"Ayo kita makan dulu, Han. Nanti selesai makan baru kita bahas masalah pernikahan kamu dan mas Irsyad," ucap Sandra dengan nada ramah dan penuh dengan senyuman.
Hana mengangguk dan duduk di samping Sandra, ia merasa sangat canggung dalam situasi tersebut. Sementara Irsyad mengepalkan tangannya di bawah meja, ia tak habis pikir mengapa istrinya bisa begitu tenang dan tak sedih membahas pernikahan ia dengan wanita lain. "Mas kok makannya cuma sedikit, ini kan makanan favorit kamu," ucap Sandra saat melihat makanan di piring suaminya hanya sedikit. "Aku gak nafsu makan," jawab Irsyad singkat dengan nada dingin. Ia terbiasa mengambil makanan sendiri tanpa dilayani Sandra, tetapi biasanya dengan porsi lebih banyak. Hana pun hanya menyendok sedikit makanan ke piringnya, sejak kejadian tadi siang di pabrik sebenarnya Hana sudah tidak punya nafsu makan. Ia terus memikirkan apakah keputusan yang ia ambil benar atau kesalahan yang fatal. Namun, Hana tetap memaksakan makan walau sedikit, sebab ia tak ingin sakit dan jika ia sakit tak ada yang merawatnya. Suasana di meja makan begitu sunyi dan canggung, hanya suara dentingan sesok yang terdengar. Hingga Sandra menyelesaikan makannya, lalu mulai membahas pernikahan Hana dan Irsyad. "Mas, apa Hana perlu di kenalkan ke mama dulu?" tanya Sandra. "Ya, lebih baik seperti itu agar mama tidak mencarikan perempuan lain untukku," ucap Irsyad. "Besok kamu bisa izin gak masuk kerja dulu ga? Biar kita bisa ke rumah mama untuk mengenalkan Hana." Irsyad menganggukan kepala menjawab pertanyaan istrinya, bibirnya terlalu malas untuk mengatakan apapun jika membahas pernikahan keduanya. Beberapa bulan ini ia tak pernah meminta izin pada atasannya, sehingga Irsyad yakin jika besok ia izin tak masuk pasti di perbolehkan. "Hana, mulai sekarang kamu gak perlu kerja lagi. Kamu tinggal di rumah ini, besok kami kenalkan pada mama, aku yakin mama setuju, setelah itu kita atur pernikahan kamu dengan mas Irsyad," ucap Sandra. "Iya, Bu." jawab Hana singkat. "Kamu jangan panggil aku Bu lagi dong, panggil Mbak aja karena setelah ini kamu akan jadi istri kedua suami aku. Kalau nanti kamu melahirkan dan punya anak dari suami aku, anak itu juga harus panggil aku ibu," ucap Sandra. Hana menganggukan kepala, hatinya terasa sakit membayangkan pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Melihat sikap Irsyad yang dingin pun membuat Hana harus membuang jauh-jauh harapannya untuk memiliki rumah tangga yang selama ini ia impikan. Rumah tangga yang bisa membawa kebahagiaan, ketenangan, kenyamanan, serta keberkahan. "Ya Allah, apa aku bisa mundur? Aku tak ingin pernikahan ini. Aku tak ingin berbagi suami, berbagi anak, dan yang pasti di dalam rumah ini aku tak akan mendapat kasih sayang dari seorang suami," gumam Hana dalam hati. Malam ini Hana tidur di ruang tamu, tetapi matanya tak bisa terpejam. Sementara di kamar lain, Irsyad dan Sandra sedang berbincang. "Bagaimana dia bisa setuju, bukankah kamu bilang dia beberapa kali menolak?" tanya Irsyad. "Aku jebak dia, Mas. Kemarin kan aku sudah cerita sama kamu tentang rencana itu, ternyata berhasil dan akhirnya dia setuju menikah dengan kamu," ucap Sandra. Irsyad menghela nafas dan menatap Sandra, sedikit kecewa dengan apa yang dilakukan istrinya