Melihat darah yang keluar, aku berteriak kencang, mengundang semua yang ada di sekitar berdatangan. Aku langsung berdiri menahan tubuh Friska yang hilang kesadaran. Dibantu security dan beberapa karyawan lain aku menopang tubuh Friska.Darah terus keluar, aku begitu panik. Tak bisa memikirkan apapun, begitu juga saat tubuh Friska diangkat ke dalam mobil, aku masih dalam kondisi syok. Sesampainya di rumah sakit Friska langsung dilarikan ke IGD. "Silahkan menunggu di luar, kami akan segera menangani pasiennya," pinta salah satu perawat sebelum menutup pintu ruangan. Dalam diam air mataku tak berhenti mengalir antara syok, kaget, takut, sedih, dan entah apa lagi."Apa yang terjadi?" Aku langsung menoleh ke arah suara, tangis tertahanku pecah seketika. Tujuan dari penusuk itu adalah diriku menurut pemikiranku, Friska hanya melindungiku. Dia bertaruh nyawa untukku."Friska … Friska …." Aku tak mampu berkata apapun, Pak Ryan memeluk tubuhku, mencoba menenangkank
Mobil yang Pak Ryan kemudikan mulai memasuki area parkiran rumah sakit. Parkiran di depan penuh, kami memutar ke parkiran samping yang sedikit jauh dari lobby rumah sakit.Setelah turun, kami langsung bergegas. Dari parkiran samping memang sedikit lebih jauh jalannya untuk menuju kamar Friska. Bila memutar lewat depan, akan semakin jauh."Lewat situ lebih dekat," ucapku sambil menunjuk sebuah lorong di sisi kanan. "Tapi, harus melewati kamar jenazah," ucapku lagi."Memangnya kenapa?" tanya Pak Ryan sambil menggandeng tanganku."Ya, nggak papa, toh semua yang hidup bakal mengalami hal yang sama," jawabku. Kami berjalan bersisian."Iya, jadi pengen cepet nikah.""Apa hubungannya?""Emang harus ada hubungannya?" tanya pria yang sore ini tampak manis dengan kaos putih dan bawahan gelap itu."Ya haruslah, kalau nggak ada hubungan ngapain nikah?" balasku.Pria itu menoleh ke arahku."Bisa aja jawabnya, tambah ngebet kan, pengen segera nikah."Aku yang
"Kay, jangan membahayakan dirimu. Menjauh dari pria ini, kecemburuan kekasihnya bisa saja membunuhmu. Dia bukan wanita sembarangan, aku sudah mencari tahu tentangnya." Kembali Mas Dipta melanjutkan bicaranya. "Jangan pernah bercerita omong kosong, aku tak memiliki hubungan apapun dengan wanita itu. Jadi jaga bicaramu!" Pak Ryan semakin tak bisa mengendalikan emosinya."Sudahlah, Mas tak perlu mencampuri urusan Kayana lagi. Ini hidupku, biarkan Kay menentukan jalan sendiri," ucapku akhitnya pada Mas Dipta, aku tau apa yang harus aku lakukan."Mas hanya mengkhawatirkan dirimu," ucap Mas Dipta kemudian."Tak perlu mencemaskan calon istriku," balas Pak Ryan."Justru aku mencemaskan dia, karenamu." Mas Dipta menunjuk ke arah wajah Pak Ryan dan suaranya juga meninggi."Sudah cukup, mas tolong tak perlu mencampuri urusanku lagi," tegasku lagi."Dengar, kalau sampai terjad
"Kita?" ulangku. "Iya, apakah tak sesuai dengan apa yang kamu impiakan?" tanyanya lagi, saat melihatku hanya terdiam.Aku menggeleng dengan cepat. Ini memang tidak sesuai dengan ekspetasi, bukan kurang tapi, lebih."Bukan, bukan begitu. Justru sebaliknya, ini luar biasa, lebih dari mimpiku," jawabku."Kamu suka?""Sangat suka.""Aku senang, mendengarnya.""Aku hanya tak mengira, mimpimu sudah sejauh ini. Semua sudah kamu siapkan dengan begitu sempurna.""Demi dirimu.""Aku tersanjung, terima kasih." Senyum dan haru berpadu menjadi satu. Tangannya meraih tubuhku, dia memberi sebuah pelukan hangat dan kecupan di kening. Bagaimana perasaanku sebenarnya sungguh sulit aku gambarkan.Selepasnya pria yang memiliki hatiku untuk saat ini kembali menarik tanganku guna melihat-lihat ruangan lainnya. Sebuah kamar untuk Prilly juga telah dia siapkan. Yang pastinya jauh lebih luas dibanding
