, lalu turun … dan menyatukan tubuh mereka.Gerakan pertama membuatnya terengah. Tapi ia tak berhenti. Kali ini, ia yang memimpin. Namun dengan itu, ia juga menyadari satu hal:Ia bukan cuma menyerah. Ia mulai ketagihan. Dan kesadaran itu adalah cambuk paling menyakitkan.“Aku ngerasa … kayak mimpi,” bisik Alesha di tengah goyangan tubuh mereka yang lebur.Rayhan menatap dari bawah, suaranya berat, dalam, penuh. “Kalau ini mimpi … jangan bangunin aku.”Dan malam itu, sekali lagi, mereka larut—dalam tubuh, dalam nafsu, dalam ketagihan yang belum tentu bisa mereka hentikan. Sebuah lingkaran setan yang baru saja dimulai.Alesha memeja

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 4. Ketagihan. 

    Rayhan menatapnya dalam diam. Di detik itu, dunia di luar seolah tak ada. Yang tersisa hanya mereka berdua—dan dosa yang tak bisa mereka hentikan.“Aku sayang kamu, Lesha …,” ucapnya, penuh keyakinan. “Malam ini … biarkan aku tunjukkan pakai tubuhku. Bukan kata.”Dan malam itu pun milik mereka.Tertutup rapat oleh dinding-dinding rumah besar yang sunyi.Namun di dalam kamar itu, antara dada, bibir, napas, dan kulit—mereka tak lagi berpikir. Tak lagi menimbang. Tak lagi bisa lari.Mereka meleleh dalam satu rasa yang tak bisa didefinisikan: ingin.Alesha terbaring diam, memeluk tubuh Rayhan dengan perasaan bercampur. Tubuhnya menyatu dalam pelukan hangat pria itu, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Antara rasa bersalah yang menusuk dan kenikmatan yang memabukkan.Selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Tapi hawa panas di kamar belum reda. Bukan hanya dari sisa-sisa keintiman—melainkan dari guncangan batin yang belum reda sepenuhnya.Kepalanya bersandar di dada Rayhan, mendengarkan

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 3. Malam Pertama. 

    Rayhan menunduk. Bibir mereka bertemu, pertama kali, dalam ciuman yang sangat pelan, sangat hati-hati. Seolah mereka berdua takut membuat dunia runtuh, atau mungkin, takut mengakui betapa rapuhnya batas yang selama ini mereka bangun.Dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mulai kasar, terburu, dan terlalu panas untuk disebut ragu-ragu. Sebuah badai yang sudah lama tertahan, kini tumpah ruah.Tangan Rayhan berpindah, menyentuh pipi Alesha, menelusuri garis rahangnya. Napas mereka bertaut, beradu di antara ciuman yang makin dalam, makin dalam lagi. Setiap sentuhan terasa seperti sebuah pengakuan terlarang.“Alesha …,” bisik Rayhan di sela-sela ciuman, suaranya serak, penuh perih dan ingin. “Aku … terlalu lama ingin ini.”Alesha tak menjawab. Lidahnya terasa kelu, seolah ada suara peringatan yang menahan di tenggorokannya. Tapi ia tak menjauh. Justru matanya menutup perlahan—dan itu jawaban yang paling jujur malam itu, sekaligus pengkhianatan pada akal sehatnya

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 2. Malam Itu, Di Rumah Rayhan. 

    Pikirannya segera penuh kemungkinan. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menyuarakan protes yang sepenuhnya juga tak yakin ingin ia sampaikan.Alesha sudah kembali, membawa nampan. Dia menurunkan nampan ke meja kecil di depan sofa, lalu duduk di karpet dekat kaki Rayhan. Kakinya bersila, posisi nyaman sekali—dan sangat dekat. Ia membuka tutup mangkuk, aroma bubur ayam langsung memenuhi udara.“Makannya pelan-pelan ya. Panas.”Rayhan mengerjap. Matanya diam-diam memperhatikan wajah Alesha yang serius menyendokkan bubur, bibirnya sedikit mengerucut saat meniup uap panas. Pipinya halus, bersih, lehernya panjang. Ia kelihatan sangat muda … dan sangat … hidup.Dan untuk pertama kalinya sejak demam itu datang, Rayhan merasa tubuhnya sedikit lebih hangat—bukan karena bubur, tapi karena seseorang ada di situ, terlalu dekat. Terlalu nyaman.Dan mungkin …Terlalu berbahaya.“Aku tidur di kamar Zira aja, ya. Tadi aku ambil piyamanya sekalian. Badan kami kan mirip-mirip.”Rayhan tercekat.Zira.Put

  • Luapan Gairah Panas Ayahmu   Bab 1 — Malam yang Tak Pernah Direncanakan

    Pintu rumah besar itu terbuka perlahan, dan Alesha melangkah masuk dengan membawa kantong plastik berisi bubur hangat dan obat-obatan.“Om Rayhan?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Alesha memijak pelan lantai marmer yang dingin. Rambutnya dikuncir setengah ke atas, poni jatuh sedikit ke dahi. Ia hanya memakai jeans ketat robek di lutut dan kaos putih ketat lengan pendek yang cukup tipis, memperlihatkan garis samar bra berenda yang berwarna hitam. Sederhana. Tapi tubuh Alesha sudah bukan anak-anak lagi, dan Rayhan melihat itu dengan sangat jelas … saat ia muncul dari balik pintu kamar dengan langkah malas dan suara serak.“Lesha … kamu?”Alesha berbalik dan langsung tersenyum manis, tulus. “Om Rayhan! Aku bawain bubur. Kata Zira Om sakit?”Zira dan nenek sedang liburan ke Eropa selama dua minggu. Baru dua hari berlalu ketika Alesha menerima pesan itu.[Papa aku sakit. Please dong, jagain sebentar. Asisten rumah tangga juga lagi pada mudik. Aku khawatir, Lesh .…]Zira selalu manja s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status