Sudah lima tahun berlalu, tapi kehadirannya masih terasa sama.
Wangi parfum lembut itu, cara dia menunduk saat bicara, bahkan suara langkahnya yang nyaris tanpa bunyi—semuanya seperti luka lama yang dibuka kembali tanpa izin. Raka menatap layar laptop di depannya, tapi matanya kosong. Angka dan grafik di hadapan tidak lagi berarti apa-apa. Yang ia dengar hanya gema langkah Nira yang tadi meninggalkan ruangannya. Ia memijit pelipisnya pelan. "Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua hal ini selesai, kau justru kembali?" Seharusnya ia sudah kebal. Ia sudah melewati tahun-tahun penuh kemarahan, penuh kebisuan, penuh dendam yang pelan-pelan ia rawat agar tidak mati. Tapi satu tatapan dari wanita itu—satu tatapan dengan mata yang dulu begitu ia cintai—dan semua pertahanannya runtuh begitu saja. Raka berdiri, berjalan mendekati jendela besar yang menampilkan langit sore. Gedung-gedung tinggi berderet, tapi pikirannya melayang ke masa lalu. Lima tahun lalu, ia berdiri di tempat yang sama, menunggu Nira datang untuk menjelaskan segalanya. Tapi wanita itu tak pernah muncul. Yang tersisa hanya pesan singkat: “Maaf, aku harus pergi.” Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan, tidak ada kejelasan apakah ia salah atau hanya tak cukup berharga untuk diperjuangkan. Dan itu yang paling menghancurkan. Kini, perempuan itu duduk di bawah komandonya—sebagai bawahannya, di ruang yang sama, di gedung yang sama. Ironi yang pahit. Mungkin takdir memang punya cara aneh untuk bercanda. Raka menghela napas panjang, lalu menekan bel interkom di mejanya. “Yuna, panggilkan staf baru dari divisi pemasaran. Nira Adisti. Saya ingin laporan awalnya sekarang.” Suara sekretarisnya terdengar dari balik speaker. “Baik, Pak Raka.” Beberapa menit kemudian, pintu ruangannya kembali terbuka. Dan seperti yang ia duga, Nira melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Ia menunduk sopan, berusaha tampak profesional. “Laporan aktivitas hari ini, Pak,” katanya pelan sambil menyerahkan map berisi dokumen. Raka mengambilnya tanpa bicara. Jari mereka hampir bersentuhan—dan sesaat, Nira menarik tangannya cepat, seolah tersengat sesuatu. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, tebal dan sunyi. “Baik,” ujar Raka singkat, tanpa menatapnya. “Duduk.” Nira menurut. Raka membuka map itu, berpura-pura menelaah isinya padahal pikirannya sama sekali tidak fokus. Yang ia rasakan hanyalah kehadiran Nira di ruangan itu—terlalu dekat, terlalu nyata. “Bagus,” katanya akhirnya. “Tapi bagian laporan riset pasar ini terlalu umum. Aku ingin kau buat ulang. Lebih detail.” “Baik, Pak.” Suara Nira nyaris bergetar. Ia menatap ke bawah, menghindari pandangannya. “Kau masih sama,” ujar Raka tiba-tiba. Nira mendongak, bingung. “Maksudnya, Pak?” “Masih mudah gugup saat ditekan.” Nada suaranya terdengar tenang, tapi ada ironi yang jelas di sana. Nira tersenyum canggung, mencoba profesional. “Saya hanya ingin bekerja dengan baik.” Raka menatapnya lama. “Lima tahun lalu, kau juga bilang hal yang sama.” Suasana ruangan langsung membeku. Tak ada suara selain dengungan pendingin ruangan. Wajah Nira memucat, matanya gemetar. “Pak Raka, saya—” “Sudah.” Raka memotongnya tajam. “Aku tidak tertarik membahas masa lalu.” Padahal hatinya berkata sebaliknya. Setiap kali ia menatap Nira, yang muncul bukan kemarahan—melainkan kehilangan. Tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakuinya. Ia mengembalikan map itu ke meja. “Kau boleh pergi.” Nira berdiri pelan, lalu menunduk sopan sebelum keluar ruangan. Begitu pintu tertutup, Raka melepaskan napas berat yang sejak tadi ia tahan. Tangannya terangkat ke dada—tempat rasa sakit itu belum juga hilang. Ia ingin percaya kalau dirinya sudah berubah menjadi orang yang dingin, tak peduli. Tapi setiap kali Nira muncul di hadapannya, tembok itu mulai retak sedikit demi sedikit. Ia berjalan ke rak di sudut ruangan, mengambil sebuah bingkai foto lama yang selama ini ia sembunyikan di balik tumpukan dokumen. Foto itu menampilkan dirinya dan Nira di tepi pantai, lima tahun lalu. Senyum mereka sama—tulus, bebas, bahagia. Senyum yang kini terasa seperti dosa. “Aku benci caramu membuatku ingat,” gumamnya pelan. “Tapi lebih aku benci karena aku masih peduli.” Ia menatap foto itu lama, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Sore semakin gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, dan bayangan Raka di jendela terlihat samar, seperti dua sosok yang berdiri berdampingan—dia dan masa lalunya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa lelah. Bukan karena pekerjaan, tapi karena seseorang yang pernah menjadi seluruh hidupnya kini duduk di meja seberang—terlalu dekat untuk dilupakan, tapi terlalu jauh untuk dimiliki lagi. Dan Raka tahu, meski ia berusaha menghindar, pertemuan itu telah membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Pintu menuju masa lalu yang belum selesai.Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me
Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing
Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai
Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp
Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.