Beranda / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 2 — DINGIN YANG TAK PERNAH PADAM (POV Raka)

Share

BAB 2 — DINGIN YANG TAK PERNAH PADAM (POV Raka)

Penulis: Adeliaraaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 23:41:08

Sudah lima tahun berlalu, tapi kehadirannya masih terasa sama.

Wangi parfum lembut itu, cara dia menunduk saat bicara, bahkan suara langkahnya yang nyaris tanpa bunyi—semuanya seperti luka lama yang dibuka kembali tanpa izin.

Raka menatap layar laptop di depannya, tapi matanya kosong. Angka dan grafik di hadapan tidak lagi berarti apa-apa. Yang ia dengar hanya gema langkah Nira yang tadi meninggalkan ruangannya.

Ia memijit pelipisnya pelan.

"Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua hal ini selesai, kau justru kembali?"

Seharusnya ia sudah kebal. Ia sudah melewati tahun-tahun penuh kemarahan, penuh kebisuan, penuh dendam yang pelan-pelan ia rawat agar tidak mati. Tapi satu tatapan dari wanita itu—satu tatapan dengan mata yang dulu begitu ia cintai—dan semua pertahanannya runtuh begitu saja.

Raka berdiri, berjalan mendekati jendela besar yang menampilkan langit sore. Gedung-gedung tinggi berderet, tapi pikirannya melayang ke masa lalu.

Lima tahun lalu, ia berdiri di tempat yang sama, menunggu Nira datang untuk menjelaskan segalanya. Tapi wanita itu tak pernah muncul.

Yang tersisa hanya pesan singkat: “Maaf, aku harus pergi.”

Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan, tidak ada kejelasan apakah ia salah atau hanya tak cukup berharga untuk diperjuangkan.

Dan itu yang paling menghancurkan.

Kini, perempuan itu duduk di bawah komandonya—sebagai bawahannya, di ruang yang sama, di gedung yang sama. Ironi yang pahit.

Mungkin takdir memang punya cara aneh untuk bercanda.

Raka menghela napas panjang, lalu menekan bel interkom di mejanya.

“Yuna, panggilkan staf baru dari divisi pemasaran. Nira Adisti. Saya ingin laporan awalnya sekarang.”

Suara sekretarisnya terdengar dari balik speaker. “Baik, Pak Raka.”

Beberapa menit kemudian, pintu ruangannya kembali terbuka.

Dan seperti yang ia duga, Nira melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Ia menunduk sopan, berusaha tampak profesional.

“Laporan aktivitas hari ini, Pak,” katanya pelan sambil menyerahkan map berisi dokumen.

Raka mengambilnya tanpa bicara. Jari mereka hampir bersentuhan—dan sesaat, Nira menarik tangannya cepat, seolah tersengat sesuatu.

Ia bisa merasakan ketegangan di udara, tebal dan sunyi.

“Baik,” ujar Raka singkat, tanpa menatapnya. “Duduk.”

Nira menurut. Raka membuka map itu, berpura-pura menelaah isinya padahal pikirannya sama sekali tidak fokus.

Yang ia rasakan hanyalah kehadiran Nira di ruangan itu—terlalu dekat, terlalu nyata.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Tapi bagian laporan riset pasar ini terlalu umum. Aku ingin kau buat ulang. Lebih detail.”

“Baik, Pak.”

Suara Nira nyaris bergetar. Ia menatap ke bawah, menghindari pandangannya.

“Kau masih sama,” ujar Raka tiba-tiba.

Nira mendongak, bingung. “Maksudnya, Pak?”

“Masih mudah gugup saat ditekan.”

Nada suaranya terdengar tenang, tapi ada ironi yang jelas di sana.

Nira tersenyum canggung, mencoba profesional. “Saya hanya ingin bekerja dengan baik.”

Raka menatapnya lama. “Lima tahun lalu, kau juga bilang hal yang sama.”

Suasana ruangan langsung membeku. Tak ada suara selain dengungan pendingin ruangan.

Wajah Nira memucat, matanya gemetar.

“Pak Raka, saya—”

“Sudah.”

Raka memotongnya tajam. “Aku tidak tertarik membahas masa lalu.”

Padahal hatinya berkata sebaliknya.

Setiap kali ia menatap Nira, yang muncul bukan kemarahan—melainkan kehilangan.

Tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakuinya.

Ia mengembalikan map itu ke meja. “Kau boleh pergi.”

Nira berdiri pelan, lalu menunduk sopan sebelum keluar ruangan.

Begitu pintu tertutup, Raka melepaskan napas berat yang sejak tadi ia tahan.

Tangannya terangkat ke dada—tempat rasa sakit itu belum juga hilang.

Ia ingin percaya kalau dirinya sudah berubah menjadi orang yang dingin, tak peduli. Tapi setiap kali Nira muncul di hadapannya, tembok itu mulai retak sedikit demi sedikit.

Ia berjalan ke rak di sudut ruangan, mengambil sebuah bingkai foto lama yang selama ini ia sembunyikan di balik tumpukan dokumen.

Foto itu menampilkan dirinya dan Nira di tepi pantai, lima tahun lalu. Senyum mereka sama—tulus, bebas, bahagia.

Senyum yang kini terasa seperti dosa.

“Aku benci caramu membuatku ingat,” gumamnya pelan. “Tapi lebih aku benci karena aku masih peduli.”

Ia menatap foto itu lama, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula.

Sore semakin gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, dan bayangan Raka di jendela terlihat samar, seperti dua sosok yang berdiri berdampingan—dia dan masa lalunya.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa lelah.

Bukan karena pekerjaan, tapi karena seseorang yang pernah menjadi seluruh hidupnya kini duduk di meja seberang—terlalu dekat untuk dilupakan, tapi terlalu jauh untuk dimiliki lagi.

Dan Raka tahu, meski ia berusaha menghindar, pertemuan itu telah membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.

Pintu menuju masa lalu yang belum selesai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 28 – Fragmen yang Hilang

    Raka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   Bab 27 — Cermin Ketiga

    Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 26 — SUARA DARI BALIK GELAP

    Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 25 — Bayangan yang Tak Pernah Pergi

    Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 24 — BAYANGAN DI BALIK KACA

    Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 23 — BAYANGAN YANG TAK PERNAH PERGI

    Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status