Home / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 9 – KEBENARAN YANG DISEMBUNYIKAN

Share

BAB 9 – KEBENARAN YANG DISEMBUNYIKAN

Author: Adeliaraaa
last update Last Updated: 2025-10-13 12:06:27

Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.

Ia tidak tidur semalaman.

Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.

> “Aku pergi karena ibuku sakit.”

“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”

Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.

Dan nalurinya jarang salah.

---

Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada desain yang harus dikumpulkan hari itu, tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar kejadian malam sebelumnya.

Ia lega karena akhirnya berkata jujur pada Raka. Tapi kelegaan itu hanya sementara—karena masih ada satu hal besar yang belum ia ungkap.

Hal yang, kalau sampai diketahui Raka, bisa menghancurkan segalanya.

Ia menatap layar monitor kosong, lalu menunduk, memejamkan mata.

> “Maaf, Bu… saya janji nggak akan biarkan dia tahu…”

Suara itu berputar di kepalanya—janji lama yang masih mengikat.

---

Sore harinya, Reza datang membawa beberapa berkas.

“Bu Nira, ini hasil laporan tambahan dari tim cabang Bandung. Pak Raka minta tolong Anda yang periksa dulu.”

Nira menerima map itu, tapi begitu melihat logo perusahaan yang tertera di pojok kanan atas, tubuhnya menegang.

Nama perusahaan itu terlalu familiar.

PT Adinata Group.

Perusahaan yang dulu membiayai operasi ibunya.

Perusahaan yang diam-diam ia datangi lima tahun lalu untuk mencari bantuan.

Dan di balik semua itu… ada seseorang yang membuatnya menandatangani perjanjian yang sampai hari ini masih menghantui.

Tangannya bergetar. Ia membuka lembar pertama laporan itu, dan di pojok bawah—sebuah tanda tangan membuat jantungnya hampir berhenti.

Raka Adinata.

Matanya melebar. “Tunggu…” bisiknya lirih. “Adinata…?”

Baru kali itu ia benar-benar menyadari sesuatu.

Nama keluarga Raka—Adinata.

Dan nama perusahaan yang menolong ibunya… PT Adinata Group.

Artinya…

“Tidak mungkin…” ucapnya hampir tanpa suara.

---

Sementara itu, di ruangannya, Raka menatap laptopnya dengan ekspresi keras.

Ia baru saja menemukan hal yang membuat dadanya terasa sesak.

Reza datang dengan wajah canggung. “Pak, ini data transfer lama dari PT Adinata Group tahun 2020. Sepertinya Bapak ingin melihat transaksi pribadi?”

Raka hanya mengangguk.

Ia tahu data itu—karena ia yang menandatangani sendiri transaksi itu lima tahun lalu.

Dana ratusan juta rupiah yang dikirimkan diam-diam untuk membiayai operasi seorang wanita bernama Sulastri Pratama.

Nama itu langsung menamparnya.

> Sulastri… ibu Nira.

Tangannya mengepal. Selama ini… uang itu memang sampai. Tapi kenapa Nira tidak pernah bilang? Kenapa ia memilih pergi dan membuatnya hidup dalam kebencian selama lima tahun?

Ia berdiri, napasnya memburu. “Reza, panggil Nira ke ruangan saya. Sekarang.”

---

Nira berjalan menuju ruangan Raka dengan langkah berat.

Dadanya terasa sesak, pikirannya berputar cepat.

Ia tahu Raka mungkin sudah tahu. Tapi bagaimana bisa? Dari mana?

Begitu pintu terbuka, Raka berdiri di depan jendela, sama seperti malam sebelumnya. Hanya saja kali ini, tatapannya dingin… dan terluka.

“Duduk,” katanya singkat.

Nira menurut. Tangannya mengepal di pangkuan, menahan gemetar.

Raka menatapnya tajam. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang bantu biaya operasi ibumu itu aku?”

Dunia seolah berhenti.

Nira menatap Raka, matanya melebar, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

Ia hanya mampu berbisik, “Kamu tahu…?”

Raka mengangguk pelan, tapi tatapannya tajam seperti pisau. “Aku tahu semuanya. Aku yang bayar biaya itu. Tapi kamu pergi, Nir. Kamu pergi tanpa bilang apa-apa, bahkan setelah semua itu aku lakukan.”

Air mata menggenang di mata Nira. “Aku… aku nggak tahu, Rak. Aku nggak tahu itu dari kamu! Yang aku tahu, ada orang dari Adinata Group datang dan bilang mereka mau bantu, asal aku tanda tangan perjanjian.”

“Perjanjian apa?” tanya Raka cepat.

Nira menunduk. “Kalau aku menerima bantuan itu, aku nggak boleh menghubungi kamu lagi. Katanya… kamu sendiri yang minta begitu.”

Wajah Raka langsung berubah pucat. “Apa?”

“Siapa yang bilang begitu?!”

Nira menggigit bibirnya, menangis. “Aku nggak tahu… aku cuma mau ibu selamat. Aku pikir… mungkin kamu benar-benar pengin aku pergi.”

Raka menatapnya lama, matanya merah karena emosi yang tertahan.

“Nira, aku nggak pernah minta itu! Aku nggak pernah melarang kamu untuk datang ke aku!”

Keheningan jatuh di antara mereka.

Suara hujan di luar mulai turun lagi, seolah langit pun ikut menangis bersama mereka.

Nira menutup wajahnya, bahunya bergetar. “Berarti selama ini… aku hidup dalam kebohongan.”

Raka perlahan mendekat, suaranya lebih lembut sekarang. “Dan aku hidup dalam penyesalan.”

Mereka terdiam lama.

Nira menatap wajah Raka dari dekat—lelaki yang dulu ia cintai, yang kini berdiri di hadapannya dengan luka yang sama dalamnya.

Namun sebelum salah satu sempat bicara lagi, ponsel Raka bergetar di meja. Sebuah pesan masuk.

> “Berhenti gali masa lalu itu, Raka. Ada alasan kenapa perjanjian itu dibuat. Jangan libatkan dia lagi, kalau kamu masih sayang sama dia.”

— Nomor tak dikenal.

Raka membaca pesan itu dengan rahang mengeras.

Nira menatapnya bingung. “Ada apa?”

Raka menatap layar itu lama sebelum berkata dengan nada pelan tapi berbahaya,

“Sepertinya, ada orang yang nggak mau kita tahu kebenaran sepenuhnya.”

---

Malam itu, setelah Nira pulang, Raka duduk di ruangannya sendirian.

Ia menatap layar ponsel, membaca ulang pesan itu.

Kepalanya penuh pertanyaan, tapi satu hal pasti: ini belum berakhir.

Ada tangan lain yang bermain di balik semua ini.

Dan kali ini, ia bersumpah… ia tidak akan diam lagi.

Bukan hanya demi cinta yang hilang, tapi demi kebenaran yang selama ini dikubur hidup-hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 9 – KEBENARAN YANG DISEMBUNYIKAN

    Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 8 – ALASAN YANG TAK TERUCAP

    Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 7 – LUKA YANG BELUM SEMBUH

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 6 – KEBENARAN YANG TERTUNDA

    Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 5 – PERTEMUAN YANG TIDAK DIINGINKAN

    Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 4 – RAHASIA YANG TAK PERNAH USAI

    Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status