"Ternyata lelaki ini yang akan menjadi suamiku. Oh Tuhan. Dia sangat ganteng!" batin Aluna, sambil sesekali melihat Zolan, tak ingin ketahuan jika sedang mengagumi indahnya ciptaan Tuhan di hadapannya. Mata bulat, hidung mancung, ada sedikit janggut yang ia bisa hitung jumlahnya, kulit putih bersih, dan alis tebal yang menambah kesempurnaan wajahnya.
Di samping tempat tidur Marfel, sudah disediakan meja dan kursi untuk akad nikah. Aluna melangkah kecil menuju tempat duduk sakral itu. Hingga akhirnya tiba, tempat duduk begitu dingin. Terlihat Rozi dan Zomi, menyiapkan beberapa berkas.
"Bagaimana, apakah anda sudah siap?" tanyanya pada Zolan.
"Siap, Pak! Kita bisa mulai!" jawab Zolan tegas tanpa tersenyum.
Situasi sangat menegangkan. Aluna memegang erat rok yang ia pakai. Tangannya sedari tadi sudah berkeringat.
"Baik, Pak Zolan!" lanjut Rozi lagi.
"Saya nikahkan engkau dengan Aluna Mentari binti Roslan dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!"
"Saya terima nikahnya Aluna Mentari binti Roslan dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!" Zolan berkata dalam satu napas dan tangan berjabat dengan Rozi.
"Bagaimana saksi, sah?" tanya Rozi pada Zomi dan Marfel.
"SAH!" ucap Zomi dengan suara lantang. Terlihat senyum di wajah Marfel.
"Ternyata jika orang kaya, menikahnya tidak ribet. Aku hanya tahu beres. Mungkin Pak Zomi dan Pak Rozi sudah di bayar mahal. Hari ini aku sudah resmi menjadi seorang istri," batin Aluna. Tidak ada yang memakaikan cincin di tangannya. Zolan hanya menyodorkan kotak kecil berisi cincin untuk ia pakai sendiri.
"Terimakasih, Pak! Untuk biaya dan lainnya nanti orang kami yang akan mengurus," ucap Zolan ke Rozi dan Zomi.
"Baik, Pak! Kami permisi dulu!" jawab Rozi.
Kini tinggal mereka bertiga di Ruangan. Aluna, Zolan dan Marfel. Dinginnya Ac, tidak sedingin tangan Aluna saat ini.
"Zolan, antar istrimu ke Rumah. Kalian butuh waktu berdua agar saling akrab. Suruh mereka masuk setelah kalian keluar, untuk menjaga Ayah," ucap Marfel.
"Iya, Ayah! Kami pamit dulu!" jawab Zolan, mencium tangan Marfel.
Aluna pun mendekati Marfel dan mencium tangannya, Marfel tersenyum. Setelahnya, Aluna berjalan mengikuti langkah panjang Zolan. Membuka pintu dan mendapati empat orang anak buah Marfel sedang duduk di kursi yang disediakan rumah sakit. Kursi itu terletak tepat di depan pintu ruang inap kelas VVIP yang digunakan Marfel.
"Ayahku meminta kalian untuk masuk menjaganya!" ucap Zolan dengan suara basnya.
"Siap, Tuan!" jawab mereka sambil berdiri tegak
"Apakah seperti ini karakter Zolan, dingin?" Aluna membatin sambil terus mengikuti Zolan.
Beberapa menit dalam perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan di antara mereka. Hingga Aluna memberanikan diri untuk menyapa.
Dengan tangan berkeringat, "Aku Aluna," sambil mengulurkan tangan, ingin berkenalan.
Zolan hanya menatap keluar jendela, seakan tidak mendengar sapaan. Aluna yang merasa malu dengan tingkahnya, menarik kembali tangan, ia pun memandang keluar jendela mobil.
Mereka telah tiba di kediaman Marfel. Rumah megah berwarna kuning emas mendominasi seluruh ruangan. Tidak lupa foto Marfel dan istrinya juga menghiasi dinding. Tiga orang asisten rumah berjalan di belakang Aluna. Mereka mengangkat barang bawaan. Aluna di perlakukan layaknya seorang ratu.
Aluna terus mengikuti langkah Zolan, hingga tiba di sebuah kamar yang ukurannya sangat besar. Di sisi kanan terdapat lemari besar berwarna coklat muda. Di bagian tengah terdapat ranjang tidur dengan perpaduan warna peach dan cream yang tampak elegan. Aluna terus memandang kagum ruangan. Tanpa di sadari, ia hanya sendiri dalam ruangan.
Zolan sudah pergi tanpa izin. Ia belum mengajak Aluna berbicara, meskipun hanya berupa sapaan atau ungkapan basa-basi. Semua asisten rumah hanya masuk, menyimpan barang, dan langsung keluar. Aluna melangkahkan kaki, ingin mengatur barang dalam lemari. Saat ia membuka, terdapat kertas putih dengan tulisan tinta merah. Aluna mengambil dan mulai membacanya...
Perjanjian nikah!
