Share

Bab 7

Author: Novi R
last update Last Updated: 2025-11-10 15:02:47

"DI MANA ANAKKU?!”

Jeritan itu menggema di seluruh lorong rumah sakit.

Anggi terbangun dari koma dengan napas terengah, tubuhnya lemah, selang oksigen menghalangi geraknya. Namun tatapan matanya tajam—penuh kepanikan liar. Ia mencoba bangkit dari ranjang, tapi rasa sakit di perut akibat operasi membuatnya meringis.

Perawat menahan bahunya.

“Ibu belum boleh bangun, jahitannya baru—”

“Aku mau anakku! Sekarang!”

Pintu kamar terbuka. Raka masuk tergesa.

“Anggi, kamu bangun… puji Tuhan.” Ia mendekat, hendak memegang tangan Anggi.

Namun Anggi menepisnya dengan sisa tenaga.

“Mana anakku, Raka? Aku dengar alarm NICU barusan. Kenapa kamu tidak ada di sana?!”

Pertanyaan itu menghantam dada Raka seperti pisau. Ia menunduk, tak sanggup menatap Anggi.

“Bayi kita… sedang kritis.”

Anggi terdiam sejenak. Dunia seolah membeku. Tubuhnya menjadi dingin—dingin yang menusuk jantung.

“Aku harus ke sana.” Ia mencoba bangun lagi.

Raka menahan. “Anggi, kamu baru sadar. Kamu masih—”

“AKU IBU NYA!” Anggi berter
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Luka di Ujung Senja   Bab 51

    Pernikahan tidak mengubah ritme hidup secara drastis. Tidak ada bulan madu panjang, tidak ada rumah baru yang langsung terasa sempurna. Anggi tetap bangun pagi untuk menyiapkan Rafa, tetap mengecek email kantor sebelum matahari benar-benar naik. Rendra tetap menyesap kopi dengan kebiasaan lamanya, hanya kini ada dua cangkir di meja. Yang berubah adalah kesadaran: mereka tidak lagi berjalan sejajar tanpa ikatan. Kini langkah mereka saling terkait. Dan keterikatan itu, pelan-pelan, menguji batas. Suatu sore, Anggi pulang lebih lambat dari biasanya. Rapat molor, klien meminta revisi mendadak. Ketika ia sampai rumah, Rafa sudah tertidur. Rendra menunggunya di ruang tamu, lampu temaram. “Kamu belum makan,” kata Rendra. “Aku nggak lapar,” jawab Anggi sambil melepas sepatu. Nada suaranya datar. Terlalu datar. Rendra memperhatikannya. “Kamu capek.” Anggi mengangguk, tapi tidak duduk. Ia mondar-mandir kecil, lalu berhenti. “Ren… aku takut kehilangan diriku lagi.” Kalimat itu jatuh ti

  • Luka di Ujung Senja   Bab 50

    Enam bulan setelah promosi itu, hidup Anggi terasa penuh. Terlalu penuh, jika ia jujur pada dirinya sendiri. Pagi dimulai lebih awal, malam berakhir lebih larut. Ada rapat yang tak bisa ditunda, ada tugas sekolah Rafa yang harus diperiksa, ada kontrol dokter yang menuntut perhatian penuh. Di sela-selanya, ada Rendra—hadir tanpa meminta, membantu tanpa menghitung. Anggi mulai belajar satu hal yang dulu ia anggap kelemahan: meminta bantuan. Namun ada satu keputusan yang terus ia tunda. Pernikahan. Bukan karena Rendra mendesak. Justru karena ia tidak pernah mendesak sama sekali. Dan diam itu membuat Anggi harus berhadapan dengan suaranya sendiri. Suatu malam, saat hujan turun tipis, Anggi berkata tiba-tiba, “Rendra… kamu pernah ingin menikah lagi?” Pertanyaan itu menggantung di ruang tamu kecil mereka. Rendra menatap Anggi, tidak terkejut. “Pernah. Tapi bukan karena status. Karena ingin pulang ke orang yang sama.” Anggi menunduk. “Aku takut.” “Apa yang paling kamu takutkan?” tan

  • Luka di Ujung Senja   Bab 49

    Keberanian yang tenang itu tidak datang sebagai sesuatu yang selalu terasa kuat. Kadang ia hadir justru sebagai kelelahan yang diterima, bukan dilawan. Anggi belajar itu pelan-pelan, setelah operasi Rafa, setelah malam-malam panjang di rumah sakit berubah menjadi rutinitas kontrol dan obat-obatan kecil yang harus diminum tepat waktu. Hidup tidak kembali “normal”. Ia menjadi versi baru dari normal—lebih rapuh, tapi juga lebih jujur. Rafa kembali ke sekolah dengan jadwal terbatas. Ia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh ikut olahraga berat. Anak itu menerima semua larangan dengan kedewasaan yang membuat Anggi sering menoleh diam-diam, menahan rasa bersalah. Suatu sore, Rafa pulang dengan wajah murung. “Teman-teman latihan bola,” katanya pelan. “Aku cuma nonton.” Anggi jongkok di depannya. “Kamu sedih?” Rafa mengangguk. “Sedikit. Tapi aku juga senang… soalnya aku masih ada.” Kalimat itu membuat napas Anggi tersendat. “Ibu minta maaf,” ucapnya lirih, refleks lama yang masih ters

  • Luka di Ujung Senja   Bab 48

    Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. K

  • Luka di Ujung Senja   Bab 47

    Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. Ke

  • Luka di Ujung Senja   Bab 46

    Anggi mulai merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan perubahan besar yang bisa ditunjuk dengan jari, melainkan pergeseran halus di dalam dada. Ia lebih sering tertawa—bukan karena terhibur, tapi karena merasa aman. Ia mulai bercerita tanpa merasa harus menyensor setiap kalimat. Dan yang paling mengejutkan: ia tidak lagi merasa bersalah ketika bahagia. Namun justru di titik itulah ketakutan lama menyelinap. Suatu malam, setelah Rafa tertidur, Anggi duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rendra baru saja pulang setelah mengantar mereka makan malam. Tidak ada yang salah dengan malam itu—dan itulah yang membuat Anggi gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Rendra sebelum pamit, seolah membaca raut wajahnya. “Tidak apa-apa,” jawab Anggi refleks. Kebohongan kecil itu menggantung di udara. Setelah pintu tertutup, Anggi memejamkan mata. Ia mengenali perasaan ini. Ketika semuanya mulai terasa baik, otaknya mencari ancaman. Seolah kebahagiaan selalu harus dibayar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status