Home / Rumah Tangga / Luka Istriku karena Cinta / Bubur Bayi di Dapur Mertua

Share

Luka Istriku karena Cinta
Luka Istriku karena Cinta
Author: NH. Soetardjo

Bubur Bayi di Dapur Mertua

Author: NH. Soetardjo
last update Huling Na-update: 2022-09-15 10:58:54

"Bu, ini bubur bayi siapa?" tanyaku pada ibu mertua saat melihat ada semangkuk bubur bayi di meja dapur.

Tak ada bayi di rumah ini. Ibu hanya tinggal bersama Laras, anak bungsunya. Adik suamiku itu masih kuliah dan belum menikah. Saat ini ia sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Kebumen. Jadi, bubur bayi milik siapakah itu?

"Eh, i-itu ... ta-tadi si Fina tetangga sebelah main di sini sambil nyuapin bayinya. Ketinggalan malah pas pulang."

Aku mengangguk, tapi merasa heran melihat ibu mertua yang menjawab dengan gugup. Rasa heranku bertambah saat Ibu menyebut bubur bayi itu milik Fina, tetangganya. Setahuku perempuan itu sejak dulu hampir tak pernah bertandang ke rumah ini. Selain karena pribadinya yang kurang senang bergaul, rumah Fina juga agak jauh dari sini.

"Kamu nginep di sini, Wid?"

"Pasti, Bu. Aku nggak tega kalau Ibu sendirian pas lagi sakit kayak gini. Laras masih lama di Kebumen, 'kan?"

"Masih dua hari lagi dia KKN di sana."

"Nah, sekarang mumpung aku lagi di sini, Ibu mau dimasakin apa?"

Perempuan yang hampir seluruh rambutnya memutih itu tersenyum. Tangan kanannya terulur dan mengusap lengan kiriku perlahan.

"Nggak usah, Wid. Ibu males makan."

Kusentuh punggung tangannya dan memberi usapan lembut di sana. Mata kami saling bertatapan.

"Nggak boleh gitu, Bu. Harus banyak makan biar lebih cepat sembuh."

"Ya udah, terserah kamu aja. Ibu mau tidur dulu."

"Baik Bu."

Ibu kandung Mas Zaki itu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamar utama. Detik berikutnya terdengar suara derit pintu yang dibuka dan ditutup kembali.

Rumah Ibu dan tempat tinggal kami cukup jauh. Bila ditempuh dengan mobil pribadi, membutuhkan waktu satu setengah jam. Namun, aku dan suami selalu menyempatkan diri paling tidak seminggu sekali untuk datang ke rumah ini.

Biasanya kami berangkat hari Sabtu pagi, dan pulang hari Minggu sore. Namun, tadi malam Ibu menelepon bahwa dirinya sakit dan sudah ke dokter.

"Besok baru Jum'at, tapi nggak apa kita ke rumah Ibu, ya?" tanya Mas Zaki.

"Iya nggak apa, Mas. Kasihan Ibu lagi sendiri," jawabku sambil menarik selimut.

"Besok aku antar kamu pagi-pagi ke sana sebelum ke kantor," ujarnya lembut sambil mengubah posisi hingga kami saling berhadapan. Tangannya menyentuh pelipisku dan menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi mata.

"Nggak usah, Mas. Nanti kamu telat. Aku naik taksi online aja. Agak siangan dikit berangkatnya, mau bikinin puding dan cake dulu buat ibu."

Mas Zaki tersenyum dan membelai kepalaku. Tak lama ia sudah tertidur sambil memeluk tubuhku erat.

Saat aku tiba di rumah ini, Ibu berada di ruang tamu dan seperti sedang membereskan sesuatu. Ia buru-buru membawa benda-benda yang dipegangnya ke dalam kamar, baru kemudian menyambutku.

"Bu, aku buatin puding lumut, nih. Aku ambilkan piring kecil dan Ibu makan, ya?"

"Nanti aja, Wid. Ibu masih kenyang."

Apakah Ibu sedang berpura-pura? Ah, aku tidak boleh berburuk sangka. Mungkin, ia memang belum lama makan.

Sekarang, setelah Ibu mertua masuk ke kamarnya, aku mulai menjelajah dapur. Pertama-tama, mencuci semua piring kotor yang ternyata sangat menumpuk di wastafel. Untuk Ibu yang tinggal sendiri beberapa hari ini, kenyataan itu tentu sangat mengherankan.

"Nggak usah ngerjain semua sendirian, Wid! Nanti kamu capek," seru Ibu dari dalam kamarnya.

"Nggak apa, Bu. Badanku malah sakit semua nanti kalau kebanyakan istirahat," jawabku sambil menatap tumpukan piring kotor.

Hal lain yang membuat dahi berkerut adalah ada banyak sendok kecil dan juga gelas plastik yang kotor di tempat cucian piring. Sepertinya tidak mungkin Ibu minum dengan gelas plastik yang mungil-mungil itu.

Seketika pikiran di kepala ini mengaitkan dengan bubur bayi tadi yang segera kuambil. Aku membuang isinya, lalu mencuci mangkuk yang menjadi wadah makanan itu.

Sejenak aku meneliti mangkuk porselen tempat bubur bayi itu. Bagian luar bawahnya ada cat dengan huruf K. Kalau ini bubur milik Fina, kenapa mangkoknya sama seperti milik ibu mertuaku? Semua perlengkapan makan di rumah ini memang ditandai dengan inisial nama Ibu.

"Biar nggak ketuker pas ngasih makanan ke tetangga. Apalagi peralatan makan Ibu banyak, jadi sering dipinjam untuk acara RT atau arisan. Kalau nggak ditandai, banyak yang hilang nanti," jawab Ibu saat pertama kali aku bertandang ke rumah ini dan bertanya kenapa harus menorehkan cat di bagian luar bawah pada peralatan makan dan dapurnya.

Selesai mencuci piring, aku mulai menyiapkan bahan-bahan untuk memasak menu makan siang. Kubuka lemari pendingin milik Ibu yang ternyata penuh berisi bahan makanan. Melihat daging di kulkas, langsung terbit ide untuk membuat soto. Untunglah bahan lain dan bumbu juga lengkap.

Saat hendak menutup pintu kulkas, aku melihat sesuatu yang aneh di sana. Ada kemasan plastik yang sudah terbuka. Setelah kuperiksa, ternyata itu adalah bubur bayi instan yang isinya sudah tinggal separuh. Milik siapa lagi ini? Apakah Fina juga? Kalau ada di dalam kulkas, tak mungkin karena ketinggalan. Pasti memang sengaja diletakkan di sana. Untuk apa Ibu atau Fina meletakkan bubur bayi instan itu di dalam kulkas? Bukankah Fina juga punya lemari pendingin di rumahnya?

Kepalaku tiba-tiba pening. Kenapa muncul banyak keanehan di rumah ini? Haruskah aku bertanya lagi pada Ibu mertua? Atau nanti pada suami saja saat ia datang?

***

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Luka Istriku karena Cinta   Langkah Menguak Tabir

    Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam

  • Luka Istriku karena Cinta   Terlibat

    Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d

  • Luka Istriku karena Cinta   Tersangka (POV Zaki)

    Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan

  • Luka Istriku karena Cinta   Menikah

    "Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul

  • Luka Istriku karena Cinta   Luka yang Terlalu Dalam

    Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening

  • Luka Istriku karena Cinta   Upaya Rujuk

    "Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status