"Pak Ridwan, gimana keadaan istri saya?" tanya Irsyad begitu tiba di rumah sakit dan bertemu dengan supir sang istri.
Irsyad langsung izin kepada atasannya ketika mendapat kabar jika sang istri mengalami kecelakaan beruntun dan kondisinya parah, ia mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi karena ingin segera sampai di rumah sakit. "Ibu masih di tangani tim medis di dalam, Pak," jawab pak Ridwan. Irsyad berdiri di depan pintu ruangan, hatinya tak tenang menunggu kabar sang istri yang sedang melawan maut di dalam. Sementara di dalam ruang gawat darurat, bunyi mesin pemantau detak jantung berdentang pelan, menandai garis tipis antara hidup dan mati. Sandra terbaring tak sadarkan diri di ranjang beroda, tubuhnya penuh luka memar, selang-selang medis menjalar dari tangannya, dan alat bantu napas menutupi wajahnya. Tak lama kemudian, dokter yang menangani Sandra keluar dari ruang operasi. Wajahnya letih, mata menyiratkan empati yang dalam. "Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Irsyad sangat khawatir Dokter menghela nafas, menatap Irsyad lalu menjawab pelan. "Istri Bapak berhasil kami selamatkan, tapi… kami mohon maaf…." "Kenapa mohon maaf, Dok? Bagaimana dengan anak kami, Dok?" tanya Irsyad dengan jantung berdebar kencang saat mendengar kata maaf dari sang dokter dan raut wajah dokter yang terlihat letih. Dokter menarik napas panjang. "Kami sudah melakukan segala yang bisa kamu lakukan, tapi jantung janin tak berdetak sejak sebelum operasi. Kami tidak bisa menyelamatkannya." Irsyad terdiam, matanya membelalak seakan tak percaya, kemudian mulai berair, tubuhnya melemas, bibirnya bergetar. "Tapi… tapi anak kami sehat, Dok. Kemarin kami baru lihat dia tendang-tendang di USG." "Benturan dari kecelakaan itu sangat keras, plasentanya lepas total, dan…" dokter melanjutkan dengan suara lebih berat, "kami juga menemukan infeksi hebat di rahim Ibu Sandra. Jika tidak segera ditangani, bisa menyebabkan sepsis dan merenggut nyawanya." Irsyad mengernyit bingung. "Apa maksudnya?" "Kami harus mengambil tindakan darurat. Rahim Ibu Sandra harus diangkat. Itu satu-satunya cara agar dia bisa selamat." Irsyad terduduk lemas di lantai dingin rumah sakit. Hening menggantung di udara, seolah dunia mendadak berhenti berputar. Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan, dan menangis terisak-isak, suara pilunya menggema di lorong rumah sakit yang sepi. Beberapa jam kemudian. Ruangan rawat inap berbau obat dan antiseptik. Lampu redup menyinari wajah Sandra yang pucat. Ia terbangun perlahan, kelopak mata berat membuka sedikit demi sedikit. Pandangannya kabur, napasnya lemah. Lalu ia melihat wajah sang suami yang duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya erat. "Mas Irsyad?" bisiknya pelan. Irsyad tersenyum lemah, matanya sembab. "Aku di sini, Sayang.” Sandra menatap sekeliling, mencoba mengingat. Ingatan terakhirnya adalah benturan keras, suara klakson dan teriakan, lalu gelap. "Aku tidak mati?" suaranya tercekat, Sandra memegang perutnya yang tak lagi kencang dan merasa tak ada mahluk mungil di dalamnya. "Bayi kita ... Dimana bayi kita?" Irsyad menunduk. Ia menggenggam tangan istrinya lebih erat lagi. "Sayang, anak kita tidak bisa di selamatkan, dia sudah jadi bidadari di surga." Air mata mengalir dari sudut mata Sandra. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, seakan ingin menahan jeritan yang sudah sampai di tenggorokan. "Tidak… tidak mungkin, itu bohong,sebentar lagi dia lahir, Mas. Kita udah siapin kamar untuknya, gak mungkin dia pergi." Irsyad naik ke tempat tidur, memeluk tubuh istrinya yang gemetar. "Aku juga nggak bisa nerima, Sandra. Akan tetapi itu kenyataanya dan kita harus terima. Beruntung kamu masih bisa di selamatkan, masih bisa di samping aku sekarang." Sandra menjerit pelan, tubuhnya menegang. "Aku mau anakku, Mas. Aku mau gendong dia, aku belum sempat nyanyi buat dia, belum sempat kasih dia nama." Andika menahan tangisnya. "Aku tahu… aku tahu, Sayang. Aku pun merasakan hal yang sama, tapi kita harus ikhlas menerima musibah ini." Setelah beberapa saat menangis dalam pelukan suaminya, Sandra mulai mengatur napas. "Kecelakaan ini mungkin gak terjadi jika aku nurut sama kamu untuk