共有

Bab 6

作者: Novi R
last update 最終更新日: 2025-11-10 12:06:29

Bip.

Bip.

Bip.

Lalu… sunyi.

Hanya suara mesin ventilator yang mendorong napas untuk bayi mungil di inkubator. Ruang NICU dingin seperti ruang antara dunia dan kematian.

Raka berdiri tepat di depan kaca transparan, menatap tubuh kecil itu. Tubuh bayi perempuan yang belum pernah sekalipun merasakan pelukan ibunya.

Tiba-tiba alarm berbunyi keras.

“Detak jantung turun!”

Dua perawat berlari masuk, mendorong dokter yang menyusul dari belakang. Raka terlonjak, napasnya tercekat.

“Dok?! Apa yang terjadi?!”

“Bayi mengalami henti napas sesaat!”

Raka memukul kaca, putus asa. “Lakukan sesuatu! Tolong selamatkan dia!”

Ardi baru muncul di pintu NICU, wajahnya kaget melihat keributan. Ia melangkah mendekat, tapi tubuhnya seakan memberat.

Raka ingin berlari masuk, tapi perawat menahan dadanya.

“Tidak boleh masuk. Harap tunggu di luar.”

Raka meronta. “Itu anakku!”

Ardi menahan lengan Raka. “Bukan. Itu anak Anggi.”

Suara itu mematikannya.

Mata Raka menyala penuh amarah.

“Kalau kamu tidak peduli, mundur!”

Ardi menatap bayi itu dari kaca. Ada sesuatu di matanya—bukan cinta, bukan juga peduli. Lebih seperti rasa takut kehilangan kendali. Kehilangan bukti bahwa ia masih berarti dalam hidup seseorang.

Dokter melakukan penekanan kecil di dada bayi.

“Inkubasi ulang, tingkat oksigen naikkan!”

Bayi kecil itu tidak bergerak.

SATU JAM KEMUDIAN

Raka duduk menunduk di bangku lorong, tangan menutupi wajah. Hujan di luar jatuh deras. Semua orang di lorong bergerak, tapi ia merasa seperti tenggelam.

Ardi berdiri tak jauh, menyandar pada tembok. Dari tadi ia hanya diam, tapi sorot matanya gelap dan berkecamuk.

Dokter keluar dari NICU.

Keduanya serempak berdiri.

Dokter melepas masker. “Bayi stabil sementara. Tapi… kondisi tidak banyak berubah. Kami sudah melakukan sebanyak yang kami bisa.”

Raka hampir menangis lega. “Dia hidup, kan?”

Dokter menatap mereka satu per satu. “Kondisinya kritis. Kalau tidak ada respons sampai 12 jam ke depan, kami harus mengambil keputusan.”

“Keputusan apa?” suara Raka bergetar.

Dokter menatap lurus.

“Apakah akan melanjutkan bantuan hidup… atau menghentikannya.”

Lorong terasa runtuh.

Raka mundur selangkah. “Tidak. Kami tidak akan menyerah.”

Ardi mengencangkan rahangnya. “Aku yang tanda tangan untuk tetap melanjutkan.”

Dokter menggeleng. “Keputusan seperti ini harus berdasarkan siapa yang menjadi wali resmi. Status bayi… belum jelas.”

Raka membeku. Ardi menatap dokter seperti mendapat kesempatan.

“Kalau begitu, aku. Aku ayah biologisnya.”

Dokter mengangguk. “Kami butuh bukti legal. Kalau tidak, salah satu dari kalian harus melalui tes DNA.”

Ardi menyipitkan mata. “Aku tidak mau.”

“Jadi kamu ingin bayi itu mati tanpa tahu siapa walinya?” Raka menantang.

Ardi berpaling, seakan kata-kata Raka adalah pukulan telak.

Dokter meninggalkan mereka untuk kembali memantau bayi.

Hening.

