Share

Bukti Foto

Author: NH. Soetardjo
last update Huling Na-update: 2022-09-15 16:12:27

"Hah? Serius, Fin?"

"Buat apa aku bohong, Wid. Lagipula aku memang nggak akrab sama keluarga suamimu. Kamu juga tahu itu, 'kan? Jadi, mana mungkin aku main sampai nyuapin dan gantiin baju anakku segala di sana?"

"Iya juga, ya? Kalau gitu Ibu mertuaku bohong, tapi kenapa?"

Fina menarik napas perlahan. Sejenak wanita berambut panjang itu mengedarkan pandang ke sekeliling pasar yang mulai ramai pengunjung.

"Kayaknya memang mencurigakan. Kamu harus cari tahu, Wid."

"Cari tahu tentang apa?" ujar Mas Zaki yang tiba-tiba muncul dan mengejutkan kami berdua.

Tubuhku kaku, tak tahu harus berkata apa, sementara Fina menoleh ke arah Mas Zaki dan memberi senyum yang terlihat dipaksakan.

"Eh, i-ini, Mas. Saya cuma bilang ke Widia agar dia mencari tahu tentang terapi supaya cepat hamil. Nggak apa 'kan, Mas?"

"Oh, nggak apa. Kami permisi mau melanjutkan belanja dulu, ya."

"Baik, Mas. Take care ya, Wid?" ujar Fina dengan kikuk. Wajahnya masih terlihat merah, mungkin saat ini aku pun sama. Semoga Mas Zaki tidak mendengar banyak isi perbincangan kami.

"Thanks, Fin," jawabku sambil melambaikan tangan ke arah perempuan yang berjalan berlawanan arah dengan kami itu.

"Kamu cerita apa aja ke Fina sampai dia nyuruh cari tahu tentang terapi segala?" Suara berat Mas Zaki terdengar tak biasa di telingaku.

"Eh, i-itu ... ng-ngak cerita apa-apa. Cuma tadi aku nanya kenapa anaknya nggak diajak. Terus kita jadi ngomongin masalah hamil, deh."

Maaf aku harus berbohong, Mas. Tentu saja kalimat itu hanya terucap dalam hati. Mas Zaki mengganjur napas berat.

"Kamu udah pengen banget punya anak ya, Sayang?" Lelaki berdada bidang itu mengusap kepalaku yang tertutup pashmina.

"Siapa yang nggak ingin punya, sih? Semua orang yang menikah umumnya mau punya anak, Mas."

Mas Zaki merengkuh bahuku dan menarik semakin dekat ke tubuhnya.

"Nanti malem kita coba lagi, ya? Sekarang belanja dulu," ujarnya sambil mencium puncak kepalaku.

"Ih, apa apaan sih, Mas. Malu, di tempat umum, nih."

"Biarin aja. Yuk!"

Kami pun berkeliling pasar membeli banyak kebutuhan untuk di rumah Ibu. Sayur, daging, ayam, ikan, dan juga buah. Setelah semua lengkap, kami menuju supermarket yang lokasinya tak jauh dari pasar sayur. Setiap bulan, aku dan Mas Zaki memang menyempatkan diri belanja bulanan untuk Ibu dan rumah sendiri. Sementara belanja sayuran dan lauk pauk biasanya dilakukan Laras. Selama dia di Kebumen, maka kami menggantikannya.

Setelah semua kebutuhan terbeli, kami kembali menuju rumah Ibu.

"Habis ini kita pulang ke rumah sendiri, ya," ujar Mas Zaki saat kami sudah di dalam mobil.

"Kenapa tiba-tiba ngajak pulang, Mas? Bukannya kita nunggu sampai Laras datang dari Kebumen?"

"Besok juga dia pulang."

"Ya, kenapa nggak nunggu sampai besok aja? Kasihan Ibu masih belum sembuh banget."

"Nanti aku titip Ibu ke Mbak Rinda, tetangga sebelah. Yang penting setelah ini kamu masakin menu sehari buat Ibu, dan yang frozen untuk besok."

Aku mengangguk. Benar-benar mencurigakan. Kenapa tiba-tiba Mas Zaki tergesa mengajakku pulang? Biasanya dia paling betah menginap di rumah Ibu. Apalagi perempuan yang melahirkannya itu sedang sakit. Namun, bagaimanapun aku harus mengikuti kehendak suami.

Sesampainya di rumah ibu mertua, aku segera menyelesaikan cucian baju yang tadi sempat tertunda. Tentu saja pakaian bayi yang kutemukan sudah tidak ada. Aku menghampiri Mas Zaki yang sedang membuka laptopnya di kamar.

"Mas, benar ada yang aneh dengan sikap Ibu, lho."

"Apalagi, Sayang?"

"Baju bayi yang tadi udah nggak ada di cucian kotor. Padahal Ibu bilang 'kan nanti biar dikasih ke Fina saat sudah bersih. Apa disembunyikan ya, Mas?"

Mas Zaki meraih dua tanganku dan meremasnya. "Kamu ini lagi mau jadi detektif atau apa, sih? Dari tadi hawanya penasaran terus dengan banyak hal. Sudahlah, Sayang. Itu bukan urusan kita."

Aku hanya mengangguk dan meninggalkan Mas Zaki dengan rasa tidak puas, lalu melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Setelah mencuci, aku memasak menu makan siang dan malam. Tak lupa membuat ayam ungkep yang akan kumasukkan ke dalam kulkas. Besok Ibu tinggal menggorengnya saja saat ingin dikonsumsi.

