LOGINBip.
Bip. Bip. Lalu… sunyi. Hanya suara mesin ventilator yang mendorong napas untuk bayi mungil di inkubator. Ruang NICU dingin seperti ruang antara dunia dan kematian. Raka berdiri tepat di depan kaca transparan, menatap tubuh kecil itu. Tubuh bayi perempuan yang belum pernah sekalipun merasakan pelukan ibunya. Tiba-tiba alarm berbunyi keras. “Detak jantung turun!” Dua perawat berlari masuk, mendorong dokter yang menyusul dari belakang. Raka terlonjak, napasnya tercekat. “Dok?! Apa yang terjadi?!” “Bayi mengalami henti napas sesaat!” Raka memukul kaca, putus asa. “Lakukan sesuatu! Tolong selamatkan dia!” Ardi baru muncul di pintu NICU, wajahnya kaget melihat keributan. Ia melangkah mendekat, tapi tubuhnya seakan memberat. Raka ingin berlari masuk, tapi perawat menahan dadanya. “Tidak boleh masuk. Harap tunggu di luar.” Raka meronta. “Itu anakku!” Ardi menahan lengan Raka. “Bukan. Itu anak Anggi.” Suara itu mematikannya. Mata Raka menyala penuh amarah. “Kalau kamu tidak peduli, mundur!” Ardi menatap bayi itu dari kaca. Ada sesuatu di matanya—bukan cinta, bukan juga peduli. Lebih seperti rasa takut kehilangan kendali. Kehilangan bukti bahwa ia masih berarti dalam hidup seseorang. Dokter melakukan penekanan kecil di dada bayi. “Inkubasi ulang, tingkat oksigen naikkan!” Bayi kecil itu tidak bergerak. SATU JAM KEMUDIAN Raka duduk menunduk di bangku lorong, tangan menutupi wajah. Hujan di luar jatuh deras. Semua orang di lorong bergerak, tapi ia merasa seperti tenggelam. Ardi berdiri tak jauh, menyandar pada tembok. Dari tadi ia hanya diam, tapi sorot matanya gelap dan berkecamuk. Dokter keluar dari NICU. Keduanya serempak berdiri. Dokter melepas masker. “Bayi stabil sementara. Tapi… kondisi tidak banyak berubah. Kami sudah melakukan sebanyak yang kami bisa.” Raka hampir menangis lega. “Dia hidup, kan?” Dokter menatap mereka satu per satu. “Kondisinya kritis. Kalau tidak ada respons sampai 12 jam ke depan, kami harus mengambil keputusan.” “Keputusan apa?” suara Raka bergetar. Dokter menatap lurus. “Apakah akan melanjutkan bantuan hidup… atau menghentikannya.” Lorong terasa runtuh. Raka mundur selangkah. “Tidak. Kami tidak akan menyerah.” Ardi mengencangkan rahangnya. “Aku yang tanda tangan untuk tetap melanjutkan.” Dokter menggeleng. “Keputusan seperti ini harus berdasarkan siapa yang menjadi wali resmi. Status bayi… belum jelas.” Raka membeku. Ardi menatap dokter seperti mendapat kesempatan. “Kalau begitu, aku. Aku ayah biologisnya.” Dokter mengangguk. “Kami butuh bukti legal. Kalau tidak, salah satu dari kalian harus melalui tes DNA.” Ardi menyipitkan mata. “Aku tidak mau.” “Jadi kamu ingin bayi itu mati tanpa tahu siapa walinya?” Raka menantang. Ardi berpaling, seakan kata-kata Raka adalah pukulan telak. Dokter meninggalkan mereka untuk kembali memantau bayi. Hening. Lalu Raka berbisik pelan, tapi menancap tajam: “Seumur hidupmu, kamu selalu membuat keputusan atas nama orang lain. Untuk pertama kalinya… buat keputusan yang bukan tentang egomu.” Ardi tidak membalas. Ia pergi, meninggalkan lorong. KAMAR RAWAT ANGGI — beberapa jam kemudian. Lampu temaram. Monitor berdetak pelan. Anggi masih tak sadarkan diri. Raka duduk di sampingnya, menggenggam jejari Anggi yang dingin. Rambutnya kusut, matanya merah karena kurang tidur. “Sayang…” suaranya pecah. “Kalau kamu bisa dengar aku… bayi kita berjuang sendirian.” Dia menunduk, keningnya hampir menyentuh punggung tangan Anggi. “Aku tidak peduli kamu memilih aku atau tidak nantinya. Aku hanya… ingin kamu bangun.” Mata Anggi tetap terpejam. Hanya suara monitor yang bergerak. Bip… bip… bip… Raka