เข้าสู่ระบบPagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.
Ia tidak tidur semalaman. Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti. > “Aku pergi karena ibuku sakit.” “Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.” Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya. Dan nalurinya jarang salah. --- Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada desain yang harus dikumpulkan hari itu, tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar kejadian malam sebelumnya. Ia lega karena akhirnya berkata jujur pada Raka. Tapi kelegaan itu hanya sementara—karena masih ada satu hal besar yang belum ia ungkap. Hal yang, kalau sampai diketahui Raka, bisa menghancurkan segalanya. Ia menatap layar monitor kosong, lalu menunduk, memejamkan mata. > “Maaf, Bu… saya janji nggak akan biarkan dia tahu…” Suara itu berputar di kepalanya—janji lama yang masih mengikat. --- Sore harinya, Reza datang membawa beberapa berkas. “Bu Nira, ini hasil laporan tambahan dari tim cabang Bandung. Pak Raka minta tolong Anda yang periksa dulu.” Nira menerima map itu, tapi begitu melihat logo perusahaan yang tertera di pojok kanan atas, tubuhnya menegang. Nama perusahaan itu terlalu familiar. PT Adinata Group. Perusahaan yang dulu membiayai operasi ibunya. Perusahaan yang diam-diam ia datangi lima tahun lalu untuk mencari bantuan. Dan di balik semua itu… ada seseorang yang membuatnya menandatangani perjanjian yang sampai hari ini masih menghantui. Tangannya bergetar. Ia membuka lembar pertama laporan itu, dan di pojok bawah—sebuah tanda tangan membuat jantungnya hampir berhenti. Raka Adinata. Matanya melebar. “Tunggu…” bisiknya lirih. “Adinata…?” Baru kali itu ia benar-benar menyadari sesuatu. Nama keluarga Raka—Adinata. Dan nama perusahaan yang menolong ibunya… PT Adinata Group. Artinya… “Tidak mungkin…” ucapnya hampir tanpa suara. --- Sementara itu, di ruangannya, Raka menatap laptopnya dengan ekspresi keras. Ia baru saja menemukan hal yang membuat dadanya terasa sesak. Reza datang dengan wajah canggung. “Pak, ini data transfer lama dari PT Adinata Group tahun 2020. Sepertinya Bapak ingin melihat transaksi pribadi?” Raka hanya mengangguk. Ia tahu data itu—karena ia yang menandatangani sendiri transaksi itu lima tahun lalu. Dana ratusan juta rupiah yang dikirimkan diam-diam untuk membiayai operasi seorang wanita bernama Sulastri Pratama. Nama itu langsung menamparnya. > Sulastri… ibu Nira. Tangannya mengepal. Selama ini… uang itu memang sampai. Tapi kenapa Nira tidak pernah bilang? Kenapa ia memilih pergi dan membuatnya hidup dalam kebencian selama lima tahun? Ia berdiri, napasnya memburu. “Reza, panggil Nira ke ruangan saya. Sekarang.” --- Nira berjalan menuju ruangan Raka dengan langkah berat. Dadanya terasa sesak, pikirannya berputar cepat. Ia tahu Raka mungkin sudah tahu. Tapi bagaimana bisa? Dari mana? Begitu pintu terbuka, Raka berdiri di depan jendela, sama seperti malam sebelumnya. Hanya saja kali ini, tatapannya dingin… dan terluka. “Duduk,” katanya singkat. Nira menurut. Tangannya mengepal di pangkuan, menahan gemetar. Raka menatapnya tajam. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang bantu biaya operasi ibumu itu aku?” Dunia seolah berhenti. Nira menatap Raka, matanya melebar, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya mampu berbisik, “Kamu tahu…?” Raka mengangguk pelan, tapi tatapannya tajam seperti pisau. “Aku tahu semuanya. Aku yang bayar biaya itu. Tapi kamu pergi, Nir. Kamu pergi tanpa bilang apa-apa, bahkan setelah semua itu aku lakukan.” Air mata menggenang di mata Nira. “Aku… aku nggak tahu, Rak. Aku nggak tahu itu dari kamu! Yang aku tahu, ada orang dari Adinata Group datang dan bilang mereka mau bantu, asal aku tanda tangan perjanjian.” “Perjanjian apa?” tanya Raka cepat. Nira menunduk. “Kalau aku menerima bantuan itu, aku nggak boleh menghubungi kamu lagi. Katanya… kamu sendiri yang minta begitu.” Wajah Raka langsung berubah pucat. “Apa?” “Siapa yang bilang begitu?!” Nira menggigit bibirnya, menangis. “Aku nggak tahu… aku cuma mau ibu selamat. Aku pikir… mungkin kamu benar-benar pengin aku pergi.” Raka menatapnya lama, matanya merah karena emosi yang tertahan. “Nira, aku nggak pernah minta itu! Aku nggak pernah melarang kamu untuk datang ke aku!” Keheningan jatuh di antara mereka. Suara hujan di luar mulai turun lagi, seolah langit pun ikut menangis bersama mereka. Nira menutup wajahnya, bahunya bergetar. “Berarti selama ini… aku hidup dalam kebohongan.” Raka perlahan mendekat, suaranya lebih lembut sekarang. “Dan aku hidup dalam penyesalan.” Mereka terdiam lama. Nira menatap wajah Raka dari dekat—lelaki yang dulu ia cintai, yang kini berdiri di hadapannya dengan luka yang sama dalamnya. Namun sebelum salah satu sempat bicara lagi, ponsel Raka bergetar di meja. Sebuah pesan masuk. > “Berhenti gali masa lalu itu, Raka. Ada alasan kenapa perjanjian itu dibuat. Jangan libatkan dia lagi, kalau kamu masih sayang sama dia.” — Nomor tak dikenal. Raka membaca pesan itu dengan rahang mengeras. Nira menatapnya bingung. “Ada apa?” Raka menatap layar itu lama sebelum berkata dengan nada pelan tapi berbahaya, “Sepertinya, ada orang yang nggak mau kita tahu kebenaran sepenuhnya.” --- Malam itu, setelah Nira pulang, Raka duduk di ruangannya sendirian. Ia menatap layar ponsel, membaca ulang pesan itu. Kepalanya penuh pertanyaan, tapi satu hal pasti: ini belum berakhir. Ada tangan lain yang bermain di balik semua ini. Dan kali ini, ia bersumpah… ia tidak akan diam lagi. Bukan hanya demi cinta yang hilang, tapi demi kebenaran yang selama ini dikubur hidup-hidup.Raka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari
Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki
Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M
Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka
Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu
Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se







