Share

Bab 4

Author: Adora Anindita Keisha
Sesampainya di rumah, tak ada siapapun. Aku pun berdiri dan menggerakkan kaki-kakiku yang sudah lama tidak digunakan. Rasanya masih kaku.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah foto masuk.

Dalam foto itu, seorang perempuan mengenakan kostum kelinci sexy sedang menumpu tangannya di jendela besar. Bagian belakang bajunya terbuka, memperlihatkan lekuk pinggangnya yang indah.

Rambutnya terurai, matanya terlihat sayu. Di belakangnya, Willy berdiri telanjang, ototnya menegang, tangannya memegang pinggang perempuan itu, posisinya begitu intim.

Tak lama kemudian, sebuah rekaman suara menyusul. Dalam audio itu terdengar suara desahan perempuan dan erangan berat laki-laki, serta suara hentakan yang berirama.

Dengan napas terengah-engah, Anna berkata,

“Pak Willy, rumahnya baru saja direnovasi, jendelanya bisa kotor dibuat kita.”

Willy terkekeh pelan, suaranya terdengar rendah dan serak,

“Bukannya kamu yang suruh desainer pasang jendela besar ini? Biar aku bisa memuaskanmu di depan jendela.”

Rekaman berhenti di sana. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk.

“Maaf, aku salah kirim. Tapi, nggak masalah juga, Bu Joice juga nggak bisa dengar. Kalau kamu penasaran, aku bisa kirimkan versi subtitle untukmu.”

Aku pikir perasaanku pada Willy sudah mati. Tapi, melihat semua ini secara langsung tetap membuat air mataku mengalir deras, dadaku terasa nyeri seperti diremas.

Jadi, inikah rumah yang katanya akan kutinggali bersama dia seumur hidup? Aku bahkan belum sempat tinggal di sana, dia sudah membawa selingkuhannya masuk dan meninggalkan aroma mereka seolah menandai kepemilikan.

Aku kira semua detail desain rumah itu dibuat khusus demi kenyamananku. Ternyata, semua itu hanya untuk tempat mereka bersenang-senang.

Dengan mengatur napas, aku berusaha menahan rasa sakit di dada. Tanganku terangkat, menyeka air mata.

Telapak tanganku terasa dingin saat menyentuh wajah. Mataku tertuju pada cincin tunangan di jari manisku, cincin berlian dua karat.

Sejak Willy menyematkannya di jariku, aku tidak pernah melepaskannya. Dulu, aku bangga bisa menikah dengannya, sekarang semua itu terasa begitu menyakitkan.

Kulepaskan cincin itu dan melemparnya ke tempat sampah.

Dari sudut mata, aku melihat foto pernikahan kami tergantung di dinding. Kami berdua tersenyum penuh cinta. Semuanya palsu….

Aku mengambil gunting, memotong bagianku dalam foto itu, lalu merobeknya dan membuangnya ke toilet.

Malamnya, Willy tidak pulang. Dia hanya mengirim pesan mengajakku menghadiri acara bisnis keesokan malamnya.

Seperti biasa, dia mendorong kursi rodaku memasuki ruangan pesta, menuai pujian dari orang-orang yang mengaguminya karena kesetiaan pada tunangannya yang cacat.

Kini aku sadar, alasan dia membawaku ke acara-acara itu bukan karena tak ingin aku sendirian di rumah, tapi karena aku adalah alat pendukung citra pria sejati yang dia bangun.

Tak heran, setelah menempatkanku di meja makan, dia pun menghilang. Dari kejauhan, kulihat dia ditarik masuk ke kamar mandi oleh Anna.

Tak lama kemudian, sebuah audio kembali masuk ke ponselku. Kali ini terdengar suara desahan mereka di kamar mandi, disertai subtitle dari Anna.

“Pak Willy, tunanganmu di luar. Bisa repot kalau ketahuan.”

“Tunanganku memang di luar, tapi kesayanganku sedang ada di bawahku sekarang.”

Disusul dengan desahan yang lebih intens.

