Share

Luka Istriku karena Cinta
Luka Istriku karena Cinta
Author: NH. Soetardjo

Bubur Bayi di Dapur Mertua

"Bu, ini bubur bayi siapa?" tanyaku pada ibu mertua saat melihat ada semangkuk bubur bayi di meja dapur.

Tak ada bayi di rumah ini. Ibu hanya tinggal bersama Laras, anak bungsunya. Adik suamiku itu masih kuliah dan belum menikah. Saat ini ia sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Kebumen. Jadi, bubur bayi milik siapakah itu?

"Eh, i-itu ... ta-tadi si Fina tetangga sebelah main di sini sambil nyuapin bayinya. Ketinggalan malah pas pulang."

Aku mengangguk, tapi merasa heran melihat ibu mertua yang menjawab dengan gugup. Rasa heranku bertambah saat Ibu menyebut bubur bayi itu milik Fina, tetangganya. Setahuku perempuan itu sejak dulu hampir tak pernah bertandang ke rumah ini. Selain karena pribadinya yang kurang senang bergaul, rumah Fina juga agak jauh dari sini.

"Kamu nginep di sini, Wid?"

"Pasti, Bu. Aku nggak tega kalau Ibu sendirian pas lagi sakit kayak gini. Laras masih lama di Kebumen, 'kan?"

"Masih dua hari lagi dia KKN di sana."

"Nah, sekarang mumpung aku lagi di sini, Ibu mau dimasakin apa?"

Perempuan yang hampir seluruh rambutnya memutih itu tersenyum. Tangan kanannya terulur dan mengusap lengan kiriku perlahan.

"Nggak usah, Wid. Ibu males makan."

Kusentuh punggung tangannya dan memberi usapan lembut di sana. Mata kami saling bertatapan.

"Nggak boleh gitu, Bu. Harus banyak makan biar lebih cepat sembuh."

"Ya udah, terserah kamu aja. Ibu mau tidur dulu."

"Baik Bu."

Ibu kandung Mas Zaki itu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamar utama. Detik berikutnya terdengar suara derit pintu yang dibuka dan ditutup kembali.

Rumah Ibu dan tempat tinggal kami cukup jauh. Bila ditempuh dengan mobil pribadi, membutuhkan waktu satu setengah jam. Namun, aku dan suami selalu menyempatkan diri paling tidak seminggu sekali untuk datang ke rumah ini.

Biasanya kami berangkat hari Sabtu pagi, dan pulang hari Minggu sore. Namun, tadi malam Ibu menelepon bahwa dirinya sakit dan sudah ke dokter.

"Besok baru Jum'at, tapi nggak apa kita ke rumah Ibu, ya?" tanya Mas Zaki.

"Iya nggak apa, Mas. Kasihan Ibu lagi sendiri," jawabku sambil menarik selimut.

"Besok aku antar kamu pagi-pagi ke sana sebelum ke kantor," ujarnya lembut sambil mengubah posisi hingga kami saling berhadapan. Tangannya menyentuh pelipisku dan menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi mata.

"Nggak usah, Mas. Nanti kamu telat. Aku naik taksi online aja. Agak siangan dikit berangkatnya, mau bikinin puding dan cake dulu buat ibu."

Mas Zaki tersenyum dan membelai kepalaku. Tak lama ia sudah tertidur sambil memeluk tubuhku erat.

Saat aku tiba di rumah ini, Ibu berada di ruang tamu dan seperti sedang membereskan sesuatu. Ia buru-buru membawa benda-benda yang dipegangnya ke dalam kamar, baru kemudian menyambutku.

"Bu, aku buatin puding lumut, nih. Aku ambilkan piring kecil dan Ibu makan, ya?"

"Nanti aja, Wid. Ibu masih kenyang."

Apakah Ibu sedang berpura-pura? Ah, aku tidak boleh berburuk sangka. Mungkin, ia memang belum lama makan.

Sekarang, setelah Ibu mertua masuk ke kamarnya, aku mulai menjelajah dapur. Pertama-tama, mencuci semua piring kotor yang ternyata sangat menumpuk di wastafel. Untuk Ibu yang tinggal sendiri beberapa hari ini, kenyataan itu tentu sangat mengherankan.

"Nggak usah ngerjain semua sendirian, Wid! Nanti kamu capek," seru Ibu dari dalam kamarnya.

"Nggak apa, Bu. Badanku malah sakit semua nanti kalau kebanyakan istirahat," jawabku sambil menatap tumpukan piring kotor.

Hal lain yang membuat dahi berkerut adalah ada banyak sendok kecil dan juga gelas plastik yang kotor di tempat cucian piring. Sepertinya tidak mungkin Ibu minum dengan gelas plastik yang mungil-mungil itu.

Seketika pikiran di kepala ini mengaitkan dengan bubur bayi tadi yang segera kuambil. Aku membuang isinya, lalu mencuci mangkuk yang menjadi wadah makanan itu.

Sejenak aku meneliti mangkuk porselen tempat bubur bayi itu. Bagian luar bawahnya ada cat dengan huruf K. Kalau ini bubur milik Fina, kenapa mangkoknya sama seperti milik ibu mertuaku? Semua perlengkapan makan di rumah ini memang ditandai dengan inisial nama Ibu.

"Biar nggak ketuker pas ngasih makanan ke tetangga. Apalagi peralatan makan Ibu banyak, jadi sering dipinjam untuk acara RT atau arisan. Kalau nggak ditandai, banyak yang hilang nanti," jawab Ibu saat pertama kali aku bertandang ke rumah ini dan bertanya kenapa harus menorehkan cat di bagian luar bawah pada peralatan makan dan dapurnya.

Selesai mencuci piring, aku mulai menyiapkan bahan-bahan untuk memasak menu makan siang. Kubuka lemari pendingin milik Ibu yang ternyata penuh berisi bahan makanan. Melihat daging di kulkas, langsung terbit ide untuk membuat soto. Untunglah bahan lain dan bumbu juga lengkap.

Saat hendak menutup pintu kulkas, aku melihat sesuatu yang aneh di sana. Ada kemasan plastik yang sudah terbuka. Setelah kuperiksa, ternyata itu adalah bubur bayi instan yang isinya sudah tinggal separuh. Milik siapa lagi ini? Apakah Fina juga? Kalau ada di dalam kulkas, tak mungkin karena ketinggalan. Pasti memang sengaja diletakkan di sana. Untuk apa Ibu atau Fina meletakkan bubur bayi instan itu di dalam kulkas? Bukankah Fina juga punya lemari pendingin di rumahnya?

Kepalaku tiba-tiba pening. Kenapa muncul banyak keanehan di rumah ini? Haruskah aku bertanya lagi pada Ibu mertua? Atau nanti pada suami saja saat ia datang?

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status