mengusap pipi Anggi yang pucat. “Tolong bangun. Anakmu butuh kamu.” Pintu terbuka pelan. Ardi masuk. Raka menegakkan tubuhnya, waspada. “Apa maumu?” Ardi tidak menjawab. Ia berjalan mendekati ranjang Anggi, berdiri di sisi lain, menatap wajah perempuan yang dulu pernah ia sakiti, dan tetap ia biarkan terluka. Untuk pertama kalinya, suara Ardi lirih. “Dia kelihatan… sangat lemah.” Raka mengeras. “Kalau kamu datang cuma untuk menyalahkan—keluar.” Ardi menarik kursi dan duduk. Ia menatap Anggi lama, seolah ingin mencari sesuatu pada wajah itu—sesuatu yang dulu pernah ia miliki. “Aku tahu kamu pikir aku tidak peduli,” suaranya serak, “tapi aku tidak siap kehilangan apa pun yang masih tersisa dariku.” “Kamu tidak kehilangan apa pun,” Raka membalas dingin, “karena kamu tidak pernah benar-benar punya Anggi.” Ardi terdiam. Untuk pertama kali, Raka melihat Ardi tidak marah. Justru—hancur. “Aku… takut,” Ardi mengaku pelan. Raka tidak bereaksi. “Aku takut anak itu lahir… dan aku tidak pernah menjadi apa-apa bagi dia.” Ardi menunduk. “Takut jadi ayah yang tidak diinginkan.” Raka tidak menyangka itu akan keluar dari mulut Ardi. “Kamu benar.” Raka menatap Anggi. “Anggi tidak menginginkanmu.” “Tapi bayi itu mungkin tetap butuh ayah.” Ardi terdiam. Kata-kata Raka menghantamnya pelan tapi telak. Ardi berdiri, menatap Anggi sekali lagi. “Aku akan tanda tangan untuk melanjutkan bantuan hidupnya.” Raka langsung berdiri. “Benarkah?” Ardi menatap Raka dengan sorot yang lelah. “Ini bukan tentang aku. Bukan tentang kamu. Ini tentang anak itu.” Raka mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, mereka berdiri di sisi yang sama. Ardi melangkah menuju pintu. Tapi sebelum benar-benar keluar— Pintu NICU yang berada di seberang lorong terbuka dengan tergesa-gesa. Perawat muncul, napas terengah. “Pak! Pak Ardi! Pak Raka!” Mereka berdua menoleh bersamaan. Air muka perawat berubah pucat. “Bayi mengalami henti napas total lagi! Dokter meminta wali untuk datang sekarang!” Raka membeku. Ardi memucat. Perawat menambahkan, suara bergetar: “Dokter bilang… kali ini mungkin menjadi kesempatan terakhir.”Pernikahan tidak mengubah ritme hidup secara drastis. Tidak ada bulan madu panjang, tidak ada rumah baru yang langsung terasa sempurna. Anggi tetap bangun pagi untuk menyiapkan Rafa, tetap mengecek email kantor sebelum matahari benar-benar naik. Rendra tetap menyesap kopi dengan kebiasaan lamanya, hanya kini ada dua cangkir di meja. Yang berubah adalah kesadaran: mereka tidak lagi berjalan sejajar tanpa ikatan. Kini langkah mereka saling terkait. Dan keterikatan itu, pelan-pelan, menguji batas. Suatu sore, Anggi pulang lebih lambat dari biasanya. Rapat molor, klien meminta revisi mendadak. Ketika ia sampai rumah, Rafa sudah tertidur. Rendra menunggunya di ruang tamu, lampu temaram. “Kamu belum makan,” kata Rendra. “Aku nggak lapar,” jawab Anggi sambil melepas sepatu. Nada suaranya datar. Terlalu datar. Rendra memperhatikannya. “Kamu capek.” Anggi mengangguk, tapi tidak duduk. Ia mondar-mandir kecil, lalu berhenti. “Ren… aku takut kehilangan diriku lagi.” Kalimat itu jatuh ti