Beberapa saat kemudian, Willy dan Anna keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sedikit berantakan. Willy langsung bergabung dengan rekan bisnisnya, sementara Anna membawa segelas anggur ke arahku, dengan sengaja memperlihatkan bekas ciuman di lehernya.

Dia berdiri di depanku, lalu mengetik pesan di ponselnya dan menunjukkan padaku.

[Kali ini sudah ada subtitlenya, menarik ,‘kan? Bu Joice, Pak Willy itu mencintaiku. Kalau kamu masih punya harga diri, sebaiknya kamu mundur saja.]

Aku memalingkan wajah dan tak menghiraukannya. Diam-diam, aku menyimpan foto dan audio itu, lalu menginstruksikan seseorang untuk memasang kamera pengawas di rumah.

Anna, kalau kamu begitu suka berbagi rekamanmu, aku akan membantumu menyebarkannya.

Sejujurnya, acara pesta ini sangat membosankan. Melihat Willy masih terlihat ingin lanjut, aku pun bilang aku lelah dan ingin pulang.

Willy tampak mengernyit, tapi Anna segera menawarkan diri,

“Biar aku saja yang mengantar Joice pulang, sekalian aku mau mencari udara segar.”

Anna pun mendorong kursi rodaku keluar. Baru sampai di tengah jalan, sebuah mobil melaju ke arah kami.

Anna mundur selangkah. Mobil itu menghantam kursi rodaku, membuatku terjatuh. Kulit lenganku terseret di aspal dan terluka parah.

Mobil itu langsung kabur. Anna melangkah mendekat, menepuk-nepuk wajahku dan berbisik,

“Dasar nggak berguna.”

Tangannya menekan luka di bahuku, lalu mengoleskan darahnya ke wajah dan kakinya sendiri. Dia pun berbaring di dekatku.

Kepalaku terasa pening. Tak lama, Willy pun berlari menghampiri.

Dia panik melihat darah di tubuh Anna, segera menggendong dan membawanya ke mobil. Tak sekalipun dia menoleh ke arahku yang tergeletak pucat di lantai.

Aku melihat sosok Willy yang semakin jauh, Anna yang digendongnya sempat menoleh dan tersenyum mengejek.

Dia tak perlu berkata apa-apa, tapi aku sudah tahu maksudnya.

Willy sudah memilih dia, jadi dia menang.

Akhirnya, aku diantar sopir ke rumah sakit. Bahu dan pipiku luka parah karena terseret aspal. Butuh waktu lama untuk sembuh.

Saat membuka Tiktok, aku melihat postingan berupa foto Anna. Jari telunjuknya dibalut plester kecil. Captionnya berisi,

[Syukurlah kamu nggak apa-apa, aku janji nggak akan biarkan kamu terluka lagi.]

Aku sudah tak bisa menangis. Saat Willy mengkhawatirkan luka kecil di jari Anna, dia lupa bahwa wajah calon istri yang akan dia nikahi beberapa hari lagi hampir cacat.

Pesan dari Willy pun langsung masuk,

[Anna terluka. Dia karyawanku, jadi aku akan menemaninya di rumah sakit beberapa hari. Kamu istirahat di rumah saja. Kita bertemu di hari pernikahan nanti. Aku sayang kamu.]

Aku mengelus dada, rasanya sudah tidak terlalu sakit, hanya mati rasa. Aku pun membalas pesannya dengan datar,

[Iya, aku siapkan kejutan untukmu di pernikahan kita nanti.]

Willy tampak menantikan kejutan itu, tapi aku tak membalasnya lagi.

Mobil dari lembaga pemalsuan kematian sudah menunggu di depan rumah.

Aku menyerahkan satu USB berisi semua foto dan rekaman Willy dan Anna kepada mereka, dengan pesan untuk memutarnya di hari pernikahan.

Lalu, aku menyerahkan ponselku pada mereka, meminta mereka mengirimnya ke lokasi pernikahan bersama jasadku. Di dalamnya ada rekaman pesan terakhir yang kurekam sendiri.

Aku ingin Willy tahu, sebelum mati, aku mendengar jelas erangan dan bisikan mereka di luar.

Aku ingin dia menyesal seumur hidup.