Lalu Raka berbisik pelan, tapi menancap tajam:

“Seumur hidupmu, kamu selalu membuat keputusan atas nama orang lain. Untuk pertama kalinya… buat keputusan yang bukan tentang egomu.”

Ardi tidak membalas.

Ia pergi, meninggalkan lorong.

KAMAR RAWAT ANGGI — beberapa jam kemudian.

Lampu temaram. Monitor berdetak pelan.

Anggi masih tak sadarkan diri.

Raka duduk di sampingnya, menggenggam jejari Anggi yang dingin. Rambutnya kusut, matanya merah karena kurang tidur.

“Sayang…” suaranya pecah. “Kalau kamu bisa dengar aku… bayi kita berjuang sendirian.”

Dia menunduk, keningnya hampir menyentuh punggung tangan Anggi.

“Aku tidak peduli kamu memilih aku atau tidak nantinya. Aku hanya… ingin kamu bangun.”

Mata Anggi tetap terpejam. Hanya suara monitor yang bergerak.

Bip… bip… bip…

Raka mengusap pipi Anggi yang pucat. “Tolong bangun. Anakmu butuh kamu.”

Pintu terbuka pelan.

Ardi masuk.

Raka menegakkan tubuhnya, waspada. “Apa maumu?”

Ardi tidak menjawab. Ia berjalan mendekati ranjang Anggi, berdiri di sisi lain, menatap wajah perempuan yang dulu pernah ia sakiti, dan tetap ia biarkan terluka.

Untuk pertama kalinya, suara Ardi lirih. “Dia kelihatan… sangat lemah.”

Raka mengeras. “Kalau kamu datang cuma untuk menyalahkan—keluar.”

Ardi menarik kursi dan duduk. Ia menatap Anggi lama, seolah ingin mencari sesuatu pada wajah itu—sesuatu yang dulu pernah ia miliki.

“Aku tahu kamu pikir aku tidak peduli,” suaranya serak, “tapi aku tidak siap kehilangan apa pun yang masih tersisa dariku.”

“Kamu tidak kehilangan apa pun,” Raka membalas dingin, “karena kamu tidak pernah benar-benar punya Anggi.”

Ardi terdiam. Untuk pertama kali, Raka melihat Ardi tidak marah. Justru—hancur.

“Aku… takut,” Ardi mengaku pelan.

Raka tidak bereaksi.

“Aku takut anak itu lahir… dan aku tidak pernah menjadi apa-apa bagi dia.”

Ardi menunduk. “Takut jadi ayah yang tidak diinginkan.”

Raka tidak menyangka itu akan keluar dari mulut Ardi.

“Kamu benar.” Raka menatap Anggi. “Anggi tidak menginginkanmu.”

“Tapi bayi itu mungkin tetap butuh ayah.”

Ardi terdiam. Kata-kata Raka menghantamnya pelan tapi telak.

Ardi berdiri, menatap Anggi sekali lagi.

“Aku akan tanda tangan untuk melanjutkan bantuan hidupnya.”

Raka langsung berdiri. “Benarkah?”

Ardi menatap Raka dengan sorot yang lelah. “Ini bukan tentang aku. Bukan tentang kamu. Ini tentang anak itu.”

Raka mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, mereka berdiri di sisi yang sama.

Ardi melangkah menuju pintu. Tapi sebelum benar-benar keluar—

Pintu NICU yang berada di seberang lorong terbuka dengan tergesa-gesa.

Perawat muncul, napas terengah.

“Pak! Pak Ardi! Pak Raka!”

Mereka berdua menoleh bersamaan.

Air muka perawat berubah pucat.

“Bayi mengalami henti napas total lagi! Dokter meminta wali untuk datang sekarang!”

Raka membeku.

Ardi memucat.

