Baru aku akan menyahut dengan suara, ketika tangan Mas Ryan membekap cepat mulutku. Hanya alisku yang terangkat, sebagai isyarat bertanya kenapa dia menutup mulutku."Kamar mandi, pakai baju dulu. Biar nggak kelamaan sengangnya," bisik suamiku itu pelan, kemudian membuka bekapan tanganya. Aku mengangguk kemudian meski belum sepenuhnya paham akan maksudnya. Sesaat aku mencerna arti perkataanya. Iya, sungkan juga jawab iya tapi, kami tak keluar - keluar. Aku mengulas senyum saat kami bergerak dengan lamban turun dari peraduan agar tak menimbulkan suara. Ketukan berhenti, setelah beberapa saat. Kami bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri alakadarnya. "Kenapa diacak lagi rambutnya?" tanya Mas Ryan saat aku mengacak rambut yang baru saja disisirnya."Kan biar keliatan bangun tidur beneran," jawabku sambil mengacak pelan rambut Mas Ryan."Hmm … pinter banget sih, istrinya siapa ya?" goda Mas Ryan sambil menarik ujung hidungku."Ish … baru aja akad dah lupa," balasku dengan bibir m
Mas Ryan menghampiri Mama Jani. Wanita itu langsung berhambur dalam pelukan anak lelakinya. Puluhan tahun tak memudarkan rasa di hati Mama Jani untuk Ayah Herman. Terlihat sekali kecemasan dalam diri wanita itu. Seorang perawat keluar, semua pasang mata langsung terarah padanya. Dia menyebut nama Mas Ryan, dan memintanya masuk kedalam ruangan. Sekilas Mas Ryan melihat ke arahku, anggukan kecil sebagai isyarat dariku, agar dia masuk."Terima kasih," ucap Mas Dipta yang kini berdiri di sampingku."Untuk apa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya."Ryan mau kesini, pasti kamu yang membujuknya." Mas Dipta menoleh ke arahku. Sesaat pandangan kami beradu."Itu sudah menjadi bagian tugas Kay, sebagai seorang Istri dari Mas Ryan dan juga sebagai seorang menantu," ucapku kemudian."Beruntungnya Ryan memilikimu." Mas Dipta menatapku lekat, aku melempar pandangan ke arah lain untuk sesaat."Kay, yang beruntung memiliki Mas Ryan," balasku sesaat kemudian. Sekilas kembali melirik kearah Mas Dipta ya
Terakhir kami melakukan hubungan, sewaktu Ayah Herman masuk rumah sakit. Dan, selama dirawat kami bergantian untuk menjaganya di rumah sakit. Selain itu, karena cemas tak memikirkan hal seperti itu. "Mas di dalam saja," pintaku saat kesadaran menyapa pelan aku melepas tautan bibir Mas Ryan. Kami masih berada di balkon dengan kondisi diri yang mulai berantakan."Di sini saja hmm …." Dengan napas memburu Mas Ryan kembali menarik tubuhku dan melumat lembut bibirku."Ish … Sayang malu." Aku mendorong pelan tubuh Mas Ryan. Meski balkon tertutup, tak terlihat orang tetap saja, tak nyaman. "Kenapa? Seru kan?" Senyum menggoda menghias wajah tampan pria di hadapanku itu."Masuk angin." Aku menjawab sambil merapikan baju. Sesaat kami tadi terbuai dalam syahdunya permainan asmara. Membuatku juga lupa kalau tidak berada di kamar.Mas Ryan terkekeh mendengar jawabanku. "Di dalam aja," ucapku sambil beranjak, berdiri. Tangan Mas Ryan menahanku, menarikku hingga terduduk di pangkuannya."Plis!"