tidak pergi ke kantor, maafin aku, Mas. Nanti kalau hamil lagi aku akan nurut sama kamu." Irsyad terdiam, teringat dengan perkataan dokter jika rahim sang istri sudah diangkat. Ekpresi Irsyad membuat Sandra penasaran. "Ada apa, Mas Irsyad?" tanya Sandra lirih tapi tajam. Irsyad menatap istrinya dalam-dalam, ia tahu ini menyakitkan. Namun, akan lebih menyakitkan jika ia terus menutupi hal itu dari Sandra dan membuat Sandra berharap yang tak mungkin. Akhirnya Irsyad memilih jujur, berkata pelan, "Rahim kamu… nggak bisa diselamatkan, Sayang. Dokter harus angkat, demi menyelamatkan nyawa kamu." Sandra terperangah. "Kamu bohong. Pasti kamu bohong, Mas!" "Enggak, aku gak bohong. Aku harap ini cuma mimpi buruk, tapi itu kenyataan." Air mata kembali mengalir deras. "Berarti aku nggak akan bisa punya anak lagi? Aku jadi perempuan mandul?" Belum sempat Irsyad menjawab pertanyaan Sandra, pintu ruang rawat terbuka. Nur ibu dari Irsyad datang, membuat Sandra dan Irsyad terkejut. "Mama sejak kapan mama datang?" tanya Irsyad terkejut. "Baru saja sampai," ucap Nur berbohong. Padahal ia sudah cukup lama berdiri di depan pintu, mendengar semua yang di bicarakan anak dan menantunya, ia juga tahu cucunya tak bisa di selamatkan dan menantunya tak punya harapan lagi untuk memberi keturunan pada anaknya. "Ma, anak kami ...." "Mama sudah tahu, tadi sudah bertemu dokter dan dokter sudah jelaskan semuanya," ucap Nur dengan nada datar. Hati Sandra mencelos, ia tahu betul sang mertua sangat menantikan kehadiran buah hati mereka. Sejak Sandra hamil, Nur sering berkunjung ke rumah mereka, memasak makanan bergizi, memanjakan Sandra seperti anak sendiri, itu semua karena ia sangat senang Sandra akan memberinya cucu. Namun, kini mendengar jawaban Nur dengan nada datar membuat Sandra dan Irsyad sadar jika wanita paruh baya itu kecewa. "Istirahat yang cukup, minum obat yang teratur biar pemulihannya cepat dan bisa cepat pulang," ucap Nur. Sandra menganggukan kepala, ia tak ingin lebih banyak membahas masalah kecelakaan itu. Nur pun tak banyak berbicara, meskipun sedih dan kecewa. Namun, ia tahu bagaimana cara menjaga perasaan menantunya. Setelah makan dan minum obat, Sandra pun tertidur. Nur mengajak Irsyad berbicara di luar, ada hal serius yang ingin di bicarakan dan tak ingin Sandra mendengar pembicaraan mereka. "Mama sudah tahu semuanya, rahim Sandra diangkat, dia tidak bisa punya anak lagi, kan!" ucap Nur. "Ini musibah, tak ada yang ingin semua ini terjadi, Mah," jawab Irsyad dengan suara lemah. "Seandainya dia patuh sama kamu, jadi istri yang taat pada perkataan suaminya, mungkin semua gak akan terjadi. Kamu selalu membela dan menuruti apapun maunya sejak dulu," ucap Nur mulai kesal. Irsyad terdiam, ia memang sangat meratukan Sandra, apapun yang diinginkan Sandra selalu dituruti. Namun, sikap keras kepala Sandra membuat wanita itu menjadi istri yang tak taat pada suaminya dan Irsyad pun tak pernah bisa bertindak tegas pada Sandra, karena ia tak ingin membuat Sandra sedih dan tertekan. "Sekarang bagiamana, Irsyad? Kamu anak mama satu-satunya, jika kamu tidak punya anak maka keturunan kita berhenti sampai di kamu. Mama tidak mau seperti itu, Mama ingin punya cucu, Mama ingin kamu punya keturunan!" ucap Nur. "Tapi, Ma. Sandra sudah tidak bisa," ucap Irsyad. "Jika bukan dari Sandra, masih bisa dari perempuan lain, kan!" ucap Nur. "Dari perempuan lain? Apa maksud Mama?"Sejak Sandra meminta Hana untuk jadi istri suaminya, Hana mulai tak nyaman saat bekerja. Sandra terus membujuk Hana dengan berbagai cara, tetapi Hana tetap tak mau menjadi madu atasannya itu. Hingga akhirnya Hana memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut."Aku harus melakukan sesuatu, sebelum Hana benar-benar pergi," gumam Sandra setelah menerima surat pengunduran diri dari Hana.Keesokan harinya. "Han, kamu serius mau berhenti kerja?" tanya Sandra."Iya, maaf Bu. Saya tak nyaman karena ibu terus meminta saya jadi istri kedua suami ibu," jawan Hana jujur."Kalau sudah seperti ini saya tidak bisa memaksa, semoga kamu dapat kerjaan lain yang lebih nyaman. Hari ini kamu masih kerja, kan. Tolong ikut pak Amir untuk mengecek bahan produksi, katanya ada kendala di jalan," ucap Sandra.Hana mengangguk dan menuruti perintah atasanya, gadis cantik itu pun pergi bersama salah satu supir yang biasa mengirim barang. Namun, sebelum pergi dengan pak Amir, Hana mengambil tasnya di
