"Dilra dan aku gak tinggal di sini, sementara ibu tinggal di sini dulu ya kami mau fokus punya momongan, lagi pula Dilra juga masih proses pemulihan, gak apa-apa ya Bu?”
Seketika raut ibu berubah sendu, netranya mulai mengembun, dalam keadaan seperti ini, sungguh menatap matanya hanya akan membuatku makin tak bisa mengambil keputusan, Bagaimana pun aku tak punya jalan lain untuk masalah ini, Dilra dan Ibu belum bisa disatukan. “Lihat Ibu Lang! Kenapa kamu gak mau lihat Ibu?”Kalau sudah begini tak mungkin untuk tak segera beralih menatapnya.“Kamu tega sama Ibu Lang?” bibir Ibu bergetar menahan getir.“Bukan begitu Bu, Galang cuma minta pengertian dari Ibu, umur Galang sudah enggak muda lagi, Dilra juga iya, kami masih ingin punya banyak momongan,” ucapku kala itu. Entah alasan apa lagi yang nantinya akan kusampaikan, demi tak menyinggung perasaannya.“Ibu yang mengurus kamu dari kecil, apa sal“Sayang plis bangun, hey sayang.”Aku mengguncang tubuh Dilra sedikit keras, tapi dia tak mau bangun juga.Hingga akhirnya aku mengusap air ke wajahnya, barulah Dilra terbangun."Mas? Kok sudah pulang?"Aku memeluk perempuan itu dengan erat."Astagfirrullah Dil, kamu kok susah banget dibangunlan."Bukannya menjawab Dilra malah menatap lurus ke arah pintu, lalu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, seakan dia tengah memeriksa keadaan sekitar.“Ini apa?” sekantung plastik putih berisi obat-obatan kudekatkan wajah Dilra.Dia masih tak mau menjawab.“Kamu masih rutin minum ini?”“Ibu ngomong apa sama kamu tadi Dil? Kalau kamu gak mau cerita, biar kutanyakan langsung pada Ibu.”Dilra dengan cepat melingkarkan tangannya ke pinggangku, mencoba mencegahku, yang sudah kepalang emosi, melihatnya yang sampai harus minum obat-obatan ini.“Biar Ibu aku suruh p
“Dil gak usah dipikirkan ya, soal omongan Ibu tadi.”“Ya, sudah biasa Mas, bahkan sejak dulu, makanya minta dibuatkan toilet di kamar, aku merasa enggak nyaman saja.”“Mulai besok biar Mas yang bantu mengeringkan rambut kamu, biar Ibu enggak iseng lagi sama kita, maaf ya, Ibu selalu saja bikin kamu enggak nyaman.”Meski wanita di hadapanku ini tersenyum, aku tahu dengan jelas, hatinya tidak begitu.“Besok aku paksa Ibu pulang, janji.”“Terserah.”Kau tahu artinya kata ini? Itu sama dengan iya.Wanita seringnya begitu, seolah-olah memberi pilihan tapi saat pilihannya jatuh tak sesuai dengan keinginannya, pasti timbul masalah baru, dan benar saja dia kembali ke kamar, lalu mendekati lemari.“Loh kok kamu beres-beres?”“Aku tahu Mas enggak bakal tega, bingung kan mah suruh ibu pergi pakai cara apa? Lebih baik aku dan Dion yang pergi dari sini.”&ld
“Jangan bilang kamu suruh Mas buat cari jodoh buat ibu.”“Kenapa enggak.”Aku sedikit terkekeh, memang tak salah, jika dipikirkan Ibu seakan menaruh cemburu tiap kali aku dan Dilra berdekatan.“Siapa ya yang cocok buat Ibu?”“Gak tahu Mas, tapi yang jelas harus laki-laki yang bisa membimbing Ibu ke jalan yang benar, harus punya dasar agama yang kuat.”“Kenapa kamu masih sebegitu peduli sama ibu, Dil?”“Aku pernah kehilangan orang tua Mas, rasanya gak bisa dijelaskan, apa lagi setelah tahu cerita tentang Ibu, yang di perlakukan enggak baik sama keluarga mertuanya, aku merasa nasibku sama dengan Ibu, tapi kalau suatu hari nanti kita punya menantu aku janji sama diriku sendiri, buat memperlakukan dia dengan baik.”“Harus sayang, jangan bikin anak kita harus memilih ibu atau istrinya, doakan aku panjang umur ya biar aku bisa tetap nafkahi seumur hidup kamu.”
