Aluna melipat kertas putih yang ada di tangannya. Lima point yang menyambut kedatangan di Rumah megah ini. Kamar yang terlalu besar jika ia tempati sendiri. Tetapi apa daya, Aluna harus tidur sendiri di sini. "Sendiri lagi, sepertinya aku memang diciptakan untuk selalu sendiri," batin Aluna, melipat kecil kertas dan di simpan dalam kotak cincin.
Aluna melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang ia gunakan, membebaskan rambut dari pengikatnya, di biarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Ia ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari ia menjadi seorang istri, sudah di kagetkan dengan peraturan nikah yang di buat oleh Zolan.
"Selalu sendiri, dari kecil aku sudah sendiri! Ibu sibuk bekerja untuk membiayaiku. Hingga aku tidak bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang Ibu. Aku tidak marah, Ibu melakukannya demi membuatku bahagia dengan hidup berkecukupan. Tetapi sebagai anak, aku juga butuh kasih sayang!" Aluna bermonolog di depan cermin
Aluna bukan terlahir sebagai orang kaya. Ayahnya pergi meninggalkan, saat ia masih dalam kandungan. Membuat ibunya bekerja seorang diri untuk membesarkannya. Aluna tidak pernah bertanya tentang ayah. Ia rasa itu hanya akan membuatnya sedih. Mengingat semua, pandangan Aluna mulai kabur, di halangi oleh air yang sebentar lagi akan jatuh.
"Mengapa ini harus terjadi padaku?" lirih Aluna. Tak sadar, air mata mulai berjatuhan. Mereka berlomba keluar dari kelopak mata. Makin deras, di susul dada yang terasa sakit, menangis tanpa terdengar orang lain.
Aluna tahu ruangan ini kedap suara. Ia bisa saja berteriak sekeras-kerasnya meluapkan rasa. Tetapi itu tidak mungkin. Ia menggigit tangan, agar mengurangi perih di dada, tangannya bahkan tidak merasakan sakit dari gigitan.
Di sebuah kamar berbeda, Zolan sedang berbaring dan menatap kosong langit-langit.
"Aku tidak ingin menyakitimu terlalu jauh, Aluna. Aku sengaja membuat aturan pernikahan tanpa menunggu persetujuanmu. Aku tahu pernikahan ini tidak kita inginkan, semuanya karena keinginan orang tua. Aku tidak mau jika kita terlalu dekat, kamu akan jatuh cinta kepadaku. Menghindar dari awal, aku rasa lebih baik. Maafkan aku Aluna, tidak ada niat sedikit pun untuk menyakitimu. Aku hanya mencintainya dan akan terus menunggunya," lirih Zolan, "kita akan tetap mejadi orang asing, Aluna," lanjutnya.
***
Waktu menunjukan pukul tujuh malam, Aluna keluar dari kamar dan menuruni tangga. Ia tidak bisa berdiam terus dalam kamar. Dari kejauhan ia mencium aroma masakan. Aluna mengikuti arah aroma, ada empat orang asisten rumah tangga sedang memasak.
"Aku tidak mengerti dengan selera orang kaya. Mengapa harus sebanyak ini, asisten yang memasak hidangan untuk di makan oleh satu orang? Rumah ini terlalu besar dan hanya di penuhi oleh asisten rumah. Sedangkan tuannya hanya dua orang, Pak Marfel dan Zolan," batin Aluna.
Aluna mendekati mereka, "Lagi masak apa?" bertanya ke salah satu asisten.
Mereka menoleh dan kaget, "ehhh, Non Aluna! Kenapa datang kesini?" ujarnya panik.
"Tidak apa-apa! Aku hanya ingin membantu. Ada yang bisa aku bantu?" tutur Aluna ramah, sambil tersenyum kepada mereka.
"Tidak usah, Non! Nanti Tuan Besar dan Tuan Muda marah, kalau tahu Non Aluna ke dapur!" jawab dua asisten bergantian.
"Kalau begitu jangan ada yang memberi tahu!" Aluna tersenyum dan mengambil pisau. Ia mulai membantu mereka.
Situasi yang awalnya memasak sambil bersenda gurau, kini hening. Mereka takut kepada Aluna. Selesai masak, Aluna pun makan bersama semua asisten rumah, di meja yang sudah disediakan untuk asisten. Sedangkan Zolan, ia meminta agar makananya dibawakan ke kamar.
"Apakah Zolan sering seperti ini, Bi?" tanya Aluna ke salah satu asisten yang ada di sampingnya.
"Jarang Non, biasanya Tuan Muda makan di meja bersama Tuan Besar. Diantarkan, jika Tuan sedang sibuk atau sakit. Terkadang ia meminta makanan di bawa ke ruang kerja yang ada di sebelah kamarnya."
"Non Aluna, yang sabar yahh! Tuan muda sebenarnya orang yang baik. Tadi kami semua kaget ketika di minta membersihkan salah satu kamar untuk Non," tuturnya lembut, sambil memandang Aluna.