itu. "Bukankah kamu bilang Hana itu yatim piatu, kenapa pakai cara setega ini untuk menjebaknya dalam masalah pernikahan kita?" "Justru itu, karena dia yatim piatu, tak punya sanak saudara, sebatang kara. Jadi kalaupun di jebak tidak ada yang membelanya, tidak ada yang menolongnya, akhirnya dia tidak punya pilihan untuk setuju dengan syarat dariku," jawab Sandra begitu santai tanpa merasa bersalah. "Apa kamu tidak kasihan? Dia karyawan mu yang jujur dan baik, dia tidak menginginkan aku, dia tidak menginginkan pernikahan ini, pasti dia merasa tertekan," ucap Irsyad. "Udahlah, Mas. Jangan pikirin dia terus, paling sedihnya cuma sebentar. Nanti kalau hidup di rumah ini semua kebutuhannya kita cukupi, dia pasti senang lagi. Selama ini dia hidup susah, tidur di kasur lantai tipis samping gudang. Setelah sama kita hidupnya akan lebih baik walaupun harus jadi istri kedua," ucap Sandra. Sandra tak membahas kontrak pernikahan dengan Hana, sebab ia tahu Hana pasti keberatan dengan kontrak pernikahan semacam itu, apalagi jika ia harus meninggalkan buah hatinya setelah kontrak berakhir. Akhirnya Sandra pun berubah pikiran, ia tak membuat kontrak pernikahan dengan Hana. Namun, menyembunyikan Hana sebagai istri siri suaminya, tetapi bersandiwara memperlakukan Hana dengan baik, dan setelah Hana melahirkan anak dari suaminya, maka anak itu akan tercatat dalam kartu keluarga dan akte sebagai anak Sandra dan Irsyad. Kemudian, Sandra bisa dengan mudah mengusir Hana karena tak punya dokumen sebagai istri dan ibu secara hukum negara. "Sandra, apa kamu tidak cinta padaku sampai sesantai itu kamu mengurus pernikahanku dengan wanita lain? Apa kamu tidak sedih, apa kamu tidak cemburu?" tanya Irsyad. Tak ada jawaban dari Sandra, yang terdengar hanya dengkuran halus. Ternyata Sandra sudah terlelap dalam tidurnya, Irsyad menghela nafas karena ia tak bisa tidur memikirkan pernikahannya, sementara istrinya seperti tak ada beban, tidur dengan begitu nyenyak. Irsyad membuka laptopnya, lalu mengerjakan pekerjaan kantor, setelah itu mengirim email ke atasannya meminta izin besok tak masuk kerja. Waktu terus bergulir, tak terasa malam semakin larut, tetapi Irsyad belum bisa tertidur. Pikirannya kusut memikirkan pernikahan kedua yang tak diinginkan itu, sementara Sandra terlihat sangat lelap tanpa beban. Irsyad turun dari ranjang, lalu berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air minum karena ia merasa haus. Saat kakinya melewati kamar tamu, sayup-sayup terdengar suara merdu yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Irsyad menghentikan langkahnya di depan pintu kamar tamu yang ditempati Hana, lalu menempelkan telinganya pada daun pintu, hingga suara merdu itu semakin jelas terdengar. "Dia ngaji malam-malam, apa suara murotal dari HP lupa di matikan?" gumam Irsyad. Lelaki tampan itu membuka pintu yang ternyata tak di kunci, setelah itu terlihatlah Hana sedang duduk diatas sajadah menggunakan mukena sambil membaca ayat suci Al-Quran dengan begitu merdu. "Sepertinya dia gak bisa tidur memikirkan pernikahan ini," gumam Irsyad dalam hati. Ia merasa kasihan pada Hana, sebab ia tahu Hana wanita baik-baik, tidak seharusnya gadis sebaik itu terseret dalam permasalahan rumah tangganya. Irsyad kembali menutup