"I ... itu kesalahan," jawabku.
"Maksudnya?""Mas Dipta, sedang dalam kondisi tak sadar sewaktu melakukannya, dia saat itu sedang mabuk. Aku juga tak bisa melawannya, semua terjadi begitu saja," jelasku ke Friska."Tapi, sudah ada Prilly, kenapa kalian tetap berpisah?""Aku tak tau kalau sedang hamil, Mas Dipta juga tidak mengetahuinya," jelasku lagi."Maksudmu, Mas Dipta tak tau tentang Prilly?" Aku mengangguk, Friska memejamkan matanya, "Sampai sekarang?""Iya, aku belum memberitahu Mas Dipta tentang Prilly, tapi dia punya hak tau, aku pasti akan memberi tahunya suatu saat. Karena Prilly juga berhak tau tentang ayahnya." Aku menarik nafas dalam, mengatur gejolak hatiku, dan berdoa semoga Friska tak marah padaku."Aku tak tau, mau berkata apa lagi. Ini semua, sangat buruk. Aku tak menyukainya, rasanya sakit, semua rasa tercampur menjadi satu." Air mata Friska kembali luruh. "Kamu berbohong kalau kamu bilang Mas Dipta tak mencintaimu, dia terdengar senang sekali"Kami belum tau." Mas Bian yang akhirnya menjawab pertanyaanku. Tangan Pak Ryan mengusap pelan punggungku, seolah sedang menguatkanku. Dia membawaku, kesebuah kursi kosong tak jauh dari tempat Friska dan Mas Bian duduk."Percaya, semua akan baik-baik saja. Ingatlah ada aku di sini, tak akan aku biarkan kamu menangis sendiri," bisik Pak Ryan padaku. Jemarinya menautku erat. Aku mengangguk pelan."Terima kasih," ucapku lirih.Kami semua terdiam, situasi ini sungguh tak nyaman. Sesekali kumelihat kearah Friska, yang menatap kosong dengan mata sembabnya. Perih sekali rasanya, aku ingin memeluknya. Andai dia tau dia lebih dari segalanya, bagiku. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri, dia satu-satunya sahabatku. Lihat, apa yang sudah kuperbuat padanya sekarang.Aku tak sanggup melihat kemarahanya, airmatanya dan juga kediamannya. Aku tak ingin kehilangan dia. Sejak pertama kami bertemu kami merasa seperti punya ikatan satu dengan lainnya. Dan sekarang dia marah padaku karen
"Ini benar kamu, Nak," ucapnya lagi, kemudian menghambur memeluk dan menciumku."Au," rintihku pelan saat tanpa sengaja wanita itu menyenggol tanganku yang terluka."Ka ... kamu juga terluka?" Wanita itu memindaiku."Cuma lecet sedikit," jawabku.Mendengarku bicara dengan orang lain, tampak Pak Ryan bangun dan kemudian berdiri."Ini, siapa?" tanya wanita itu lagi."Saya, calon suaminya Kayana," ucap Pak Ryan, tangannya terulur. Wanita itu menyambut ragu. Ayah Mas Dipta ikut menghampiri, aku mencium pungung tangannya."Bagaimana kondisi Dipta?" tanya wanita itu padaku, aku mengelengkan kepala."Friska yang lebih tau, Ma," jawabku."Kamu mengenal Friska?" tanya wanita itu lagi.Aku mengangguk, "Friska sahabay Kay, Ma. Sudah seperti adik Kayana sendiri," jawabku. Karena aku menahan sakit pada kakiku, yang kemungkian keseleo, aku limbung dan hampir jatuh. Pak Ryan langsung menangkapmu."Maaf tante, kaki Kayana masih sakit, saya bawa duduk dulu," ucap
"Mas, itu sudah tidak mungkin, Kay sudah memiliki pria lain. Mas juga sudah memiliki Friska yang sangat mencintai Mas Dipta," ucapku padanya."Tapi aku mencintaimu, ahh ... kepalaku sakit.""Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara," ucapku padanya."Mas istirahat, Kay juga harus pulang, nanti Kay kesini lagi," pamitku padanya."Janji.""Iyah," jawabku.Aku memanggil dengan mengangkat tanganku ke arah perawat di balik kaca. Segera perawat berkaca mata itu menghampirimu, dan membantuku keluar."Bagaimana Dipta?" Mama Mas Dipta langsung mencegatku."Sudah membaik Ma, Kay pamit dulu, nanti Kayana kesini lagi," pamitku."Iya, sayang. Banyak hal yang ingin mama ceritakan juga," ucap wanita itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Pak Ryan langsung berjalan kearahku, saat perawat kembali ke dalam. Aku berpamitan pada Friska, sahabatku itu hanya sedikit mengangguk tanpa bicara.*"Ke apotik dulu ya, membeli obat untuk lukamu, dan untuk kakimu," ucap Pak R