"Ish, kita lagi bicara serius juga," ucapku manyun."Mas juga serius, mau minta lagi. Sebagian dari bentuk kerja keras mas juga kan?!" kilah Mas Ryan kemudian."Kerja apaan coba?" Aku masih dengan bibir manyun."Bikinin adik buat Prilly," jawabnya dengan senyum nakal."Ish … bisa aja." Pipiku terasa menghangat dengan senyum tertahan."Masih bisa kok, tenang aja. Mau berapa kali?" Mas Ryan masih menatapku dengan tatapan menggoda."Apaan sih, bisa aja. Bukan apa bisa!" tegasku, meski aku tau Mas Ryan sedang menggodaku. Pria itu tertawa, senang sekali rupanya melihatku salah tingkah. •••Pertempuran semalam cukup menguras tenaga, pagi-pagi perutku terasa lapar sekali. Bangun sedikit kesiangan, selepas sholat aku segera mengeringkan rambutku. Setelah itu turun ke dapur, menyiapkan sarapan. Kedua Mama sudah terlihat sibuk di dapur. "Pagi, Sayang." Mama Jani menyambutku dengan sebuah pelukan. Mama juga memberikan ciuman selamat pagi."Lapar, Mah." Manjaku ke Mama, mungkin karena aku anak
Aku tengah bersiap dan merapikan baju di depan cermin selepas memoles wajah dengan sedikit make up tipis. Sedikit terkesiap dengan sebuah tanda di bawah tulang selangka. Terlihat jelas meski bajuku tidak terlalu berkerah rendah."Sayang coba ini lihat!" Aku menunjuk ke arah tanda merah dengan jari telunjuk. Yang ada Mas Ryan malah tertawa saat melihatnya."Keliatan," ucapku dengan bibir manyun Mas Ryan terlihat menggaruk kepalanya."Pakai syal saja atau ditambah lagi biar kayak orang abis dikerok." Pria itu tambah menggodaku membuat bibirku semakin mengerucut."Ih, apaan." Aku bergegas menuju lemari, mencari syal dengan warna yang hampir senada dengan baju yang aku kenakan. Lumayan, jadi tertutup."Apa lagi?" Aku menarik leher, saat pria itu memeluk tubuhku dari belakang dan mulai menyasar leherku dengan ciumannya.Tawanya kembali terdengar, senang sekali dia mengerjaiku. Dia membalikkan tubuhku hingga kami berdiri berhadapan. Dengan kedua tangannya Mas Ryan membetulkan kembali syal y
Setelah hampir satu jam perjalanan kami tiba juga di tempat tujuan. Nampak di parkiran berjajar banyak mobil mewah, dari berbagai merk. Bukan hal yang wah, sudah biasa setiap ada acara seperti ini pasti semua tampil maksimal.Mas Ryan memarkir mobilnya sedikit jauh dari pintu masuk. Karena bagian dekat pintu masuk sudah penuh. Setelah mobil terparkir kami langsung turun, mengambil barang bawaan, dan berjalan menuju pintu masuk. Di depan pintu masuk ada semacam penerima tamu, yang memberikan sebuah paper bag, entah apa isinya. Masing-masing mendapatkan satu buah paperbag. Dua orang perempuan muda mengarahkan kami, menunjukkan tempat acara di langsungkan.Sebuah kereta mini terlihat disiapkan untuk membawa para tamu, ke tempat acara. Prilly langsung membaur dengan teman-teman yang dilihatnya. Akupun menyapa beberapa orang tua teman Prilly yang aku temui."Hai, Mama Prilly." Mama Rachel menghampiriku, suaminya kenal dengan Mas Dipta. Bahkan kami sempat berfoto bersama waktu di hotel. Di
"Mau nomor WA saya? Kan sama saja," ulangku lagi. Wanita itu menoleh ke arahku, wajahnya sedikit memerah. Dia sama sekali tak membalas perkataanku wanita aneh. Tangan kanannya mengambil sesuatu dari saku dadanya, sebuah kartu nama ternyata."Ini Mas, kartu nama Fanny." Wanita itu memberikan kartu namanya ke Mas Ryan.Aku langsung menyahut kartu nama itu dari tangan Fanny, saat Ia menyodorkan ke Mas Ryan. Mas Ryan hanya terdiam melihat kelakuanku."Terima kasih, Fanny." Kembali sebuah senyum paling manis aku berikan padanya. Tidak akan aku berikan sedikitpun kesempatan kepada perempuan lain untuk mengganggu suamiku.Perasaanku mengatakan dia bukan tanpa tujuan mendekati Mas Ryan. Dari tatapan matanya dapat aku lihat rasa kagum atau apalah saat menatap Mas Ryan. Sebagai sesama perempuan aku bisa dengan jelas melihatnya."Ayok Mas," ajak ku ke Mas Ryan, untuk kembali berjalan ke arah panggung kecil yang terpasang, tempat keluarga yang punya acara berada. "Bye Fanny." Kembali senyum ter
Sebuah tangan merangkulku, aku menoleh. Mas Ryan memasang senyum manisnya, aku hanya nyengir. Memang dia tidak menanggapi. Tapi, entah kenapa aku ikut kesal padanya."Kamu tau Sayang, kamu terlihat begitu seksi kalau sedang cemburu," godanya padaku."Sampai di rumah, harus cerita siapa dia sebenarnya," ucapku kesal."Apa yang diceritakan? Aku nggak tau apa-apa Sayang. Ya, dia adik kelas memang, hanya itu." Mas Ryan memberi penjelasan.Aku masih memanyunkan bibir. Ketika tangan Mas Ryan turun ke pinggang, gerakan jarinya membuatku menggeliat geli."Mas.""Iyap.""Jarinya.""Senyum dulu," pinta Mas Ryan."Males," jawabku.Sengaja dia menggerakkan jarinya lagi."Maaas ….""Senyum dulu!" Paksanya lagi, aku memaksa menarik sudut bibirku sekilas. "Yang manis," tambahnya. Jarinya kembali beraksi."Iya …." Sebuah senyum kuberikan, yang justru membuatku tertawa. Apalah kami ini, seperti ABG saja. Kekesalanku hilang mendapati sikap manis dan absurd dari suamiku itu.Sepanjang acara setelahnya,