Staf itu mengangguk, lalu menyerahkan KTP baru dan tiket pesawat padaku.

“Baik, Nona Ella. Kami akan menghapus semua jejak keberangkatanmu. Semoga hidup barumu akan bersinar.”

Aku mengenakan kacamata hitam, mobil pun melaju menuju bandara.

Vila milik Willy tampak semakin mengecil di kaca belakang. Di saat itulah, aku benar-benar merasa telah mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu.

Joice yang cacat itu sudah mati.

Kini, namaku Ella Kohl dan aku sedang memulai perjalanan hidupku yang baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Kutinggalkan   Bab 8

    Willy baru sadar dari koma setelah tujuh hari. Saat dia membuka mata, pemakamanku sudah lama selesai. Yang menunggunya hanyalah sebuah nisan batu yang dingin.Karena siaran langsung di hari pernikahan itu, seluruh dunia tahu soal perselingkuhannya. Seketika reputasi Grup Wilton pun hancur. Sahamnya anjlok dan dewan direksi pun sepakat menangguhkan jabatan Willy sebagai direktur.Setelah mendengar laporan dari sekretarisnya, Willy hanya mengangguk tanpa ekspresi. Kemudian, dia kembali duduk di depan makamku, memetik gitar dan menyanyikan lagu kesukaanku.Menjelang senja, dia pulang ke rumah, duduk di kursi kesukaanku, tempat aku dulu suka membaca buku sambil minum teh. Foto pernikahan kami yang dulu sudah kugunting menjadi dua, tetap digantung di kamar. Di bagian yang kosong, tempat seharusnya aku berdiri, dia melukis diriku dengan tangannya sendiri. Seolah dengan begitu, aku bisa terus menemaninya selamanya.Di laci nakas ranjangku, dia menemukan sebuah buku harian. Di sanalah aku me

  • Luka Yang Kutinggalkan   Bab 7

    Kepala pelayan mulai membubarkan kerumunan, menghalangi pandangan orang-orang yang masih ingin melihat. Kepala pengawal mendekat untuk menopang Willy berdiri.Namun, Willy menepis tangannya dan langsung menjatuhkan diri ke atas peti kristal. Dia mendorong tutup peti, tangannya yang gemetar menyentuh wajahku, tapi yang terasa hanyalah dingin yang menusuk.Dia melepas jasnya dan menutupi tubuhku, lalu mengusap wajahku dengan tangannya, air matanya menetes di pipiku.“Joice, kok kamu sedingin ini? Sini, kupakaikan baju yang hangat, biar nggak dingin. Ayo bangun, aku bawa kamu pulang. Joice, hari ini hari pernikahan kita. Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Kok kamu tega meninggalkanku sendirian?”Suaranya mulai bergetar di akhir kalimat.Seorang staf menghampirinya dan menyerahkan ponselku pada Willy, suaranya datar tanpa emosi.“Ini ponsel Nona Joice. Di dalamnya ada pesan terakhir untukmu.”Willy menatap layar, waktu rekaman menunjukkan pukul 10 malam, dua hari yang lalu.Saat itu, dia se

  • Luka Yang Kutinggalkan   Bab 6

    Layar menyala, menampilkan dua tubuh yang saling berpelukan di atas meja dapur, lalu berpindah ke sofa ruang tamu dan akhirnya ke depan jendela besar.Adegan itu pun tersiar langsung ke hadapan para penonton di siaran langsung. Jumlah penonton yang awalnya belasan ribu, langsung melonjak menjadi ratusan ribu.Willy yang paling cepat bereaksi, langsung membentak pembawa acara, “Matikan! Cepat matikan sekarang juga!”Pembawa acara hanya memutar file dari USB yang katanya dikirim oleh teman pengantin wanita, dia benar-benar tak tahu isinya. Begitu sadar telah membuat kesalahan besar, wajahnya langsung pucat dan panik mencoba mematikan video dari komputer. Tapi, bagaimanapun dia mencoba, video itu tak bisa dihentikan.Willy segera ikut ke depan komputer. Begitu melihat tak ada jalan lain, dia mencabut kabel listriknya langsung. Tapi, video tetap terus berjalan. Rupanya, daya layar itu berasal dari kabel lain yang tersembunyi di bawah tanah.Saat itu juga, kamera dalam video berpindah dari