Sambil memasak, pikiranku kembali pada benda-benda aneh yang berkaitan dengan bayi. Ada curiga yang menelusup di hati. Apakah mungkin di rumah ini memang ada bayi? Bukankah aroma bayi sangat mudah tercium kalau memang ia ada di sebuah rumah? Kalau benar ada, lalu anak siapa? Apakah Laras sebenarnya sudah hamil dan melahirkan? Tak mungkin.

Adik bungsu Mas Zaki termasuk perempuan yang taat beragama. Bahkan sejauh pengamatanku, ia sangat menjaga hubungan lawan jenis. Tak mungkin ia hamil di luar nikah dan melahirkan. Kalaupun sampai terjadi, untuk apa Ibu menutupinya dariku? Atau ....

Tidak. Aku menepiskan pemikiran bahwa Mas Zaki sudah menikah lagi dengan orang lain, lalu punya anak. Tak mungkin suamiku itu berkhianat.

"Walau bukan lelaki sempurna, aku nggak akan sanggup mengkhianati istri sendiri, Wid," ujar Mas Zaki saat aku mengomentari sebuah berita perselingkuhan selebriti yang ditayangkan oleh sebuah infotainment. Saat itu aku bertanya, bagaimana kalau suatu saat Mas Zaki jatuh cinta pada perempuan lain.

Walau pernikahan kami bermula dari perjodohan, tapi Mas Zaki tak pernah menunjukkan dirinya membenci pernikahan ini. Sikapnya padaku sama seperti layaknya suami yang menikahi istri dengan keinginan sendiri.

Selama ini suamiku juga tak pernah menunjukkan sikap yang mencurigakan. Ia bahkan tak pernah pulang telat. Kalaupun harus tugas keluar kota, masih dalam hitungan wajar menurutku.

"Jangan pernah berpikir terlalu banyak. Kebahagiaanmu adalah prioritasku sampai akhir hayat."

Kalimat itu pernah ia ucapkan saat aku memprotes jadwal perjalanan bisnisnya yang padat.

Mas Zaki juga sangat romantis. Ia selalu penuh perhatian, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Semua keinginanku selalu dipenuhinya. Hanya ada satu hal yang belum pernah dilakukannya untukku, yaitu bicara cinta. Kadang aku menunggunya untuk mengucap i love you. Beberapa kali pernah aku pancing dengan mengucapkannya lebih dahulu, tapi ia hanya membalas dengan senyum lalu mencium bibirku.

"Udah selesai, Sayang?"

Aku tersadar dari lamunan. Sejak kapan Mas Zaki sudah berdiri di sana? Ia tampak siap untuk pulang. Dengan celana jeans biru muda dan kaos putih yang dipadu dengan kemeja flanel, suamiku itu tampak sporty dan semakin tampan.

"Hei, ditanya malah mandangin kayak gitu. Suamimu ini memang ganteng, tapi selesaikan dulu masaknya. Nanti boleh mengagumi sepuasnya di rumah."

"Ih, terlalu pe-de anda ini, Bung."

Mas Zaki tertawa, lalu melangkah mendekat ke arahku.

"Habis masak kita langsung balik. Kamu nggak usah mandi dulu. Nanti di rumah aja," ujarnya lembut sambil mengusap bahuku.

"Duh, enak aja. Mas udah tampil rapi dan wangi, masa aku nggak boleh dandan cantik?"

"Nggak perlu dandan, kamu udah cantik, kok."

Mas Zaki mendekatkan tubuhnya. Refleks aku mendorongnya.

"Ih, sana, dong. Susah ini mau angkat wajannya. Ngapain peluk-peluk? Malu kalau dilihat Ibu."

"Biarin. Peluk istri sendiri, kenapa harus malu?"

"Ya udah, nanti aja. Aku selesaikan ini dulu. Katanya mau pulang."

Akhirnya suamiku melepaskan pelukan setelah memberi ciuman di pipi. Segera aku menyelesaikan kegiatan memasak dan merapikan dapur. Saat memasukkan ayam ungkep ke dalam kulkas, kulihat kemasan bubur instan kemarin juga sudah tidak ada. Pasti dipindah atau dibuang oleh Ibu.

Setengah jam kemudian aku dan Mas Zaki pamit pada Ibu. Mertuaku itu mengucapkan terima kasih dengan mata yang berkaca.

"Yang rukun, ya. Ibu senang kamu selalu ada di samping Zaki."

Entah apa maksud dari ucapannya tentang rukun. Toh, selama ini kami hampir tak pernah bertengkar. Mas Zaki sangat sabar menghadapi aku yang kadang manja dan banyak permintaan.

"Ibu dah dikasih tahu ada lauk yang untuk besok di kulkas?" tanya Mas Zaki saat kami sudah di mobil.

Aku hanya mengangguk. Saat mobil kami sudah berada di jalan raya, ponselku berbunyi. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Wid, ini Fina. Barusan aku lihat Laras bareng perempuan bawa bayi masuk ke rumah ibu mertuamu. Ini kukirim fotonya."

Di bawah pesan itu ada foto. Terlihat Laras dengan seorang perempuan yang menggendong bayi sedang berdiri di pintu. Ibu tampak menyambutnya dan mencium puncak kepala bayi itu.

Siapa mereka?

***

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rival Burhan
bagus banget ceritanya tapi harus bayar segala
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Luka Istriku karena Cinta   Langkah Menguak Tabir

    Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam

  • Luka Istriku karena Cinta   Terlibat

    Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d

  • Luka Istriku karena Cinta   Tersangka (POV Zaki)

    Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan

  • Luka Istriku karena Cinta   Menikah

    "Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul

  • Luka Istriku karena Cinta   Luka yang Terlalu Dalam

    Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening

  • Luka Istriku karena Cinta   Upaya Rujuk

    "Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status