"Iya, Mas. Biar aku yang carikan wanita yang mau nikah kontrak dan melahirkan anak untuk kita," ucap Sandra."Sandra, ini bukan solusi yang baik. Wanita yang mau menikah kontrak seperti itu, pasti bukan wanita baik-baik, aku tidak mau punya anak dari wanita yang seperti itu," tolak Irsyad."Ini satu-satunya solusi untuk kita, Mas. Dari pada kamu nikah sama wanita yang di pilih mama kamu, pernikahan itu pasti sungguhan. Aku gak bisa berbagi cinta selamanya dengan wanita lain," ucap Sandra.Irsyad menekan pangkal hidungnya, ia benar-benar pusing dengan situasi yang ada. Irsyad bukan lelaki yang mudah dekat dengan sembarang wanita, apalagi jika harus menikah."Mas, kalau kamu cinta sama aku, ikuti saja semua rencanaku. Dengan menikah kontrak kamu tidak perlu berbagai cinta dengan wanita lain dan kita akan punya anak," ucap Sandra.Irsyad menghela nafas, lalu beranjak ke kamar mandi. Ia membasuh wajah nya, matanya memerah ia sudah tak tahu lagi harus berkata apa.Sementara Sandra sedang m
Sembilan tahun telah berlalu sejak kecelakaan tragis itu mengubah banyak hal dalam keluarga kecil Irsyad dan Sandra. Meski luka fisik sudah lama pulih, tapi luka batin terutama pada Sandra belum sepenuhnya sembuh. Kecelakaan itu merenggut buah hati yang belum sempat mereka peluk dan membuat Sandra kehilangan kemampuan untuk mengandung. Dunia mereka sempat runtuh, tetapi Irsyad bertahan. Ia tetap di sisi Sandra, meyakinkannya bahwa cintanya tak bergantung pada kemampuan memberi keturunan. Namun tidak semua orang bisa melihat cinta dengan kacamata yang sama."Sembilan tahun sudah berlalu, Irsyad." ucap Nur membuat Irsyad mengerutkan keningnya.Malam itu Nur meminta Irsyad datang ke rumahnya, sebagai seorang anak Irsyad pun menuruti permintaan sederhana sang mama. Ia mengajak Sandra, tetapi Sandra sibuk dengan bisnis skincare nya hingga tak bisa ikut."Sembilan tahun apa maksud Mama?" tanya Irsyad."Sembilan tahun sejak kejadian itu. Sejak kamu dan Sandra kehilangan anak, sejak rahim ist
"Pak Ridwan, gimana keadaan istri saya?" tanya Irsyad begitu tiba di rumah sakit dan bertemu dengan supir sang istri.Irsyad langsung izin kepada atasannya ketika mendapat kabar jika sang istri mengalami kecelakaan beruntun dan kondisinya parah, ia mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi karena ingin segera sampai di rumah sakit."Ibu masih di tangani tim medis di dalam, Pak," jawab pak Ridwan.Irsyad berdiri di depan pintu ruangan, hatinya tak tenang menunggu kabar sang istri yang sedang melawan maut di dalam. Sementara di dalam ruang gawat darurat, bunyi mesin pemantau detak jantung berdentang pelan, menandai garis tipis antara hidup dan mati. Sandra terbaring tak sadarkan diri di ranjang beroda, tubuhnya penuh luka memar, selang-selang medis menjalar dari tangannya, dan alat bantu napas menutupi wajahnya.Tak lama kemudian, dokter yang menangani Sandra keluar dari ruang operasi. Wajahnya letih, mata menyiratkan empati yang dalam."Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Irsyad
"Sayang, aku mohon, hari ini kamu jangan ke kantor dulu. Perutmu sudah besar, kamu butuh istirahat." Irsyad berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah cemas. Ia memandangi istrinya yang sedang mengenakan blazer pastel di depan cermin.Sandra mematut diri, mengusap pelan perutnya yang bulat sempurna. "Aku gak bisa diam di rumah, Mas. Bisnis yang aku bangun dari 0 sekarang sedang mengalami kemajuan. Lagipula aku hanya akan duduk di kantor, bukan kerja berat. Aku cuma perlu memantau meeting hari ini, itu sangat penting untuk kelanjutan produksi skincare ku."Irsyad melangkah mendekat, menggenggam tangan istrinya. "Tapi kehamilan kamu sudah delapan bulan, Sandra. Kamu bisa serahkan urusan pekerjaan pada asisten atau manajermu untuk handle semua itu. Kamu tinggal delegasikan saja."Sandra tersenyum samar, menggelengkan kepala sambil menatap suaminya. "Mas Irsyad, kamu tahu betul kan kalau aku paling tidak suka diatur-atur, aku akan istirahat kalau anak ini lahir." ucap Sandra seraya menge