1. Tidak ada interaksi di antara kita kecuali di hadapan ayah
2. Tidak melakukan kewajiban suami istri
3. Tidak menceritakan status kepada siapa pun, pernikahan kita adalah rahasia
4. Tidak mencampuri urusan masing-masing
5. Tidak tidur dalam satu kamar
Aku tidak butuh persetujuan kamu atas lima point ini. Kamu hanya perlu melakukan semuanya!
Terimakasih untuk kalian yang terus mengikuti novel Luka Cinta Aluna, karya pertama Ray Puspa di Goodnovel. Jangan lupa Vote yaaa
Aluna melipat kertas putih yang ada di tangannya. Lima point yang menyambut kedatangan di Rumah megah ini. Kamar yang terlalu besar jika ia tempati sendiri. Tetapi apa daya, Aluna harus tidur sendiri di sini. "Sendiri lagi, sepertinya aku memang diciptakan untuk selalu sendiri," batin Aluna, melipat kecil kertas dan di simpan dalam kotak cincin. Aluna melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang ia gunakan, membebaskan rambut dari pengikatnya, di biarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Ia ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari ia menjadi seorang istri, sudah di kagetkan dengan peraturan nikah yang di buat oleh Zolan. "Selalu sendiri, dari kecil aku sudah sendiri! Ibu sibuk bekerja untuk membiayaiku. Hingga aku tidak bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang Ibu. Aku tidak marah, Ibu melakukannya demi membuatku bahagia dengan hidup berkecukupan. Tetapi sebagai anak, aku juga b
*** Aluna memasuki ruang kuliah, "pagi ini di awali dengan mata kuliah Pak Anton. Ia seorang dokter bedah. Namun, tidak ingin kami memanggilnya dr. Anton, lebih senang di panggil Pak Anton. Aneh, kenapa mau jadi dokter? Kalau tidak suka di panggil dokter," batinnya. Fatma sudah berada di kelas. Hampir semua tempat duduk sudah berpenghuni. Aluna duduk paling depan. Sejajar dengan meja dosen. Tempat duduk yang selalu kosong jika bukan Aluna yang menduduki. "Lun, sebentar malam nonton yuk!" ucap Fatma sambil duduk di kursi belakang Aluna. "Aku tidak bisa Fatma!" tutur Aluna singkat. "Kita sudah jarang pergi bersama, Aluna! Kamu yang sekarang, sering sibuk tidak jelas. Setiap di ajak jalan, selalu saja tidak bisa," ungkap Fatma, kesal pada Aluna. "Hehehe, nanti saja yaa jalan-jalannya," jawab Aluna, menolehkan kepala melihat Fatma. "Toko kue bagaimana, Lun? Sudah seminggu kita tutup.
"Non Aluna, tidak apa-apa?" tanya Bi Sarti. Ia melihat Aluna yang terus memandang ke lantai. Makanan dan piring sudah tidak terbentuk. "Iya, Bi, aku tidak apa-apa!" ucap Aluna, menghapus air mata. Ia terdiam beberapa menit. Bi sarti belum beranjak dari tempatnya. Menarik napas, Aluna lanjut berkata pada Bi Sarti, "minta tolong semua dibersihin ya, Bi!" Ia berlari meninggalkan Bi Sarti di ruang makan. Terdengar samar di telinga, Bi Sarti menjawab, "iya, Non Aluna!" Saat langkahnya sudah menjauh. Aluna berlari menuju kamar. Aluna berdiri memandang keluar jendela, "Zolan, tidak bisakah kamu memperlakukan aku layaknya teman? Aku tahu kamu terpaksa menerima perjodohan ini! Tetapi tidak begini caramu memperlakukan aku!" lirihnya. Air mata terus saja membanjiri pipi. "Zolan, Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang agar kamu mau berteman denganku. Tidak usah menganggapku istri. Aku dijadikan teman saja, bagiku sudah cukup," lanjut Aluna, belum
*** Hari ini toko kue tidak menerima pesanan. Aluna dan Fatma sibuk membersihkan debu. Banyak kue yang tidak bisa di jual lagi, mereka membuangnya. Di tengah aktivitas bersih-bersih, Aluna dikagetkan dengan pertanyaan Fatma. "Aluna, kamu mau tidak, aku kenalkan dengan sahabat kakakku?" tanya Fatma. "Maksud kamu?" tutur Aluna, kaget dan heran. Ia menoleh ke Fatma. "Agar kamu bisa punya kekasih Aluna! Dia sahabat kak Fahmi! Belum menikah karena katanya masih menunggu mantan kekasihnya. Dia gantenggg sekali Alunaa! sangat cocok denganmu. Dia ganteng dan kamu cantik. Dia seorang pengusaha yang punya banyak bisnis. Namun sangat disayangkan, dia menutup diri dari semua perempuan yang mendekatinya," ujar Fatma. "Maksud kamu apa sihh? Lagian, siapa