Enam bulan setelah promosi itu, hidup Anggi terasa penuh. Terlalu penuh, jika ia jujur pada dirinya sendiri. Pagi dimulai lebih awal, malam berakhir lebih larut. Ada rapat yang tak bisa ditunda, ada tugas sekolah Rafa yang harus diperiksa, ada kontrol dokter yang menuntut perhatian penuh. Di sela-selanya, ada Rendra—hadir tanpa meminta, membantu tanpa menghitung. Anggi mulai belajar satu hal yang dulu ia anggap kelemahan: meminta bantuan. Namun ada satu keputusan yang terus ia tunda. Pernikahan. Bukan karena Rendra mendesak. Justru karena ia tidak pernah mendesak sama sekali. Dan diam itu membuat Anggi harus berhadapan dengan suaranya sendiri. Suatu malam, saat hujan turun tipis, Anggi berkata tiba-tiba, “Rendra… kamu pernah ingin menikah lagi?” Pertanyaan itu menggantung di ruang tamu kecil mereka. Rendra menatap Anggi, tidak terkejut. “Pernah. Tapi bukan karena status. Karena ingin pulang ke orang yang sama.” Anggi menunduk. “Aku takut.” “Apa yang paling kamu takutkan?” tan
Keberanian yang tenang itu tidak datang sebagai sesuatu yang selalu terasa kuat. Kadang ia hadir justru sebagai kelelahan yang diterima, bukan dilawan. Anggi belajar itu pelan-pelan, setelah operasi Rafa, setelah malam-malam panjang di rumah sakit berubah menjadi rutinitas kontrol dan obat-obatan kecil yang harus diminum tepat waktu. Hidup tidak kembali “normal”. Ia menjadi versi baru dari normal—lebih rapuh, tapi juga lebih jujur. Rafa kembali ke sekolah dengan jadwal terbatas. Ia tidak boleh terlalu capek, tidak boleh ikut olahraga berat. Anak itu menerima semua larangan dengan kedewasaan yang membuat Anggi sering menoleh diam-diam, menahan rasa bersalah. Suatu sore, Rafa pulang dengan wajah murung. “Teman-teman latihan bola,” katanya pelan. “Aku cuma nonton.” Anggi jongkok di depannya. “Kamu sedih?” Rafa mengangguk. “Sedikit. Tapi aku juga senang… soalnya aku masih ada.” Kalimat itu membuat napas Anggi tersendat. “Ibu minta maaf,” ucapnya lirih, refleks lama yang masih ters
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. K
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, Anggi menerima kabar yang membuatnya terdiam lama di depan layar ponsel. Pesan singkat dari nomor rumah sakit. “Ibu Anggi, mohon datang. Ini tentang Rafa.” Jantungnya seperti berhenti sesaat. Ia berlari—tanpa sempat berpikir. Di rumah sakit, dokter menjelaskan dengan suara tenang namun tegas: Rafa mengalami kelainan jantung bawaan yang baru terdeteksi. Tidak langsung berbahaya, tapi perlu pemantauan ketat. Mungkin operasi di masa depan. Anggi mendengarkan dengan kepala berdenyut. Kata-kata dokter seperti gema jauh. Yang ia lihat hanya Rafa terbaring di ranjang kecil, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, aku nggak apa-apa,” kata Rafa lirih. Kalimat itu mematahkan sesuatu di dalam diri Anggi. Ia mengangguk, menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Iya. Ibu di sini.” Malam itu, Anggi duduk sendirian di koridor rumah sakit. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang terlalu lama ia kenal. Ke
Anggi mulai merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan perubahan besar yang bisa ditunjuk dengan jari, melainkan pergeseran halus di dalam dada. Ia lebih sering tertawa—bukan karena terhibur, tapi karena merasa aman. Ia mulai bercerita tanpa merasa harus menyensor setiap kalimat. Dan yang paling mengejutkan: ia tidak lagi merasa bersalah ketika bahagia. Namun justru di titik itulah ketakutan lama menyelinap. Suatu malam, setelah Rafa tertidur, Anggi duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rendra baru saja pulang setelah mengantar mereka makan malam. Tidak ada yang salah dengan malam itu—dan itulah yang membuat Anggi gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Rendra sebelum pamit, seolah membaca raut wajahnya. “Tidak apa-apa,” jawab Anggi refleks. Kebohongan kecil itu menggantung di udara. Setelah pintu tertutup, Anggi memejamkan mata. Ia mengenali perasaan ini. Ketika semuanya mulai terasa baik, otaknya mencari ancaman. Seolah kebahagiaan selalu harus dibayar