Aku benar-benar tegang, rasanya perasaanku tak karuan, sungguh tak bisa aku gambarkan. Nafas aku tarik kuat-kuat dan menghembuskan perlahan kemudian. Badanku rasanya panas dingin.Yang ditunggu akhirnya datang juga, terdengar mobil berhenti. Jantungku berdetak semakin kencang. Ya Allah, semoga engkau memberi kelancaran dan membuka pintu hati Papa, untuk dapat menerima lamaran Pak Ryan malam ini.Mendengar suara mobil berhenti, Mama bergegas beranjak. Tangannya menarik Papa yang terlihat enggan beranjak. Aku menggandeng Prilly, yang terlihat cantik dengan dress putihnya."Assalamualaikum," salam Pak Ryan."Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Prilly kencang, aku hanya lirih menjawabnya.Pak Ryan tersenyum, dia terlihat begitu tampan dalam balutan kemeja batik yang dominan warna hitam itu. Untuk pertama kalinya, aku bertemu langsung dengan Mamanya Pak Ryan, sangat cantik. Sepertinya umurnya tak berbeda
Pria itu tertawa mendengarku, dia terlihat begitu bahagia. "Sayang," panggilku setelah tawanya mereda."Iya sayang.""Kamu membuatku jatuh cinta, untuk kesekian kalinya," ucapku. Wajah pria itu merona mendengarku."Semua hal yang ada padamu, membuatku semakin jatuh cinta," lanjutku."Kenapa kau mengambil bagianku, harusnya aku yang mengatakan hal itu padamu," ucapnya, "Aku mencintaimu lebih besar dari yang aku sadari."Tuhan memberi lebih dari yang aku minta, semua begitu nampak sempurna. Restu yang kami dapatkan membuka jalan yang sempat aku takutkan akan terjal dan berliku.•••"Pa, terima kasih," ucapku pada Papa pagi itu, saat kami berkumpul untuk sarapan.Wajah Mama yang sedang menyiapkan air minum juga terlihat begitu sumringah, cerah ceria."Kalau kalian sudah saling cinta dan merasa cocok, Papa hanya bisa mendukung saja."Papa mengambil kopinya dan menyeruput kemudian."Semoga diberi kelancaran, untuk niat baik kalian berdua. Semua berkas sudah di urus, tinggal urusanmu di kan
Mama Pak Ryan, memilih tinggal di Apartemen, mungkin merasa belum nyaman meski sahabat, mereka sudah cukup lama tak bersua. Selepas pulang kantor aku biasa menemuinya. Mengantar makanan dan menemaninya sebentar. Pribadi yang sangat bersahaja.Hari ini sedari sore, Prilly sudah prepare untuk acara nanti malam, salah seorang temannya berulang tahun. Tak tanggung-tanggung orang tuanya menyewa ballroom hotel termewah di kota ini. Satu permintaan Prilly yang membutuhkan waktu lebih untuk aku memberi jawaban. Dia ingin ditemani Mama dan Papanya. Prilly sendiri langsung menghubungi Mas Dipta, yang dengan cepat mengatakan iya. Aku sampaikan pada Pak Ryan, pria itu mengizinkan demi Prilly. Meski dari suaranya terasa tak nyaman, aku cukup mengerti apa yang ia rasakan.Mama dan Papa mengunjungi Mama Pak Ryan, aku hanya berdua dengan Prilly. Menunggu Mas Dipta menjemput kami. Prilly bergegas lari kedepan saat terdengar mobil berhenti. Sambil membawa kado yang aku beli tadi siang, aku ikut kelua
Mobil melaju pelan, meninggalkan area hotel. Prilly sudah tertidur di kursi belakang, gadis kecilku itu langsung terlelap sepertinya dia begitu kelelahan. Jam digital di mobil memperlihatkan angka sembilan. Untuk Prily mrmang sudah cukup larut malam.Terasa ponsel di dalam tasku bergetar, tanganku segera merogoh ke dalam tas. Tanpak ada panggilan dari Pak Ryan saat aku melihat layar. Dengan segera kugeser tombol berwarna hijau di layar untuk menerima panggilan."Assalamualaikum," salamku kemudian."Waalaikumsalam sayang, dah pulang?" Terdengar suara riang pria di ujung telepon."Sudah, masih di jalan. Sayang sudah di hotel?" tanyaku kemudian."Iya, baru selesai mandi. Besok penerbangan pagi, jadi belanjanya kan? Ajak Prilly ya biar anak kita pilih sendiri." Anak kita? Sesaat aku terdiam."Halo ….""Iya, aku pagi kesana sama Prilly," jawabku tersenyum, meski dia tak akan melihatnya, tapi, aku bahagia dengan perasaannya pada Prilly."Maaf, aku nggak bawa hadiah tapinya. Padat sekali me