pintu kamar itu, lalu melanjutkan langkahnya menuju dapur dan mengambil air minum. "Apakah aku bisa menjalankan pernikahan seperti ini ya Allah? Ridho kah engkau jika pernikahan ini saja berawal dari sebuah jebakan?" gumam Irsyad dalam hati. Lelaki itu meneguk air dalam gelas, lalu memejamkan mata. Kepalanya terasa berdenyut memikirkan rencana pernikahan kedua untuknya. "Aku tidak tega pada Hana, tapi aku juga tidak bisa menolak keinginan Sandra. Aku harus bagaimana?"Setelah pesta sederhana usai, rumah peninggalan orang tua Irsyad kembali tenang. Lampu temaram menyinari kamar pengantin yang sudah dirapikan Bu Rum. Seprai putih bersih dengan bunga melati di atas bantal membuat suasana kamar terasa hangat dan penuh makna.Malam itu, Ihsan sengaja diajak Bu Rum tidur bersamanya agar Hana dan Irsyad bisa menikmati waktu berdua.Di Dalam KamarHana duduk di tepi ranjang dengan kebaya yang sudah ia ganti dengan daster lembut. Rambutnya yang basah usai keramas, Irsyad masuk, menutup pintu perlahan, lalu duduk di sampingnya."Akhirnya kita bisa duduk berdua tanpa gangguan," ucap Irsyad.Hana tersenyum malu, matanya menunduk. "Iya… rasanya masih seperti mimpi."Irsyad menggeser tubuhnya mendekat, meraih tangan Hana, lalu mengecup punggung tangannya penuh kelembutan. "Aku sudah lama menunggu momen ini. Aku ingin menebus semua waktu yang hilang, semua kerinduan yang terpendam."Irsyad perlahan mendekap Hana, merasakan tubuh istrinya yang sempat lama ia rindu
Hari itu rumah peninggalan orang tua Irsyad terasa berbeda. Dinding-dinding tua yang dulu sepi kini dihiasi janur kuning sederhana, balon warna pastel, dan bunga kertas buatan tangan Bu Rum serta beberapa tetangga. Meja panjang di ruang tengah dipenuhi hidangan, nasi tumpeng, ayam goreng, sambal, kue tradisional, serta minuman segar. Walau sederhana, suasana begitu hangat.Irsyad berdiri di ruang tamu dengan jas sederhana, wajahnya tegang tapi bahagia. Hana duduk di samping Bu Rum dengan kebaya biru muda, jilbab rapi, senyumnya malu-malu.Ketika ruangan penuh saksi menjawab serentak, "Sah! Sah!"Hana menunduk, matanya berkaca-kaca. Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. Bu Rum meraih tangannya erat-erat. "Nak, akhirnya kau resmi jadi istri. Tak ada lagi yang bisa meragukan dan menghina mu, ibu ikut bahagia."Hana hanya bisa mengangguk, suaranya tercekat.Setelah AkadTepuk tangan kecil terdengar. Beberapa tetangga tersenyum haru. Marco, menghampiri sambil menyalami Irsyad."Selamat ya
Setelah selesai berziarah dan berdoa bersama, Irsyad menyalakan mobil perlahan meninggalkan area pemakaman. Wajah Hana masih sembab, sesekali ia menatap keluar jendela, berusaha menenangkan perasaannya. Ihsan tertidur di pangkuan Bu Rum karena kelelahan, sementara suasana di dalam mobil begitu hening dan penuh perenungan.Tak lama, mobil berbelok memasuki sebuah gang kecil yang rindang. Pohon-pohon tua masih berdiri di kanan kiri jalan. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan cat putih yang mulai pudar. Halamannya bersih, ada kursi kayu di teras, dan sebuah pohon mangga besar menaungi rumah itu.Hana mengernyit. "Ini rumah siapa, Mas?"Irsyad tersenyum tipis, mematikan mesin. "Rumah masa kecilku. Di sinilah aku tumbuh bersama Mama dan Papa dulu. Rumah yang selalu di tempati mama selama ini."Mereka turun bersama. Hana berdiri memandang rumah itu dengan perasaan hangat bercampur haru. Ada sesuatu yang begitu teduh dan damai dari rumah sederhana itu.Irsyad membuka pintu,