Perawat menambahkan, suara bergetar:

“Dokter bilang… kali ini mungkin menjadi kesempatan terakhir.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Luka di Ujung Senja   Bab 7

    "DI MANA ANAKKU?!”Jeritan itu menggema di seluruh lorong rumah sakit.Anggi terbangun dari koma dengan napas terengah, tubuhnya lemah, selang oksigen menghalangi geraknya. Namun tatapan matanya tajam—penuh kepanikan liar. Ia mencoba bangkit dari ranjang, tapi rasa sakit di perut akibat operasi membuatnya meringis.Perawat menahan bahunya.“Ibu belum boleh bangun, jahitannya baru—”“Aku mau anakku! Sekarang!”Pintu kamar terbuka. Raka masuk tergesa.“Anggi, kamu bangun… puji Tuhan.” Ia mendekat, hendak memegang tangan Anggi.Namun Anggi menepisnya dengan sisa tenaga.“Mana anakku, Raka? Aku dengar alarm NICU barusan. Kenapa kamu tidak ada di sana?!”Pertanyaan itu menghantam dada Raka seperti pisau. Ia menunduk, tak sanggup menatap Anggi.“Bayi kita… sedang kritis.”Anggi terdiam sejenak. Dunia seolah membeku. Tubuhnya menjadi dingin—dingin yang menusuk jantung.“Aku harus ke sana.” Ia mencoba bangun lagi.Raka menahan. “Anggi, kamu baru sadar. Kamu masih—”“AKU IBU NYA!” Anggi berter

  • Luka di Ujung Senja   Bab 6

    Bip.Bip.Bip.Lalu… sunyi.Hanya suara mesin ventilator yang mendorong napas untuk bayi mungil di inkubator. Ruang NICU dingin seperti ruang antara dunia dan kematian.Raka berdiri tepat di depan kaca transparan, menatap tubuh kecil itu. Tubuh bayi perempuan yang belum pernah sekalipun merasakan pelukan ibunya.Tiba-tiba alarm berbunyi keras.“Detak jantung turun!”Dua perawat berlari masuk, mendorong dokter yang menyusul dari belakang. Raka terlonjak, napasnya tercekat.“Dok?! Apa yang terjadi?!”“Bayi mengalami henti napas sesaat!”Raka memukul kaca, putus asa. “Lakukan sesuatu! Tolong selamatkan dia!”Ardi baru muncul di pintu NICU, wajahnya kaget melihat keributan. Ia melangkah mendekat, tapi tubuhnya seakan memberat.Raka ingin berlari masuk, tapi perawat menahan dadanya.“Tidak boleh masuk. Harap tunggu di luar.”Raka meronta. “Itu anakku!”Ardi menahan lengan Raka. “Bukan. Itu anak Anggi.”Suara itu mematikannya.Mata Raka menyala penuh amarah.“Kalau kamu tidak peduli, mundur

  • Luka di Ujung Senja   Bab 5

    Bip. Bip. Bip— BIP BIP BIP!!! Alarm monitor detak jantung bayi memekik dari balik pintu ruang tindakan. Suaranya tajam, menusuk, seakan menyayat udara penuh ketegangan. “Tekanan darah ibu turun!” teriak dokter dari dalam. Raka terpaku. Tubuhnya kaku seperti batu. Yang bisa ia lakukan hanya menatap pintu putih itu, berharap Anggi mendengarnya dari balik dinding besi. Bertahan, Anggi. Tolong bertahan. Ardi berdiri di ujung lorong rumah sakit, basah oleh hujan dan kemarahan. Tatapannya terfokus pada lampu “EMERGENCY SURGERY” yang terus berkedip. Raka tak tahan lagi. “Apa kamu puas sekarang?” suaranya serak. “Jika sesuatu terjadi pada Anggi atau bayinya… itu salahmu.” Ardi tidak menoleh. “Aku tidak memintanya lari.” Raka maju dan mendorong Ardi sampai punggungnya membentur dinding. “Kamu tidak pernah memberi dia pilihan!” Perawat muncul terburu-buru dari ruang tindakan. “Siapa keluarga pasien Anggi Pramesti?” Raka dan Ardi menjawab bersamaan: “Aku!” Perawat menatap keduan

