Lampu-lampu rumah sakit masih menyala redup saat malam menjelang dini hari. Di salah satu kamar VIP, Irsyad duduk di sisi ranjang, menatap wajah ibunya yang tertidur lemah. Selang infus masih menancap di tangan Mama Nur. Wajah tua itu tampak pucat, tapi jauh lebih tenang dari sebelumnya. Serangan tekanan darah tinggi yang sempat membuatnya kolaps beberapa hari lalu membuat Irsyad tak ingin berjauh dari ibunya."Maafkan Irsyad, Ma. Irsyad juga gak nyangka akhirnya akan seperti ini," gumam Irsyad seraya menggenggam tangan Nur.Irsyad duduk di kursi samping tempat tidur Nur dengan tubuh lelah, matanya mengantuk, tapi pikirannya tak berhenti berputar. Sejak Hana pergi tanpa jejak, rumah mereka seperti medan perang yang senyap. Sandra terus menerus mengirimkan pesan dan menelepon, tapi Irsyad memutuskan untuk mematikan ponselnya malam ini."Besok pagi aku jelaskan semuanya," gumamnya lirih. "Malam ini, aku cuma ingin fokus menjaga Mama."--Sementara itu, di rumah besar mereka, Sandra dudu
"Bu Rum, kalau Hana cerita. Ibu bisa janji nggak, jangan cerita ke siapa-siapa lagi?" tanya Hana sebelum menjawab pertanyaan Bu Rum.Bu Rum mengangguk cepat. "Ibu janji, Nak. Ibu simpan sampai mati."Hana menghela napas panjang. Lalu, ia mulai membuka luka yang ia coba tutup rapat."Setelah bencana itu, Hana tinggal di pesantren. Dapat beasiswa sampai lulus SMA. Setelah itu dapat beasiswa kuliah di Jakarta. Hana kerja keras banget, Bu. Kuliah sambil kerja. Setelah lulus, Hana kerja di perusahaan kosmetik milik seorang wanita, Hana jadi asistennya, tapi ternyata…""Ternyata kenapa?"Hana menggigit bibir bawahnya. Jemarinya gemetar."Wanita itu bernama Sandra. Dia bos Hana. Awalnya baik, tapi ternyata dia punya rencana... jahat.""Jahat?" Bu Rum menatap Hana dalam-dalam."Iya, Bu. Dia menjebak Hana. Hana… dijadikan istri kedua suaminya. Dipaksa menikah, hanya untuk memberikan keturunan. Jika Hana tidak mau makan Hana akan di penjara, Hana takut menghabiskan sisa hidup di penjara akhirny
Disisi lain.Langit pagi masih diselimuti kabut tipis saat Hana menuruni ojek terakhir yang membawanya melewati jalanan berbatu kampung kelahirannya. Di pelukannya, sang bayi terlelap setelah semalaman rewel, kelelahan karena perjalanan panjang yang tak ramah bagi tubuh kecilnya. Hana turun dengan pelan, membenarkan gendongan kain lusuh yang membalut bayinya, lalu memandang sekeliling.Tanah merah. Rumput ilalang yang tumbuh liar. Sisa-sisa bangunan retak yang diselimuti semak. Inilah kampung yang dulu ia tinggalkan dalam kenangan pahit. Tempat yang dulu penuh tawa, sekarang sunyi, seakan ikut berkabung dengan ingatan masa lalu.Satu hari satu malam ia menempuh perjalanan. Dari Jakarta, naik KRL hingga ke stasiun terakhir di perbatasan, lanjut dengan bus ekonomi yang berhenti di setiap tikungan jalanan kecil, lalu ojek tua yang nyaris mogok di tengah jalan tanah becek. Bayinya sempat menangis sepanjang malam, popoknya basah dan membuat kulit mungilnya kemerahan. Tapi semua itu tak lag
Langit sore menggantung mendung saat Irsyad memarkir mobilnya dengan tergesa di pinggir jalan, tak jauh dari stasiun tempat terakhir Hana terlacak. Ia turun dengan langkah panjang, matanya menelisik setiap sudut, berharap keajaiban membawanya menemukan sosok istri keduanya dan anak mereka yang masih kecil. Tangannya masih menggenggam ponsel, berkali-kali mencoba menghubungi Hana, tetapi suara operator yang sama kembali terdengar."Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."Helaan napas berat keluar dari mulutnya. Ia memijit pelipisnya. Sudah lebih dari dua jam sejak Hana menghilang dari rumah tanpa jejak. Ada kegelisahan dalam dadanya, bercampur amarah dan penyesalan. Namun, ketika Irsyad hendak melangkah lebih jauh, teleponnya berdering keras. Nama "Bi Piah" muncul di layar."Halo, Bi?" tanyanya cepat."Pak Irsyad! Cepat ke rumah sakit! Ibu… Bu Nur drop. Tadi mendengar Hana kabur, langsung pingsan. Sekarang di IGD, Pak."Langkah Irsyad terhenti. Dunia seakan bergeser. Detak jantung
Irsyad terduduk lemas di kursi ruang kerjanya, tangannya gemetar memegang selembar surat yang ditulis tangan oleh Hana. Surat yang tak terlalu panjang itu berhasil membuat dinding pertahanannya runtuh. Ia membacanya berulang-ulang, berharap tiap kata yang tertulis hanyalah gurauan atau lelucon sarkastik. Namun sayangnya, semua nyata.~~~Maafkan aku, Mas Irsyad. Aku harus pergi meninggalkan mu, aku tak sanggup lagi bertahan di sisimu.Aku tahu sekarang semua kebenarannya. Tentang tuduhan pencurian di gudang kosmetik yang ternyata hanyalah jebakan. Aku tahu, semua itu adalah rencana mbak Sandra untuk memaksaku masuk ke dalam pernikahan ini.Aku gak tahu apa salahku pada mbak Sandra, aku selalu berusaha jadi karyawan yang baik dan jujur, tapi dia malah tega menjebak ku seperti ini.Aku sudah mencoba membentengi hati, tapi aku lemah, Aku kalah, akhirnya aku tetap jatuh cinta padamu.Meskipun awalnya aku benci situasi pernikahan itu, aku mencoba ikhlas menerima semuanya.Hingga kau membe
Ruangan kantor yang biasanya sunyi mendadak dipenuhi derap langkah cepat Irsyad. Wajahnya terlihat tegang saat ia menghampiri ruang kerja Marco, atasannya yang juga sahabat lamanya. Ia tak mengetuk, hanya membuka pintu dengan cepat sambil mencoba menahan kegelisahan yang menggerogoti dadanya.Marco yang sedang duduk menandatangani dokumen, langsung menoleh dengan alis mengernyit."Irsyad?" tanyanya. "Kenapa kamu kelihatan panik begitu?"Irsyad menelan ludah, suaranya serak. "Saya harus pulang sekarang, Pak. Asisten rumah tangga saya barusan telpon... Hana... istri kedua saya, katanya dia kabur dari rumah."Marco terdiam sejenak. Tangannya berhenti menulis. Ia bersandar ke kursinya, menarik napas dalam. "Kabur?"Irsyad mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya juga nggak ngerti kenapa, tapi saya harus pulang sekarang. Saya-saya takut terjadi apa-apa."Marco menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. "Irsyad, berapa kali saya bilang... Kamu harus lebih tegas. Jangan biarkan istri pertamamu