"Bagaimana? Ibu saya sudah ketemu?”“Belum Mas.”“Kemungkinan pencarian dilanjut besok Mas, karena sudah larut malam juga.”“Apa enggak bisa dilanjut sampai ketemu Pak?”“Maaf Mas terlalu bahaya kalau kami tetap memaksa, besok kami akan kerahkan relawan lebih banyak lagi.”Kau tahu saat itu, tubuhku bergetar hebat, ketakutan luar biasa memenuhi isi kepala, ketakutan akan kehilangan sosoknya, benar kata Dilra seberapa pun dalamnya luka yang ditorehkan sejak dulu, dia hanya korban, korban ketidakadilan seseorang. Bagaimana mungkin seseorang mampu membahagiakan orang lain, kalau sekali pun dia belum pernah mengecapnya, bagaimana jiwa-jiwa yang memendam lara menahun dituntut, harus mampu bersikap adil, sedang seumur hidupnya akrab dengan begitu banyak ketidakadilan. Saat itu tubuhku luruh ke tanah, kau benar Dilra, semua dibayar tunai hari ini juga, dia orang yang tadi siang kubentak, telah
Luka itu belum sembuh, dia berbohong menutupi sendiri lagi seperti dulu, agar semuanya terlihat baik-baik saja, seringnya dia memikirkanku, ingin membuatku nyaman, untuk terus hidup berdampingan dengan Ibu, dia yang lebih memilih terluka seumur hidup sedang aku masih ragu, ragu untuk menyelamatkan hidupnya lagi dan lagi.~“Sayang kita pindah rumah lagi?”“Iya sayang, gak apa-apa ya, Mas bosen pengen cari pengalaman baru.”“Gak apa-apa sih, tapi kok ngedadak banget, Ibu Mia juga udah di kabarin, kalau kita mau pindahan?"Aku tersenyum padanya, jelas sengaja tak kubari mereka, kalau Ibu tahu bisa saja dia menyusul kita seperti dulu.“Udah.”“Sayang, soal urusan kerjaan aku bagaimana? Masih 2 minggu lagi.”“Kamu kerjakan dulu setelah itu baru kita pindah rumah.”“Iya sayang, terus Ibu kenapa gak pulang ke sini, dia masih di rumah sakit apa di mana?&r
Mia mengundangku untuk bergabung di siaran langsungnya hanya butuh persetujuan maka wajahku akan ikut muncul di layar ponselnya. “Abang doakan dari sini Dek.” Kuketikan pesan itu di kolom komentar, tinggal tekan tombol kirim, maka pesannya akan muncul, dan tentu Mia akan tahu, ini kali pertama setelah 3 bulan aku bertukar komentar dengannya. “Sayaaaang,” suara Dilra terdengar nyaring memanggilku. Aku hampir terperanjat, karenanya aku refleks menyembunyikan ponsel ke bawah bantal, Dilra juga terkejut, dia melempar tatapan heran melihat wajahku yang gugup. “Kenapa? Ada apa sih di hapenya Mas, sampai kaget begitu?” “Gak ada apa-apa sayang.” “Aku sama Dion udah siap loh dari tadi nungguin Mas gak turun-turun, katanya mau lari pagi, kasihan loh dia udah pakai sepatu segala.” “Iya sayang, ayo pergi sekarang.” Dilra tersenyum, senyum yang begitu hangat dan manis, senyum yang hampir tak pernah bisa kunikmati saat dia dengan keluargaku saling berbagi tempat tinggal. Hari ini aku
"Aku enggak mau jadi suami durhaka Dil.”“Lalu mau sampai kapan kita terus menjauhkan diri dari keluargamu Mas?”“Sampai kamu hamil.”“Ini?”Dilra tiba-tiba saja menunjukkan test pack garis dua, sontak saja membuatku terperanjat.Dia hamil, Dilraku hamil.Kurengkuh tubuhnya dengan erat, penantian yang cukup lama ini, akhirnya membuahkan hasil.“Jadi bagaimana Mas?”“Kita enggak akan pulang Dil, tolong jangan tanyakan hal itu pada Mas, biarkan Mas menikmati saat-saat bersamamu Dil, menikmati kehamilanmu,” ucapku sembari mengusap pelan perutnya yang datar.Tanpa sadar seutas senyum perlahan melengkung, menyadari di dalam sini, ada calon anakku.“Aku merasa berdosa dalam posisi seperti ini Mas.”“Aku yang l
Hidup selalu punya pilihan, ada yang memilih mengakhiri segalanya, memulai hidup baru entah dengan orang lain, atau tetap berdiri di atas kaki sendiri. Sebagian lagi memilih bertahan, meski terus diterpa badai juga luka, tekatnya tetap bulat, kokoh meski setiap hari, dinding pertahanannya makin rapuh, diterjang nestapa di segala penjuru.Tak ada batasan dalam bersabar, karena saat mencapai ambang batas maksimal, maka yang hadir hanya keputusasaan. Perkara mudah bagi Tuhan membolak-balikan hati manusia, apa lagi untuk hamba-hamba yang tak pernah lelah menengadahkan tangan, memohon di setiap sujudnya. Tak ada makhluk yang bisa mengubah takdir Sang Khalik, tapi dengan tetap berada di jalannya, maka semuanya akan terasa lebih mudah.~“Sudah sebulan Mas enggak pulang, sebenarnya ada apa? Apa semua baik-baik saja?”“Semua baik-baik saja sayang, Ibu sehat Mia juga sehat, enggak kurang apa pun.""Boleh aku bicara dengan Mia?”