bilang aku cantik. Apakah kamu tidak melihat kaca mata besar yang bertengger di atas hidungku? Apa kamu tidak melihat dua ekor rambut yang terikat di kepalaku? mana ada lelaki ganteng yang mau melirik perem
Aluna menarik napas dalam-dalam, menghembuskan secara perlahan, "Fatma, makasih yaa!" ucapnya, perasaan Aluna sudah lebih baik. "Sama-sama! Harusnya kamu selalu cerita ke aku setiap ada masalah. Jangan di pendam sendiri! Apa gunanya persahabatan kita?" tutur Fatma dengan senyum lembutnya dan memegang tangan Aluna. "Hahaha," tawa lirih Aluna, "siappp, jika ada apa-apa, aku pasti cerita!" lanjutnya. "Hahaha!" tawa lirih mereka. Menghapus sisa air mata di wajah. "Maafkan aku Fatma, tidak bisa menceritakan soal pernikahanku ke kamu, ini menyangkut kehidupan orang lain," batin Aluna. *** Marfel sore ini sudah di perbolehkan pulang. Meskipun begitu, ia harus rutin melakukan hemodialisis. Setidaknya ginjal yang sudah tidak bisa berfungsi dengan baik, masih bisa di bantu lewat cuci darah. Perawatan untuk menggantikan fungsi ginjal dengan menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Aluna menjemputnya, Zolan tidak bisa ke Rumah Sakit. Dalam
"Tuan Muda dulu pernah menjalin hubungan dengan teman sekolahnya. Saat masih duduk di bangku SMA, Tuan sangat mencintainya. Namanya Sindy, Tuan Muda sering mengajaknya ke sini. Ia gadis yang sangat ceria. Non Sindy pintar masak dan juga mudah bergaul. Meskipun dia kekasih Tuan Muda, dia tidak pernah memperlakukan kami layaknya asisten. Dia juga sangat anggun. Menurutku kalau di lihat lebih dekat, Non Sindy sedikit mirip dengan Non Aluna. Hanya saja penampilan kalian berbeda." Ada jeda dalam ucapannya. "Maaf yah Non!" tuturnya dengan wajah yang tidak enak. "Lanjut saja Bi, tidak apa-apa," ucap Aluna sambil tersenyum, masih ingin menyimak. "Non Sindy juga sangat menyayangi Tuan Muda. Hingga akhirnya Non Sindy menghilang entah di mana keberadaannya. Sejak saat itu Tuan Muda banyak berubah." Bi Sarti terdiam, gerakannya seperti menunggu respon dari Aluna. Aluna tersenyum. "Terimakasih ya, Bi. oh iya, jangan lupa siapin bubur ayam untuk Ayah. Kata dokter, Ayah bel
Aluna ke kampus dengan perasaan bahagia, ini baru permulaan. Ia yakin suatu saat Zolan akan luluh. “Alunaa! Kenapa dari tadi kamu membaca buku sambil tersenyum?” tanya Fatma, menatap heran. “Haa! Tidak! Siapa bilang aku tersenyum?” Sanggah Aluna, leher bergerak ke kiri dan ke kanan, gerakkan tubuh yang membantah dugaan Fatma. “Ihhh, Aluna tidak waras. Senyum-senyum dengan buku,” sahut Fatma menjahili Aluna. “Tidak, Fatmaa! Siapa juga yang terseyum dengan buku? berhenti ganggu aku!” ucap Aluna, memukul pelan lengan Fatma meggunakan polpen. “Hhhsss! Berisik!” tegur salah seorang lelaki, di belakang Fatma. Saat ini mereka sedang berada di Perpustakaan. Semua orang terdiam fokus dengan buku yang sedang dibacanya. Sedikit terdengar suara, pasti akan mengganggu konsentrasi orang lain. “Maaf yaa!” ucap Fatma dengan bentuk tangan depan dada, memohon maaf. Tidak ada balasan dari lelaki itu. Ia kembali fokus dengan bacaannya. Mer
*** “Bi, Zolan sudah makan? Di meja masih ada makanan?” tanya Aluna pada Bi Sarti. Sebelum ke dapur ia melihat masih ada makanan di atas meja. “Belum, Non! Kalau Tuan Besar sudah makan. Tuan Muda masih di Kamarnya,” jawab Bi Sarti, sambil mencuci wajan. “Oh iya, Bi,” ucap Aluna lagi. Ia kembali ke meja makan. Memperlambat menyantap makanan yang ada di piring, menunggu Zolan agar bisa makan bersama. Namun yang di tunggu tak kunjung datang, hingga ia selesai makan. “Bi, tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan membawakan ke kamarnya!” tutur Aluna sambil membawa bekas piring makan, ke Bi Sarti. Kaget, “Ehhh! Non kenapa piringnya di antarkan ke sini? Biar kami saja yang mengambilnya di meja makan,” ucap Bi Sarti. “Hehe, tidak apa-apa Bi,” ucap Aluna, tersenyum. “Maaf, tadi Non katakan apa?” tanya Bi Sarti karena tidak mendengar dengan jelas ucapan Aluna. “Tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan mengantarkan ke kama