  • Luka di Ujung Senja   Bab 4

    Air ketuban mengalir membasahi kaki Anggi. Di tengah hujan, lampu neon dari klub memantulkan warna merah seperti darah yang tersebar di atas trotoar. Tubuh Anggi gemetar hebat, tangan meremas lengan Raka seperti pegangan terakhir sebelum dunia runtuh. “Rak… tolong… sakit…” Suaranya lirih, terputus-putus. Raka langsung menunduk, wajahnya pucat. “Anggi, ini terlalu cepat. Kamu baru tujuh bulan…” Anggi menahan napas. Gelombang nyeri mencengkram bagian bawah perutnya, memaksa tubuhnya membungkuk. “Aku nggak siap… Rak… bayinya terlalu kecil.” Raka mengangkat Anggi, setengah memeluk, setengah menopang. Nafasnya terburu-buru, panik namun berusaha tenang. “Aku bawa kamu ke rumah sakit sekarang.” Anggi menggeleng lemah. “Uangku… kita nggak punya biaya…” “Aku nggak peduli soal biaya!” Raka hampir membentak. “Yang penting kamu dan bayinya selamat.” Raka menggendong Anggi menuju motor, hujan semakin deras seperti menertawakan keadaan mereka. Tetapi tepat saat ia hendak menghidupkan mes

  • Luka di Ujung Senja   Bab 3

    Hujan semakin deras ketika pintu mobil hitam itu terbuka. Ardi melangkah keluar—jas mahal, rambut rapi, aroma parfum mahal yang dulu Anggi hafal. Cahaya lampu parkiran memantulkan wajah yang pernah ia cintai selama tujuh tahun. Wajah yang kini terasa seperti mimpi buruk. Raka berdiri refleks di depan Anggi, melindungi. “Pergi,” suara Ardi datar. “Ini urusan kami berdua.” “Urusan kalian?” Raka mendengus. “Dua bulan dia berjuang sendirian. Di mana kamu waktu itu?” Ardi menatap Raka tajam, tapi kemudian pandangannya beralih ke perut Anggi yang membesar. “Kamu benar-benar akan kabur membesarkan anakku dengan laki-laki lain?” Nada suaranya merendahkan. “Kalian pikir aku tidak mencari kalian?” Anggi tertawa hambar. “Kau mencari, atau keluargamu takut skandal?” Ardi terdiam. Sebuah jawaban yang tidak terucap sudah cukup menjadi bukti. “Anggi masuk mobil,” perintah Ardi. “Kita bicara di tempat lain.” “Aku tidak ikut denganmu.” Anggi menggeleng. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “

  • Luka di Ujung Senja   Bab 2

    "Tunggu!” Suara itu menghentikan langkah Anggi seperti rem mendadak di tengah jalan tol. Ia menoleh pelan—setengah berharap itu hanya halusinasi akibat lapar dan putus asa. Tapi bukan. Sosok itu berdiri di bawah lampu neon merah klub, membuat wajahnya terlihat separuh gelap, separuh muram. Rambutnya sedikit basah karena gerimis. Napasnya terengah seakan sudah berlari jauh hanya untuk mengejar Anggi. Raka. Sahabat SMA yang dulu selalu membela Anggi dari segala ejekan temannya Orang yang pergi ke kota besar mengejar mimpi. Orang yang Anggi kira tak akan pernah ia temui lagi. Dan sekarang, berdiri di depan sebuah klub malam. Di saat Anggi hampir masuk ke tempat yang bisa mengubah hidupnya selamanya. “Kamu ngapain di sini?” suara Anggi patah. Raka mendekat, matanya turun ke perut Anggi yang sudah membuncit. Ia terdiam beberapa detik, seolah mencoba memproses kenyataan yang terpampang jelas. “Kamu hamil?”tanya Raka Anggi menelan ludah yang terasa seperti pecahan

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status