MasukHari pertunangan tiba. Ballroom hotel sudah disulap menjadi sebuah ruangan yang indah. Dekorasi modern yang membuat semuanya begitu fresh. Karangan bunga sudah memenuhi pintu masuk. Para tamu undangan sudah mulai berdatangan satu persatu. Ayra masih bersiap di kamarnya, begitu pula dengan Erika dan Alana yang sudah selesai dengan riasannya. Semuanya sudah selesai, kini mereka pun berjalan keluar ruangan menuju Ballroom. Erika terus menatap sendu Alana, dia masih saja terus menyalahkan dirinya, karena semua ini ulah dirinya. Erika memeluk Alana dengan mata yang berembun, menangkup kedua pipi putrinya itu, tersenyum getir. Begitu pula dengan Alana yang merasakan hal yang sama, dia tersenyum manis dengan mata yang juga berembun. Erika tak tahan lagi, dia pun memeluk erat tubuh Alana, dengan terus mengatakan maaf pada putrinya itu. "Bu, jangan menangis, nanti Kakak lihat" ucap Alana mengingatkan. "Kenapa kalian menangis?" Tanya Ayra yang benar saja dia melihatnya. Erika m
Alana baru tiba di rumah menjelang malam. Tentu dia diantar oleh Ezra. "Mampir dulu, Zra. Sekalian makan malam di rumah, udah lama kan?" Ezra terdiam sesaat, hingga kelalanya dia anggukkan. "Ok, lagi pula Ibu Erika sudah jinak, kan" goda Ezra. Ya, Ezra tahu cerita Erika yang sudah mulai menerima Alana, semua itu Alana ceritakan saat perjalanan mereka menuju Kota Lama. Mereka pun turun dari mobil dan berjalan masuk, keduanya baru menyadari ada mobil Shayne terparkir di depan sana. Namun, Alana mengabaikannya, toh dia harus terbiasa dengan ini. Nanti pun dia akan sering bertemu, karena nanti Shayne akan menjadi Kakak iparnya. "Alana, dari mana saja kamu? Ibu khawatir" cerca Erika begitu melihat Alana tiba. "Dari tadi Ibu mondar mandir, karena kamu susah dihubungi, dan Om Reno bilang kamu sudah kembali dari Kota Lama siang tadi" Ayra menimpali. Sungguh senang sekali rasanya di khawatirkan oleh sang ibu. Itulah yang selama ini Alana inginkan. Diam-diam Alana tersenyum. "Aku hab
"Bagaimana, Dok. Kondisi adik saya?" Tanya Ata.l Ya.. sedari tadi ada Ata juga disini, Alana tidak menyadarinya. "Kakaknya Asla?" Bisik Alana bertanya. Clara mengangguk. "Daritadi dia ada disana, Al. Gue kesini sama dia" Alana mengkerutkan keningnya. Seakan paham dengan ekspresi Alana, Clara pun menjelaskan bagaimana dia bisa tahu jika Asla pinsan dan berakhir di rumah sakit. Clara yang baru tiba di kontrakan Asla mendapati pemandangan yang tidak mengenakan. Disana Ata akan menggendong Asla, dengan cepat Clara menghampiri dan bertanya. Ternyata, Asla tak sadarkan diri. "Asla pingsan" kagetnya. "Bawa masuk ke mobil saya, kita bawa Asla ke rumah sakit" dengan sigap Clara pun meminta Ata untuk membawa Asla. Clara membantu membuka pintu bagian belakang, mempersilakan Ata masuk yang sedang menggendong Asla. Sungguh berantakan sekali wajah Ata, pria itu terus memanggil nama sang adik. Memang bukan waktu yang tepat, tetapi rasa penasaran Clara semakin menggebu, dia pun bert
Alana baru saja tiba di TPU Kota Lama, dia meminta alamat dimana Lena dikebumikan kepada Reno. Kakinys menyusuri jalan setapak diantara gundukan tanah yang terbalut rumput hijau, lengkap dengan batu nisan di atasnya. Ada beberapa yang tertabur bunga, menandakan bahwa ada sanak saudara yang baru saja berkunjung. Alana tetap melangkah menuju tempat tujuan, hingga dia tiba disebuah gundukan tanah dengan nisan bernamakan Lena Presticia. Ntah mengapa, ketika membaca nama nisan tersebut, kedua mata dan hidung Alana memanas, pandangannya pun mulai buram, dagunya pun sudah bergetar. "Ma-mama" cicitnya. Dia pun terduduk di dekat pusaran Lena. Badannya seperti tidak bertulang, lemas rasanya. "Kenapa, Mama tega ninggalin Alana disini sendiri, Ma" ucapnya, seolah dia sedang berbicara dengan seseorang yang nyata. Air matanya menetes membasahi pipinya. "Awalnya, Alana berfikir, kalau Alana anak yang tidak diinginkan terlahir ke dunia ini. Alana pikir, orang-orang tidak menginginkan Alan
Kini mereka sudah terduduk di ruang tamu. Erika, Alana, Shayne, Reno, dan Arlo. "Ada apa, Bu?" Tanya Alana yang sudah penasaran sedari tadi. Erika menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum dia menjelaskan semuanya pada Alana. "Kamu, sebenarnya bukanlah putri kandung ibu" Deg.. satu kalimat itu membuat hati Alana sakit, meskipun dia sudah menyadarinya, tetapi jika mendengarnya langsung rasanya berbeda. "Tapi, kamu tetaplah putri ibu, apa pun kenyataannya, kamu adalah putri ibu!" Lanjut Erika menyakinkan. Alana hanya tersenyum getir. "Kami mengatakan ini, bukan untuk membuat kamu sedih. Kami hanya ingin kamu mengetahui kebenarannya, Nak" kali ini Reno yang berbicara. "Kamu adalah putri dari sahabat ibu, sahabat dekat ibu. Dan, Ibu minta maaf, atas semua perbuatan Ibu padamu selama ini. Pikiran ibu terlalu sempit kala itu, membuat ibu menjadi membenci dirimu, maafkan Ibu" lirihnya dengan penuh penyesalan. "Nak, jangan pernah tinggalkan Ibu. Ibu, ingin terus mendampingimu,
Perasaan Erika bergejolak, dia merasa tidak punya keberanian untuk berhadapan dengan Alana. Ternyata selama ini pikirannya salah, pikiran dia terlalu dangkal terhadap suaminya. Dan itu membuat banyak sekali perasaan orang lain yang terluka karenanya. "Rasanya aku tidak percaya dengan semua ini? Apakah ini nyata? Apakah ini kebenarannya?" Batinnya. Rasanya ucapan maaf pun tak bisa menebus semua perbuatannya selama ini. Pikirannya terus melayang pada Alana, perbuatan dan sikapnya terdahulu pada anak malang itu. Anak yang selalu dia sebut sebagai pembawa sial. Anak yang selalu dia sia-siakan, anak yang tidak pernah dianggap keberadaannya, anak yang dia selalu abaikan. Terlintas pikirannya pada saat Alana berumur 7 tahun. Pagi hari Erika membangunkan Ayra dan juga Alana tentunya, karena waktu itu mereka masih satu kamar. Ayra sudah terbangun dan dia bergegas jalan menuju kamar mandi, sementara Alana, anak kecil itu masih terbungkus selimut, wajahnya pucat, namun Erika beranggapa







