"Bukan tentang luka yang entah kapan pulih, tetapi hati yang masih menyelisih perihal cinta."
------------------------------ Farida masih termenung duduk di lantai. Pandangannya nanar menatap pintu kamar yang dihajar Nusa sebelum pergi. Habis sudah seluruh dinding rumah yang terbuat dari triplek, retak-retak ditinju lelaki tersebut. Setiap Nusa murka, semua menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang pecah belah tak ada lagi tersisa, bahkan lemari kaca yang dibeli setelah menabung setahun, hancur ditendang, hanya gara-gara Farida tak bisa mencarikan uang untuk membayar angsuran motor yang menunggak. Triplek saja retak, lemari pecah, apalagi tubuh Farida yang gemar dipukuli si lelaki. Namun, luka tubuh tak seberapa dibanding luka hati. Selama ini dia hanya diam menerima semua hinaan sang suami. Sebuah kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Andai saja, saat pertama Nusa menjatuhkan tangan, dia memberontak, tentu lelaki itu tak berani berbuat lebih. Salahnya yang diam dan memaklumi semua kekasaran si lelaki, baik fisik maupun verbal. Kepala Farida pusing saat merasakan darah di kepalanya semakin banyak. Dia mencoba bangkit meski kepayahan. Menatap pantulan wajah di dalam kaca, terlihat ada luka robek yang cukup dalam di dahi sebelah kanan. Dia mencoba menekan luka, tetapi justru pandangannya berputar, hingga tubuh terasa ringan. Perempuan itu mencoba duduk sejenak, sambil terus menekan lukanya. Bayangan kedua orang tuanya kembali menggoda tempurung kepala. Dia memeluk tubuh dengan tangan sebelah kiri, seolah-olah sang bunda yang sedang memeluknya. Dia memejamkan mata, seraya mengingat hangatnya pelukan perempuan yang telah dia kecewakan tiga tahun yang lalu. Kembali air mata Farida meleleh. Meski dia sangat mahir menahan sakit, tetapi danau teduh itu begitu sering melinangkan cairannya, seakan tak pernah kering. Tangisnya yang semula hanya isakan, semakin keras kala keinginan untuk pulang berdesakan di dadanya. Namun, lagi-lagi Farida kalah oleh rasa takut. Begitu hebat doktrin yang dihunjamkan Nusa, hingga dia tak berani untuk pergi. Penat menangis, Farida tergelak sumbang. Menertawakan nasib buruk yang menimpanya. Sejuta penyesalan bergulung-gulung membenamkannya ke lautan nestapa. Lama bertingkah seperti orang gila, Farida merasakan sentuhan lembut di bahu. Dia mengangkat pandangan dan menangkap sorot cemas dari Buk Ratih. "Apa yang terjadi padamu, Farida?!" Mata Buk Ratih melebar ketika melihat tangan kanan si perempuan penuh percikan darah. Buk Ratih menarik tangan asisten rumah tangganya itu dan memekik tertahan saat melihat luka robek di dahi Farida. "Nusa yang melakukannya?!" tanya Buk Ratih geram. Farida mencoba mengulas senyum meski gagal. Senyumannya itu malah menjadi ringisan. "Aku tersandung, Buk. Jatuh menimpa meja." Buk Ratih menggeleng gemas mendengar pengakuan Farida. Perempuan itu masih saja membela suami biadabnya. Tanpa dijelaskan pun, jelas terlihat tak mungkin dia tersandung. "Sudahlah, Farida, ayo kita ke klinik. Lukamu sangat parah, harus dijahit." Buk Ratih memegang bahu si perempuan agar bisa berdiri. Namun, lagi-lagi dia menolak. "Tak usah, Buk. Ini luka kecil. Nanti sembuh sendiri." "Farida!" Buk Ratih tak kuasa menahan amarahnya. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Jelas terlihat dia cemas dengan keadaan si perempuan. "Tetanggamu melapor padaku tadi ada suara benturan dari dalam rumahmu. Tak taukah kau, aku cemas padamu? Ini balasanmu atas perhatianku? Kalau kau mau mati, mati saja! Aku tak peduli lagi." Buk Ratih menumpahkan kekesalannya. Dia benar-benar sangat mencemaskan keadaan Farida. Perempuan yang kini menunduk itu sudah dianggap seperti anak sendiri. Buk Ratih juga tidak tahu kenapa hatinya begitu lekat kepada perempuan tersebit. Mungkin saat melihat Farida, dia teringat putrinya yang meninggal dunia dalam pelukannya karena patah hati oleh seorang lelaki. "Buk ... maafkan aku. Aku cuma takut merepotkan Ibuk." Suara Farida