Mengangguk dan tersenyum, Aluna mendengarnya, "mungkin semua asiten di rumah ini sudah tahu apa yang terjadi antara aku dan Zolan. Tetapi mereka memilih diam, takut di pecat oleh tuannya," batin Aluna, "yakinlah Aluna, dia adalah jodoh yang sudah dipilihkan Tuhan untukmu," lanjutnya.
Terimakasih untuk kalian yang terus mengikuti novel Luka Cinta Aluna, jangan lupa vote yaaa
*** Aluna memasuki ruang kuliah, "pagi ini di awali dengan mata kuliah Pak Anton. Ia seorang dokter bedah. Namun, tidak ingin kami memanggilnya dr. Anton, lebih senang di panggil Pak Anton. Aneh, kenapa mau jadi dokter? Kalau tidak suka di panggil dokter," batinnya. Fatma sudah berada di kelas. Hampir semua tempat duduk sudah berpenghuni. Aluna duduk paling depan. Sejajar dengan meja dosen. Tempat duduk yang selalu kosong jika bukan Aluna yang menduduki. "Lun, sebentar malam nonton yuk!" ucap Fatma sambil duduk di kursi belakang Aluna. "Aku tidak bisa Fatma!" tutur Aluna singkat. "Kita sudah jarang pergi bersama, Aluna! Kamu yang sekarang, sering sibuk tidak jelas. Setiap di ajak jalan, selalu saja tidak bisa," ungkap Fatma, kesal pada Aluna. "Hehehe, nanti saja yaa jalan-jalannya," jawab Aluna, menolehkan kepala melihat Fatma. "Toko kue bagaimana, Lun? Sudah seminggu kita tutup.
"Non Aluna, tidak apa-apa?" tanya Bi Sarti. Ia melihat Aluna yang terus memandang ke lantai. Makanan dan piring sudah tidak terbentuk. "Iya, Bi, aku tidak apa-apa!" ucap Aluna, menghapus air mata. Ia terdiam beberapa menit. Bi sarti belum beranjak dari tempatnya. Menarik napas, Aluna lanjut berkata pada Bi Sarti, "minta tolong semua dibersihin ya, Bi!" Ia berlari meninggalkan Bi Sarti di ruang makan. Terdengar samar di telinga, Bi Sarti menjawab, "iya, Non Aluna!" Saat langkahnya sudah menjauh. Aluna berlari menuju kamar. Aluna berdiri memandang keluar jendela, "Zolan, tidak bisakah kamu memperlakukan aku layaknya teman? Aku tahu kamu terpaksa menerima perjodohan ini! Tetapi tidak begini caramu memperlakukan aku!" lirihnya. Air mata terus saja membanjiri pipi. "Zolan, Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang agar kamu mau berteman denganku. Tidak usah menganggapku istri. Aku dijadikan teman saja, bagiku sudah cukup," lanjut Aluna, belum
*** Hari ini toko kue tidak menerima pesanan. Aluna dan Fatma sibuk membersihkan debu. Banyak kue yang tidak bisa di jual lagi, mereka membuangnya. Di tengah aktivitas bersih-bersih, Aluna dikagetkan dengan pertanyaan Fatma. "Aluna, kamu mau tidak, aku kenalkan dengan sahabat kakakku?" tanya Fatma. "Maksud kamu?" tutur Aluna, kaget dan heran. Ia menoleh ke Fatma. "Agar kamu bisa punya kekasih Aluna! Dia sahabat kak Fahmi! Belum menikah karena katanya masih menunggu mantan kekasihnya. Dia gantenggg sekali Alunaa! sangat cocok denganmu. Dia ganteng dan kamu cantik. Dia seorang pengusaha yang punya banyak bisnis. Namun sangat disayangkan, dia menutup diri dari semua perempuan yang mendekatinya," ujar Fatma. "Maksud kamu apa sihh? Lagian, siapa bilang aku cantik. Apakah kamu tidak melihat kaca mata besar yang bertengger di atas hidungku? Apa kamu tidak melihat dua ekor rambut yang terikat di kepalaku? mana ada lelaki ganteng yang mau melirik perem
Aluna menarik napas dalam-dalam, menghembuskan secara perlahan, "Fatma, makasih yaa!" ucapnya, perasaan Aluna sudah lebih baik. "Sama-sama! Harusnya kamu selalu cerita ke aku setiap ada masalah. Jangan di pendam sendiri! Apa gunanya persahabatan kita?" tutur Fatma dengan senyum lembutnya dan memegang tangan Aluna. "Hahaha," tawa lirih Aluna, "siappp, jika ada apa-apa, aku pasti cerita!" lanjutnya. "Hahaha!" tawa lirih mereka. Menghapus sisa air mata di wajah. "Maafkan aku Fatma, tidak bisa menceritakan soal pernikahanku ke kamu, ini menyangkut kehidupan orang lain," batin Aluna. *** Marfel sore ini sudah di perbolehkan pulang. Meskipun begitu, ia harus rutin melakukan hemodialisis. Setidaknya ginjal yang sudah tidak bisa berfungsi dengan baik, masih bisa di bantu lewat cuci darah. Perawatan untuk menggantikan fungsi ginjal dengan menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Aluna menjemputnya, Zolan tidak bisa ke Rumah Sakit. Dalam
