Para pria itu tertawa kemudian. Relasi Mas Dipta ternyata orang penting di perusahaanku. Entah apa yang dia katakan, yang pasti ini bukan hal yang baik.
"Ya, sudah meeting sudah mau di mulai, Kay jangan lama-lama hahahaha," ucap Pak Restu. Setelah bersalaman kedua atasanku itu pun beranjak ke ruang meeting."Mas Gila," ucapku kesal. Pria itu hanya tertawa."Cintamu yang membuat mas gila. Aku jatuh cinta padamu lagi dan lagi. Sedetikpun mas tak bisa menghilangkan bayangmu dalam benakku. Katakan padaku, kau apakan diriku. Hinggga hanya ada kamu yang setiap waktu hadir dalam anganku," ucap Mas Dipta.Aku tak menjawab apapun, menatapnya kesal kemudian beranjak. Tanganya dengan cepat menahanku."Aku tak apa-apa hanya luka kecil, tak perlu mengkhawatirkan diriku."Aku mengibaskan pegangannya, kemudian beranjak. Mas Dibta tertawa, dia benar-benar sudah gila. Semua peserta meeting sudah memenuhi ruangan, nampak Pak Ryan pun sudah duduk di mejanya. Kupercepat langkahku menuMendengarku, mereka malah tertawa, mereka pasti berfikir aku sedang bercanda. Yah, aku menyampaikannya memang terlihat begitu. Obrolan ala emak-emak menyelingi makan malam kami. Sampai aku selesai makanpun, aku tak melihat sosok Pak Ryan.Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Pak Ryan. Dia di bar sekarang, beberapa manager pusat dan kepala cabang lain menodongnya. Pria itu baru ulang tahun kemarin, itu alasannya. Aku cukup tau kebiasan para manajer itu. Bukan rahasia lagi bagaimana cara mereka untuk bersenang-senang. Kenapa hatiku menjadi kesal, pikiranku menjadi liar kemana-mana. Bagaimana kalau orang-orang itu menghadiahkan seorang wanita untuk menemaninya malam ini. Aku paham sekali kebiasan mereka, Pak Ryan orang baru pasti belum tahu kebiasaan mereka."Kepantai yuk?" ajak Mbak Zoya pada kami, sebenarnya engan tapi mereka menarikku juga. Tak enak juga, dipikir Aku tak mau membaur dengan yang lain. Dari depan ke belakang lumayan jalannya. Pantai terlihat lebih lebih
Mulutku sedikit ternganga saat mendengar Pak Ryan menanyakan hal itu. Apa aku tak salah dengar?"Maksudnya?" tanyaku padanya."Mungkin ini terlalu cepat, tapi seperti yang kamu bilang, sudah tak pantaskan kalau kita hanya pacaran? Aku ingin kita menikah," jelasnya kemudian."Kau melamarku?" "Entah, aku tak tau apa ini namanya, tapi aku yakin kamu perempuan yang aku cari selama ini. Semua yang ada padamu membuatku jatuh cinta. Tak mudah bagiku mengatakan hal ini, tapi rasa cinta ini membuatku menanggalkan segala ego,""Kita bahkan belum genap tiga bulan mengenal, dan baru dua hari dekat. Pikirkan kembali, pernikahan adalah hal sakral yang mengikat kita seumur hidup, bukan hanya antara kita, tapi semua keluarga kita," ucapku kemudian."Aku tak ada keraguan atasmu, tapi kamu benar kita memang belum lama mengenal. Apa aku terlalu percaya diri, hatiku berkata kau akan menerimaku," ucapnya."Iya, kepedean," ucapku sambil menggulum senyumku."Benarkah?" ucapnya, me
"Jangankan sebentar, semua waktuku kalau kamu yang minta pasti aku berikan," jawabnya."Ih, gombal banget ternyata ini orang," ucapku. Pria itu tertawa."Hanya denganmu, aku bisa bicara seperti ini, anehkan? Emm ada apa?" "Prilly, ingin bicara denganmu, dia merajuk tadi," jelasku padanya."Apa dia merindukanku?" Aku mengangkat bahuku. Aku sendiri juga tak tau, tak pernah dia seperti itu. Ponsel kuambil dari saku blazer, dan menghubungi mama kemudian. "Mam, Prilly mana?" tanyaku setelah mengucapkan salam. Tak berapa lama terdengar suara gadis kecilku itu. Ponsel kuserahkan ke Pak Ryan. Bibir itu terlihat tersenyum, dia berbicara sedikit menjauh dariku. Ada apa antara anak dan kekasihku itu. "Ada apa sih?" tanyaku, saat Pak Ryan mengembalikan pinselku."Rahasia," jawabnya tersenyum mengodaku."Ih, nggak banget pakai rahasia,rahasian segala," ucapku manyun. Pria itu malah tertawa.Seperti hari sebelumnya, agenda kegiatan hari ini juga tak kalah padat.