menahan langkah Buk Ratih. Perempuan paruh baya itu berbalik. "Kau itu keras kepala. Tak bisakah kau lihat sayangku padamu?" Buk Ratih menganjur napas panjang dan dalam, sekadar menenangkan rasa kesal yang memenuhi rongga dadanya. Dia kembali mendekati Farida, lalu membantu berdiri. "Kita ke klinik. Obati lukamu, baru kita bicara lagi. Tak ada penolakan dari Farida. Dia juga tak bisa lagi menahan denyutan ngilu di kepalanya. Matanya juga tak bisa lagi melihat dengan jelas, semua samar dan pecah. Tertatih langkah perempuan itu dibimbing Buk ratih. Farida semakin menunduk saat melihat dua orang tetangga berdiri di pintu memperhatikan mereka, sambil bercakap. "Benar, kan, Farida dihajar lagi sama si Nusa." "Iya kalau aku, sudah kulaporkan laki-laki itu ke polisi." "Aku juga. Tak patut laki-laki itu dikatakan manusia. Kurang sabar apa si Farida. Disuruh bekerja, diselingkuhi, dimadu. Kalau aku, sudah kubuang suami seperti itu ke Muaro." Farida hanya diam mendengar ocehan tetangganya. Meski semua benar, tetapi hatinya masih saja lemah bila Nusa datang meminta maaf. * "Ini kenapa, Nek?" Seorang lelaki muda memakai snelli, mengernyit melihat luka sepanjang dua senti meter di dahi Farida. "Jatuh, kebentur sudut meja," jawab Buk Ratih singkat. Sang dokter menggangguk. Sedikit tak percaya dengan jawaban Buk Ratih. Akan tetapi dia tak berani bertanya lagi. Buk Ratih adalah salah satu penanam modal terbesar di klinik mandiri tempat empat dokter spesialis membuka praktek, termasuk satu orang yang kini sedang menyelesaikan pendidikan spesialis dokter gigi di Universitas Harvard. "Ini harus dijahit, Nek. Kalau enggak, darahnya bakal keluar terus." "Lakukan saja. Yang penting darahnya berhenti. Jangan lupa resepkan obat yang paling bagus biar cepat sembuh dan tak berbekas." Sang dokter muda mengangguk. Dia lalu meminta asistennya untuk menyiapkan peralatan untuk bedah minor. Seperti, benang bedah, pinset anatomi, mayo scissors, pinset jaringan, dan jarum yang sudah diisi obat bius untuk membuat daging sekitar luka, kebal saat dijahit. Farida sedikit mengaduh saat jarum suntik ditusukkan ke pinggir lukanya. Sang perawat menunggu beberapa saat untuk memastikan obat bius bekerja. Setelah semua dirasa siap, dokter mulai menjahit luka terbuka di dahi Farida. Selama operasi, pikirannya berkelana mengingat Nusa. Lagi-lagi lelaki itu. Entah apa yang terjadi padanya. Sebenci apa pun pada lelaki tersebut, saat berjauhan rasa rindu tiba-tiba saja hadir, membuat dadanya berdebar-debar. Dia tak mengerti mengapa bisa seperti itu? Normalnya, bila perempuan lain, sudah lama memasukkan suami seperti Nusa ke kandang situmbin. "Udah, sekarang saya resepkan obat agar lukanya cepat kering. Juga salep agar tak berbekas," ucap sang dokter setelah selesai menjahit luka di dahi Farida. Buk Ratih menerima secarik kertas dari dokter tadi. Setelah berbasa-basi sebentar, perempuan itu menebus obat ke apotik klinik. Farida terheran-heran, rerata semua pegawai di klinik, baik dokter dan perawat mengenal baik Buk Ratih. Meski bekerja pada perempuan tersebut, tetapi Farida tak tahu banyak tentang majikannya itu. * "Yakin kau pulang ke rumah? Nanti dihajar lagi sama si Nusa." Farida tersenyum tipis. "Bagaimana aku tak pulang, Buk. Aku masih istri Uda Nusa. Lagipula Uda tak pulang seminggu ke depan." Buk Ratih menangkap awan mendung di wajah Farida. "Ke mana lagi dia?" Helaan napas berat terdengar dari bibir Farida yang mengelupas. "Uda Nusa menikah lagi, Buk. Tadi dia bilang mau ajak istri mudanya jalan-jalan ke Payakumbuh." Buk Ratih memejamkan mata. Meski Farida bercerita sambil tersenyum, tetapi dia tahu hati perempuan malang itu sedang menahan luka hati yang sangat berat. Begitulah lihainya keturunan Hawa. Walaupun sudah berderak patah, namun masih saja memperlihatkan mereka baik-baik saja. Seolah-olah manusia kuat tahan banting. Tak ada yang tahu sekerat daging perasa di balik tulang dada, sudah hancur berkeping-keping. "Aku turun dulu, Buk. Makasih