  • Luka Yang Kutinggalkan   Bab 5

    Dua hari sebelum pernikahan, Willy dan Anna meninggalkan jejak-jejak penuh gairah di setiap sudut rumah baru.Saat sedang terbawa suasana, Anna memeluk Willy erat-erat dan bertanya padanya,“Kalau aku bisa membuatmu lebih bahagia, bolehkah aku menjadi istrimu?”Tak disangka, pria yang baru saja memeluk pinggang rampingnya dengan tatapan penuh hasrat, bahkan berjanji akan membelikan sebuah vila untuknya, tiba-tiba menghentikan gerakannya. Sorot matanya menjadi jernih dan dingin, memperingatkannya, “Anna, selama kamu nggak mengganggu Joice, aku bisa memanjakanmu sesukamu. Tapi, kamu harus tahu diri. Ada hal-hal yang bukan untukmu.”Wajah Anna sedikit memuram. Dia tak menyangka, setelah melayani Willy selama tiga tahun, dia tetap tak bisa menggantikan posisiku. Tapi, dia tahu caranya menyenangkan pria.Dia pun mengubah posisi, kini duduk mengangkangi pinggang tegap pria itu, suaranya manja dan menggoda. Tak butuh waktu lama sampai sorot mata Willy kembali dipenuhi nafsu dan suara-suara p

  • Luka Yang Kutinggalkan   Bab 4

    Sesampainya di rumah, tak ada siapapun. Aku pun berdiri dan menggerakkan kaki-kakiku yang sudah lama tidak digunakan. Rasanya masih kaku.Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah foto masuk.Dalam foto itu, seorang perempuan mengenakan kostum kelinci sexy sedang menumpu tangannya di jendela besar. Bagian belakang bajunya terbuka, memperlihatkan lekuk pinggangnya yang indah.Rambutnya terurai, matanya terlihat sayu. Di belakangnya, Willy berdiri telanjang, ototnya menegang, tangannya memegang pinggang perempuan itu, posisinya begitu intim.Tak lama kemudian, sebuah rekaman suara menyusul. Dalam audio itu terdengar suara desahan perempuan dan erangan berat laki-laki, serta suara hentakan yang berirama.Dengan napas terengah-engah, Anna berkata, “Pak Willy, rumahnya baru saja direnovasi, jendelanya bisa kotor dibuat kita.”Willy terkekeh pelan, suaranya terdengar rendah dan serak,“Bukannya kamu yang suruh desainer pasang jendela besar ini? Biar aku bisa memuaskanmu di depan jendela.”Rekam

  • Luka Yang Kutinggalkan   Bab 3

    Tak lama setelah aku berbaring di ranjang, tiba-tiba sepasang tangan besar memelukku dari belakang. Aku kaget dan langsung berusaha melepaskan diri, tapi orang di belakangku justru memeluk semakin erat. Orang itu Willy.Tubuhnya dipenuhi bau alkohol dan aroma parfum yang menyengat. Bau ini pernah kucium di tubuh Anna, baunya menjijikkan. Dia menggunakan bahasa isyarat dan berkata padaku, [Joice, hari ini pesta ulang tahunmu, kok kamu pergi sebelum potong kue? Kamu lagi nggak senang? Besok aku ajak kamu pergi lihat rumah baru kita, ya? Aku sudah beli dan renovasi. Setelah menikah, kita bisa tinggal di sana.]Usai mengatakannya, dia mencoba mendekat untuk menciumku, tapi aku menoleh ke arah lain.[Kamu yang atur saja, aku nggak mau pergi.]Willy tampak kaget dengan sikapku, dia kembali bertanya dengan isyarat tangannya,[Joice, kamu nggak mau menikah denganku?]Melihat ekspresi prihatinnya, sosok yang jauh dari kesan direktur dingin seperti biasanya. Kalau saja aku belum mendengar denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status