"Maaf," ucapnya.Aku tertunduk dengan wajah menghangat, kepalaku mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan dan situasi seperti ini. "Kamu istirahat, besok agenda kita masih padat," ucapnya lagi."Kamu juga," ucapku, sambil kembali menatapnya, senyum menghias bibir manis itu. Untuk sesaat kami masih saling bertatap, kenapa rasanya enggan sekali untuk berpisah. Apakah aku benar-benar mulai jatuh cinta ..."Sudah malam, nanti aku bisa khilaf, aku balik kamar dulu," ucapnya kemudian."Iya," jawabku.Pria itu hanya bergeming dengan senyum berbeda. Tak beranjak juga dari depanku."Katanya mau balik kamar?" tanyaku kemudian."Bagaimana aku bisa pergi, tangan ini terus menahanku," ucapnya sambil memegang kedua tanganku yang melingkari pinggangnya, sontak aku ingin menariknya tapi dia malah menahannya.Wajahku semakin menghangat, bisa-bisanya aku tak sadar sedang memeluknya. Senyum jail, terulas di bibir itu, kembali aku menunduk menyembunyika
"Aku akan selalu ada untukmu, menjagamu dan juga Prilly, aku akan menjadi seseorang yang bisa kalian andalkan. Jangan pernah takut melangkah kedepan, ada aku yang akan selalu mendukungmu. Jadikan aku sandaran, saat kau mulai lelah. Pegang tanganku saat kau takut melangkah."Pak Ryan mengecup kedua tanganku, kemudian mendekapnya di dada."Jaga rasaku, ini kali pertama aku merasakan jatuh cinta, mungkin aku akan terlihat begitu posesif terhadapmu, tapi itu semata-mata karena aku takut kehilanganganmu." Lanjut pria itu."Justru aku yang takut, kamu terlalu sempurna bagiku. Harusnya kamu bisa mendapatkan yang jauh le --- ." Jemari itu menyentuh bibirku, membuat aku tak meneruskan ucapanku."Tak ada manusia yang sempurna, aku juga tak sebaik yang kamu pikirkan, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin menjadi pria yang bisa kamu andalkan dan tak akan membuatmu kecewa, apalagi terluka."Pria ini seminggu yang lalu masih sangat menyebelkan. Lihatlah hari ini, hati wanita mana y
"Saya mohon ijin, untuk menjalin hubungan yang lebih jauh dengan Kayana, mungkin ini terdengar terlalu cepat, tapi saya serius dengan Kayana," ucap Pak Ryan. Aku sedikit tertegun, aku pikir tak akan secepat ini.Mama dan Papa saling berpandangan, bersamaan mereka melihat ke arahku yang masih sedikit tertegun. Jemari Pak Ryan saling bertaut, terlihat sekali kalau dia juga tegang."Nak Ryan, sudah tau status Kayana sebenarnya?" tanya Papa pada Pria itu. "Iya, Om, saya sudah tau tentang Kayana.""Apakah itu bukan masalah?""Saya menerima segala kelebihan dan kekurangan Kayana, demikian juga saya berharap Kayana bisa menerima dengan segala kelebihan dan kekurangan yang saya miliki," jawab Pak Ryan."Bagaimana dengan orang tua Nak Ryan?" Cecar Papa lagi."Mama saya selalu mendukung keputusan saya," jawab Pak Ryan lagi.Papa terlihat manggut-manggut, mama tersenyum ke arahku. Aku sendiri? entahlah apa yang kurasakan sekarang. Jujur aku tak mengira pria itu akan se
"I ... itu kesalahan," jawabku."Maksudnya?""Mas Dipta, sedang dalam kondisi tak sadar sewaktu melakukannya, dia saat itu sedang mabuk. Aku juga tak bisa melawannya, semua terjadi begitu saja," jelasku ke Friska."Tapi, sudah ada Prilly, kenapa kalian tetap berpisah?""Aku tak tau kalau sedang hamil, Mas Dipta juga tidak mengetahuinya," jelasku lagi."Maksudmu, Mas Dipta tak tau tentang Prilly?" Aku mengangguk, Friska memejamkan matanya, "Sampai sekarang?""Iya, aku belum memberitahu Mas Dipta tentang Prilly, tapi dia punya hak tau, aku pasti akan memberi tahunya suatu saat. Karena Prilly juga berhak tau tentang ayahnya." Aku menarik nafas dalam, mengatur gejolak hatiku, dan berdoa semoga Friska tak marah padaku."Aku tak tau, mau berkata apa lagi. Ini semua, sangat buruk. Aku tak menyukainya, rasanya sakit, semua rasa tercampur menjadi satu." Air mata Friska kembali luruh. "Kamu berbohong kalau kamu bilang Mas Dipta tak mencintaimu, dia terdengar senang sekali
"Kami belum tau." Mas Bian yang akhirnya menjawab pertanyaanku. Tangan Pak Ryan mengusap pelan punggungku, seolah sedang menguatkanku. Dia membawaku, kesebuah kursi kosong tak jauh dari tempat Friska dan Mas Bian duduk."Percaya, semua akan baik-baik saja. Ingatlah ada aku di sini, tak akan aku biarkan kamu menangis sendiri," bisik Pak Ryan padaku. Jemarinya menautku erat. Aku mengangguk pelan."Terima kasih," ucapku lirih.Kami semua terdiam, situasi ini sungguh tak nyaman. Sesekali kumelihat kearah Friska, yang menatap kosong dengan mata sembabnya. Perih sekali rasanya, aku ingin memeluknya. Andai dia tau dia lebih dari segalanya, bagiku. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri, dia satu-satunya sahabatku. Lihat, apa yang sudah kuperbuat padanya sekarang.Aku tak sanggup melihat kemarahanya, airmatanya dan juga kediamannya. Aku tak ingin kehilangan dia. Sejak pertama kami bertemu kami merasa seperti punya ikatan satu dengan lainnya. Dan sekarang dia marah padaku karen