"Tuan Muda dulu pernah menjalin hubungan dengan teman sekolahnya. Saat masih duduk di bangku SMA, Tuan sangat mencintainya. Namanya Sindy, Tuan Muda sering mengajaknya ke sini. Ia gadis yang sangat ceria. Non Sindy pintar masak dan juga mudah bergaul. Meskipun dia kekasih Tuan Muda, dia tidak pernah memperlakukan kami layaknya asisten. Dia juga sangat anggun. Menurutku kalau di lihat lebih dekat, Non Sindy sedikit mirip dengan Non Aluna. Hanya saja penampilan kalian berbeda." Ada jeda dalam ucapannya. "Maaf yah Non!" tuturnya dengan wajah yang tidak enak. "Lanjut saja Bi, tidak apa-apa," ucap Aluna sambil tersenyum, masih ingin menyimak. "Non Sindy juga sangat menyayangi Tuan Muda. Hingga akhirnya Non Sindy menghilang entah di mana keberadaannya. Sejak saat itu Tuan Muda banyak berubah." Bi Sarti terdiam, gerakannya seperti menunggu respon dari Aluna. Aluna tersenyum. "Terimakasih ya, Bi. oh iya, jangan lupa siapin bubur ayam untuk Ayah. Kata dokter, Ayah bel
Aluna ke kampus dengan perasaan bahagia, ini baru permulaan. Ia yakin suatu saat Zolan akan luluh. “Alunaa! Kenapa dari tadi kamu membaca buku sambil tersenyum?” tanya Fatma, menatap heran. “Haa! Tidak! Siapa bilang aku tersenyum?” Sanggah Aluna, leher bergerak ke kiri dan ke kanan, gerakkan tubuh yang membantah dugaan Fatma. “Ihhh, Aluna tidak waras. Senyum-senyum dengan buku,” sahut Fatma menjahili Aluna. “Tidak, Fatmaa! Siapa juga yang terseyum dengan buku? berhenti ganggu aku!” ucap Aluna, memukul pelan lengan Fatma meggunakan polpen. “Hhhsss! Berisik!” tegur salah seorang lelaki, di belakang Fatma. Saat ini mereka sedang berada di Perpustakaan. Semua orang terdiam fokus dengan buku yang sedang dibacanya. Sedikit terdengar suara, pasti akan mengganggu konsentrasi orang lain. “Maaf yaa!” ucap Fatma dengan bentuk tangan depan dada, memohon maaf. Tidak ada balasan dari lelaki itu. Ia kembali fokus dengan bacaannya. Mer
*** “Bi, Zolan sudah makan? Di meja masih ada makanan?” tanya Aluna pada Bi Sarti. Sebelum ke dapur ia melihat masih ada makanan di atas meja. “Belum, Non! Kalau Tuan Besar sudah makan. Tuan Muda masih di Kamarnya,” jawab Bi Sarti, sambil mencuci wajan. “Oh iya, Bi,” ucap Aluna lagi. Ia kembali ke meja makan. Memperlambat menyantap makanan yang ada di piring, menunggu Zolan agar bisa makan bersama. Namun yang di tunggu tak kunjung datang, hingga ia selesai makan. “Bi, tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan membawakan ke kamarnya!” tutur Aluna sambil membawa bekas piring makan, ke Bi Sarti. Kaget, “Ehhh! Non kenapa piringnya di antarkan ke sini? Biar kami saja yang mengambilnya di meja makan,” ucap Bi Sarti. “Hehe, tidak apa-apa Bi,” ucap Aluna, tersenyum. “Maaf, tadi Non katakan apa?” tanya Bi Sarti karena tidak mendengar dengan jelas ucapan Aluna. “Tolong siapkan makanan untuk Zolan, aku akan mengantarkan ke kama
*** Kampus di penuhi mahasiswa, Aluna memegang dua buku berukuran tebal sambil berlari dari Perpustakaan menuju Ruang Kelas. "Aku tidak boleh telat!" batinnya. "Ini sudah hampir jam sembilan, kenapa yang lain belum datang? Fatma juga tidak ada. Hanya ada aku dalam kelas," tanya Aluna ke diri sendiri, "mungkin sebentar lagi teman-teman akan datang," lanjutnya. Ia meraih handphone dari dalam tas, menelepon Fatma. 'Fatma, kamu di mana? Kita kuliah jam berapa, kenapa di dalam kelas tidak ada teman-teman?' tanya Aluna, setelah Fatma mengangkat telepon. 'Aluna kenapa sihh? Hari ini kita tidak ada matakuliah, adanya besok!' jawab Fatma masih dengan suara mengantuk. 'Haa! kok bisa?' ucap Aluna sambil mengingat hari, 'hari ini rabu kan?' lanjutnya lagi. 'Ya Tuhan, Alunaa! Ini hari selasa. Siapa bilang rabu. Matakuliah hari ini di pindahkan hari kamis. Kamu sungguh mengganggu mimpiku Aluna,' kesal Fatma, 'sudah yaa! Sebentar aku akan ke kampus m