Kedekatannya dengan Ayah Mas Dipta yang pastinya membuat Papa dengan cepat memaafkan mantan menantunya itu. Berbeda dengan Mama, yang bersikukuh tak akan kembali menerima Mas Dipta. Sebagai seorang Ibu aku cukup mengerti apa yang mama rasakan, selain harga diri yang terinjak hatinya sebagai seorang Ibu pastilah sangat terluka, menerima perlakuan Mas Dipta yang dengan mudahnya mengembalikan diriku pada mereka saat itu.Mama cukup mengerti betapa hancurnya aku saat itu, merekapun ikut hancur. Apalagi saat mengetahui aku hamil, dan melihat aku menjalani kehamilan tanpa suami, membesarkan Prilly tanpa sentuhan dan kasih sayang seorang suami.Hatiku masih sakit mengingatnya, luka ini teramatlah dalam dan perih, sebesar apapun rasa cintaku pada Mas Dipta, tak akan mampu menghapus rasa sakit itu begitu saja. "Kay mau istirahat dulu Ma, Pa," pamitku."Istirahatlah, kamu pasti lelah semalaman di rumah sakit," ucap Papa. Aku hanya mengangguk. Mama membantuku berjalan ke d
Sebenarnya aku terlanjur janji pada Mas Dipta, akan menjenguknya sore ini, tapi entahlah, aku tak mampu melihat kesedihan dan amarah Friska padaku. Rasanya sakit sekali, dia satu-satunya sahabatku dan sekarang dia menangis karena aku."Ponselmu dari tadi berbunyi," ucap mama sembari memberikan ponsel padaku yang sedang duduk di ruang tengah menemani Prilly yang sedang melihat film kartun di laptop.Ada pangilan dari Pak Ryan, dan juga Mas Dipta. Beberapa pesan juga terlihat di notif.Pak Ryan menanyakan apa aku jadi kerumah sakit, dia menyarankan aku untuk istirahat dulu. Sebentar lagi dia akan datang kerumah.Pesan dari Mas Dipta, hanya berisi kalimat singkat, 'Sayang, aku rindu'Kenapa ponselnya tak ikut rusak sewaktu kecelakaan kemarin, atau mungkin hilang. Akan lebih baik, setidaknya tidak akan menambah masalah baru. Apa yang aku pikirkan, sepertinya aku terlalu lelah menghadapi pria itu.Ponsel masih kutimang, saat kembali bergetar. Mas Dipta lagi yang terpamp
"Oh, ya. Ini terlalu lambat untukku, kalau bisa besok, besok aku akan membawamu ke penghulu. Lama atau sebentar, tak bisa menjadi sebuah ukuran, yang terpenting adalah ketulusan dan kesanggupan kita dalam berkomitmen, untuk hidup bersama. Bukan hanya aku dan kamu, tapi keluargaku dan keluargamu juga.""Aku serius dalam hubungan ini, bukan karena aku lelah mencari, Namun semua yang aku inginkan ada dalam dirimu, lalu apa lagi yang aku tunggu," lanjut pria itu."Diriku tak sesempurna itu, banyak juga kekuranganmu, tapi aku akan belajar menjadi sempurna untukmu, Prilly dan anak kita nanti," ucapnya lagi."Anak?" tanyaku."Iya, dan aku harap kita tak menundanya nanti, aku suka anak kecil, dan Mama juga berharap segera memiliki cucu."Jauh sekali pikiran pria ini, aku bahkan belum berfikir sampai di situ. Aku menatapi wajahnya yang terlihat ceria menceritakan mimpi dan harapannya, dia begitu detail mempersiapkan semuanya, mempersiapkan sebuah masa depan."Mama dan Papa
Mobil Pak Ryan mulai memasuki area kantor, dan berhenti di depan pintu masuk. Jam setengah delapan, kantor belum terlalu ramai. Tampak Rahmat langsung keluar dari dalam kantor. Pak Ryan membukakan pintu mobilnya, dan membantuku turun.Rahmat sedikit kaget melihatku turun dari mobil Pak Ryan, apaalagi melihat kondisiku."Di bagasi ada dua kantong besar, sudah aku beri nama di dalamnya. Minta Amir dan Arlan untuk membaginya," ucapku pada Rahmad saat kami berhadapan."Baik, Bu," jawab Rahmat mencuri pandang ke arah luka di tangku."Makasih ya," ucapku sebelum beranjak."Sama-sama, Bu."Beberapa karyawan yang sudah datang tak melepas pandangannya dariku, yang sedang di bantu berjalan oleh Pak Ryan.Susah payah aku naik kelantai dua, tempat ruanganku berada. Pak Ryan membantuku sampai aku duduk di kursi kerjaku."Obatnya nggak lupa kan?" tanyanya setelah membantuku duduk."Ada dalam tas, pada liatin semua tadi.""Kan mereka punya mata, biarin aja liat," jawa
Aku memandanginya sesaat, kalimat apa lagi yang harus aku gunakan untuk memberi penjelasan agar pria ini mengerti.Sepertinya diri ini telah kehabisan kata-kata."Mas mencintaiku? Sungguh mencintaiku?" tanyaku padanya, kutatap lekat wajah pria itu."Kau meragukanku? aku mencintaimu," jawab Mas Dipta."Mas, ingin Kay bahagia?""Aku berjanji akan membahagiakanmu.""Kalau begitu, lepaskan Kay. Biarkan Kay dengan pilihan hidup Kay sendiri.Mas Dipta hanya menatapku, tak berkata apapun. Pandanganya beralih menatap ke arah pintu, namun kosong."Aku tak bisa," jawab Mas Dipta tanpa melihatku. Aku menghela nafas panjang, aku benar-bebar telah habis akal."Sudahlah, percuma juga bicara," ucapku, kemudian hendak beranjak, Mas Dipta meraih tanganku."Tunggu, Papamu ada sesuatu yang perlu aku ketahui darimu, apa itu?"Perasaanku mulai tak nyaman, apa papa ingin aku bercerita tentang keadaan Prilly pada Mas Dipta. Huft, aku sungguh heran, apa yang ada dalam pikir