banyak," ucap Farida. Dia tak menunggu jawaban Buk Ratih yang masih sibuk menenangkan hatinya. Farida yang berkubang lara, tetapi hatinya ikut merasa penderitaan perempuan tersebut. Baru beberapa langkah Farida menjauhi mobil Buk Ratih, seorang perempuan bertubuh subur menyongsongnya dengan tergesa-gesa "Oi, Farida. Tek Gadih membuang barang-barang kau keluar. Katanya sudah tak boleh lagi kau masuk ke kontrakan." Mata Farida melebar. Dia beristigfar atas cobaan yang datang bertubi-tubi dalam satu malam. Dia bergegas menuju ke kontrakan. Pengar di kepala hilang seketika, berganti dengan rasa cemas hendak tidur di mana malam ini. "Tek Gadih, kenapa semua barang-barangku dibuang?" tanya Farida lirih. Hatinya ngilu melihat pakaiannya terserak di teras rumah. "Kau pikir saja sendiri. Lima bulan tak bayar sewa, kau pikir aku bisa makan dengan kata sabar?!" "Aku pasti bayar, Tek. Tapi, sekarang belum ada uang. Berilah tenggang dua hari lagi." Farida merendahkan diri, seraya memunguti pakaiannya. "Sudah habis sabarku! Sekarang kau pergi sajalah. Tak usah kau bayar sewa yang lima bulan. Barang-barang kau kusita, kalau dijual tak cukup untuk membayar, maka akan kutagih lagi." Tek Gadih mengunci pintu kontrakan Farida dengan gembok baru, lalu meninggalkan si perempuan yang menahan tangis. Para tetangga yang menonton pertunjukan gratis tersebut, satu per satu membubarkan diri. Hanya ada beberapa tetangga sebelah rumah yang menatap prihatin. Ingin membantu, tetapi mereka sendiri kesusahan. Apalagi sejak pandemi melanda. Hidup seakan segan, mati tak mau. Farida mengumpulkan semua pakaiannya, lalu memasukkan ke dalam kantong plastik besar pemberian tetangga sebelah rumahnya. Mati-matian perempuan itu menahan cairan bening di matanya agar tak menetes, tak mau terlihat menyedihkan di depan semua orang. Dia mengemasi semuanya termasuk hati yang telah terluka parah. * Catki Muaro = aliran sungai yang berakhir ke laut. Kandang situmbin = penjara.Fatma tak bisa membendung air mata saat nama Farida bergaung di dalam auditorium sebagai salah satu mahasiswi yang diwisuda. Bukan hanya selesai tepat waktu, tetapi putrinya juga tercatat sebagai salah satu peraih nilai terbaik di angkatannya. Semua doa yang dilangitkan di setiap sujud, dibayar lunas oleh Allah dengan keberhasilan putrinya itu.Terbayang semua jerih payah Farida untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya masalah akademik, tetapi badai kehidupan yang tak jemu menghantam. Namun, semua mampu dilewati oleh putrinya itu dengan kesabaran. Fatma sangat salut dengan ketabahan Farida. Benar adanya, ujian demi ujian yang diberikan Tuhan bukan untuk melemahkan, tetapi menempa pribadi menjadi lebih baik agar mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar."Bunda ...." Suara Farida mengembalikan kesadaran Fatma yang melanglang buana ke masa lalu. Dia menoleh dan matanya menangkap sosok Farida telah berdiri di hadapan dengan memakai Toga. Senyum juga terulas di bibir sang
"Aku ndak nyangka kamu serendah itu?"Sorot mata Elia terlihat marah saat mengatakan kalimat tersebut. Beberapa saat yang lalu, dia menghampiri Farida di kantin. Untung saja keadaan tempat tersebut tidak terlalu ramai."Maksud kamu apa?" tanya Farida dengan dahi berkerut. Teh es yang dia pesan tak jadi diminum karena Elia telanjur menyerangnya."Kamu itu munafik, Farida! Kamu cuek aja pas aku bilang soal Pak dokter. Kamu juga seolah-olah tak tertarik, ternyata kamu main belakang."Dahi Farida berkerut. Dia mencoba mencerna ucapan Elia. "Maksud kamu aku main belakang?"Elia melemparkan beberapa foto ke atas meja. Farida membeku melihat lembaran foto yang di dalamnya ada dia dan Iman. Sepertinya foto itu diambil dua hari yang lalu, saat mereka keluar dan mampir di lapak penjual jagung."Lihat! Betapa murahannya kamu. Meluk Pak dokter segala. Kamu tau aku suka sama dia, trus kamu pake cara licik untuk mendapatkan perhatiannya. Benarkan?"Farida menganjur napas perlahan. Suara Elia sangat