Malam itu, kontrakan kecil terasa lebih hangat dari biasanya. Hana duduk bersila di lantai, sedang melipat pakaian Ihsan. Di depannya, Irsyad menatap penuh perhatian sambil sesekali mengajukan pertanyaan kecil tentang kebutuhan rumah tangga.Setelah beberapa lama terdiam, Irsyad akhirnya angkat bicara dengan nada hati-hati."Hana, kalau kita menikah lagi kamu mau pesta pernikahan seperti apa? Aku akan lakukan semua yang kamu inginkan. Aku akan usahakan semampuku, Hana. Apapun yang kamu mau."Hana berhenti melipat, lalu mengangkat wajahnya. Ada cahaya sendu di matanya, bercampur dengan rasa takut dan kejujuran."Aku tidak butuh pesta mewah, Mas. Aku tidak peduli soal itu. Aku hanya ingin statusku jelas. Aku ingin jadi istri yang sah, bukan istri kedua, bukan istri simpanan. Hanya itu," jawab Hana dengan nada lirih.Irsyad meraih tangan Hana, menggenggamnya erat."Dan itulah yang akan aku wujudkan. Kamu satu-satunya wanita yang akan kucatat sebagai istriku. Tidak ada lagi yang lain, tap
Sore itu, cahaya matahari menembus sela-sela dinding kayu kontrakan sederhana. Hana duduk di lantai, masih memegang dokumen perceraian yang tadi ditunjukkan Irsyad. Kata-kata di dalam kertas itu terus terngiang di kepalanya. Ia tahu, apa yang selama ini ia ragukan perlahan terjawab.Irsyad duduk di hadapannya, wajahnya lembut. Ia menatap Hana seolah hanya ada satu orang yang penting di dunia ini."Hana... aku tahu hatimu masih terluka, tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Aku tidak ingin sekadar menebus kesalahan, aku ingin memulai lagi dengan benar. Jika kamu mau, jika kamu bersedia menerima aku kembali, maka aku akan menikahimu lagi. Bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai lelaki yang benar-benar menjadikanmu satu-satunya istri, sah secara agama dan negara."Hana tersentak, matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, menggenggam ujung jilbabnya erat-erat."Hana. Aku ingin mewujudkan impian sederhanamu yang dulu sering kamu ceritakan. Punya keluarga kecil yang bahagia, suami yang menyayangi
"Aku serius, Hana. Aku tahu kamu masih ragu padaku dan kamu berhak merasa begitu. Aku sudah banyak salah, membuatmu menanggung beban sendirian. Namun Hana, aku benar-benar sudah tidak bekerja di kantor lama lagi. Aku resign."Hana terdiam, sedikit tidak percaya. Ia tahu posisi Irsyad saat ini di perusahaan adalah posisi yang diinginkan banyak orang. Tidak mudah berada di posisi itu, sehingga Hana merasa tak percaya Irsyad rela melepaskan pekerjaannya hanya untuk hidup bersama ia dan Ihsan yang belum jelas masa depannya seperti apa.Irsyad menatap Hana, melanjutkan ucapannya mencoba membuat Hana percaya padanya."Setelah resign, aku investasikan tabungan dan pesangon ke beberapa perusahaan swasta kecil. Tidak besar, tapi cukup untuk memulai. Aku tidak mau lagi terikat pada pekerjaan yang membuatku jauh dari kalian. Aku ingin hidup dekat denganmu, dengan anak kita."Hana menunduk, suaranya bergetar."Tapi aku... aku masih takut. Kamu sudah berjanji banyak kali, Mas. Lalu kenyataannya,