Farida berkali-kali mengintip dari balik jendela. Dia menyingkap gorden putih penutup jendela dan melihat Iman sedang berdiri tepat di seberang jalan. Perempuan itu mendesis. Dia membaca kembali pesan yang dikirim si lelaki satu jam yang lalu. Farida pikir Iman sudah gila. Bagaimana tidak, dia mengajak, lebih tepat memaksanya menemani dokter muda itu ke suatu tempat. Belum sempat Farida menolak, Iman terlebih dahulu mengirimkan pesan susulan yang bertuliskan, jika menolak, maka lelaki tersebut akan datang menjemput langsung ke kos-an."Tinggal sepuluh menit lagi. Kalau kamu ndak datang, aku jemput ke kos-an."Mata Farida melebar membaca pesan yang baru masuk dari Iman. Dia kembali mengintip dan melihat si lelaki sedang tersenyum ke arahnya. Sepertinya sang dokter tahu sedang diintip."Mau ke mana? Kenapa harus ajak aku?"Farida mengirim pesan balasan kepada Iman."Nanti kamu bakal tahu. Ayo, di luar mulai dingin."Decak keras keluar dari bibir Farida. Dia berjalan menuju lemari, lal
Sepanjang perjalanan tak sepatah kata dua insan itu berbicara. Hanya suara merdu Ari Lasso membawakan tembang lawas dari grup band Dewa 19 yang berjudul 'Cinta'kan membawamu kembali' menemani keduanya membelah jalan raya di pagi hari. Iman sesekali mencuri pandang ke arah perempuan yang selalu tampak cantik di matanya. Lelaki itu terkadang menertawakan diri sendiri, mengapa bisa begitu bucin kepada Farida? Dia seperti menjelma menjadi sosok yang lain bila berhubungan dengan perempuan tersebut.Entah apa yang terjadi pada dirinya. Di otak Iman, hanya Farida dan Farida. Mungkin dia sudah terkena tulah dari ucapannya sendiri. Mengatakan perempuan itu tak pantas, tetapi justru sekarang dia yang mengejar-ngejar. Ingin memulai pembicaraan, tetapi lidahnya tak mampu bergerak, seolah-olah diimpit beban puluhan ton.Begitupun Farida. Sejak naik ke mobil Iman, dia menghindari bersitatap. Dia mencoba terlihat setenang mungkin, padahal jantungnya sudah seperti orang berparade di dalam sana. Dari
Hari demi hari dilalui Farida dengan belajar demi mengejar ketertinggalannya. Cuti selama satu semester membuatnya harus ekstra bekerja keras. Lagi pula hanya dengan cara itu dia bisa melupakan Iman. Lelaki itu masih terus menghantui ingatannya. Tak mudah melupakan apa yang terjadi di antara mereka. Kisah bersama Iman telah meninggalkan lubang besar di dada, menyarangkan luka serta kerinduan yang kerap membuatnya menangis sendirian di tengah malam. Kadang, bila rindu itu tak terbendung, dia menatap foto-foto saat masih bersama yang tersimpan di galeri teleponnya. Lalu dia akan tertidur dalam keadaan telepon masih menyala.Pagi ini, Farida tak terganggu sama sekali dengan celotehan teman-temannya, yang mengabarkan ada dosen baru yang akan masuk ke kelas mereka. Dia lebih suka membenamkan diri ke dalam diktat setebal 457 halaman. Dia juga tak peduli saat semua teman sekelasnya grasak-grusuk duduk di kursi masing-masing. Keadaan yang tadi riuh, mendadak sepi. Farida mengangkat pandangan
"Saya sangat senang melihat perkembangan Farida. Semangatnya untuk bisa berjalan normal, luar biasa," puji dr. Wahyu yang selama ini menangani Farida. Matanya sesekali mengamati si perempuan yang sedang duduk di ruang tunggu. Ruang kerjanya disekat kaca transparan, sehingga bisa melihat keadaan di sekitarnya.Pujian itu disambut Fatma dengan senyum lega. Memang, Farida selalu bersemangat setiap kali jadwal terapi. Dia berusaha mengerjakan instruksi yang disampaikan oleh dokter atau pun perawat. Meski awalnya terlihat sulit, seringpula melihat sang putri meneteskan air mata karena kepayahan dan sakit menerjang otot dan tulang kaki, tetapi Farida tak menyerah. Dia akan berhenti saat terapi tersebut selesai."Jadi putri saya bisa berjalan seperti biasa lagi, dok?" tanya Fatma bersemangat, karena selama ini Farida berjalan dengan menyeret kakinya."Kali ini saya berani menjamin. Dibutuhkan sekitar dua kali terapi lagi. Sekarang saja sudah terlihat perubahannya. Jadi, tak butuh waktu lama