Share

Bab 4

Author: Moore
Di restoran seafood, Damar memesan hidangan mewah dan mahal, membuat Wulan tidak sabar ingin makan.

"Banyak banget! Aku nggak mungkin bisa habisin semuanya. Kak, jangan pesan terlalu banyak!"

Wulan menggigit jarinya dan berkata dengan penuh perhatian kepada Damar.

"Nggak apa-apa, ini semua kan yang katanya kamu mau coba. Kalau nggak habis tinggal dibungkus."

"Tapi bukannya nggak pantas suruh Kak Hana makan sisaku?"

Bibir Wulan sedikit melengkung, tapi dia pura-pura menolak dengan gugup.

"Apanya yang nggak pantas? Dia belum pernah makan ini sebelumnya, dan sekarang akhirnya bisa berkat kamu."

Begitu Damar selesai bicara, semua orang terdiam.

Mereka tiba-tiba menyadari bahwa aku benar-benar belum pernah makan semua itu sebelumnya. Meski aku lima tahun lebih tua dari Wulan, mereka belum pernah sekali pun mengajakku makan keluar bersama.

Ketika Damar lahir, sebagai anak pertama, orang tuaku membesarkannya dengan sangat perhatian, mengurus setiap hal dengan hati-hati.

Ketika aku lahir, orang tuaku sibuk memperhatikan sekolah Damar dan mengembangkan bisnis mereka. Mereka sibuk setiap hari, jadi aku dibesarkan oleh pengasuh.

Ketika adikku lahir, bisnis mereka sudah mapan. Jadi mereka menuangkan semua utang cinta yang mereka miliki padaku kepada Wulan.

Wulan tidak menyadari keheningan itu. Dia terus membujuk dengan tidak tulus, "Mungkin kita pesan terpisah saja buat Kak Hana? Kalau dia tahu itu sisa makananku, pasti dia marah lagi sama aku."

Setelah sejenak diam, Ibu tiba-tiba bicara, "Lobster Australia-nya jangan dikeluarkan, kita bawa pulang saja. Kakakmu suka, tapi dia belum pernah coba."

Wulan sontak tercengang. Dia hanya bilang saja, tidak bermaksud agar benar-benar terjadi.

"Tapi Bu ... aku juga mau makan lobster Australia!"

Wulan cemberut, suara kecilnya terdengar kesal.

"Jangan marah, Wulan. Yang di meja saja belum tentu bisa habis. Simpan dua makanan lagi buat kakakmu. Kalau kamu mau coba, besok-besok ke sini lagi sama Ibu."

Wulan sangat tidak senang. Dia selalu jadi anak kesayangan keluarga, selalu mendapat pilihan pertama dari semua makanan enak. Dia tidak bisa menerima bahwa keluarganya mulai peduli padaku.

"Tapi aku terakhir makan ini sudah setengah tahun lalu! Kenapa kita harus bungkus semuanya buat Kak Hana?"

Kali ini, bahkan Ayah mengerutkan kening dengan tidak setuju.

"Wulan, kita sudah ada kepiting raja dan daging wagyu premium. Semua itu bahkan jauh lebih mahal. Yang dibungkus Ibu buat kakakmu itu lobster Australia yang harganya paling murah. Kenapa harus rebutan sama kakakmu?"

Wulan tersentak, menyadari bahwa sikapnya telah memicu kecurigaan orang tuanya.

Jadi, dia menyeka matanya dan menjelaskan, sambil tampak sangat sedih, "Aku cuma mau Kak Hana dapat yang paling enak. Biar aku makan yang paling murah saja, yang mahal buat dia."

Ibuku melunakkan ekspresinya dan berbisik lembut, "Wulan memang anak paling pengertian. Nggak apa-apa, kakakmu nggak paham urusan begini. Kamu nggak usah merendah."

Ayah menimpali, "Hana memang nggak paham hal-hal bagus begini. Mangga saja alergi, siapa yang tahu seafood juga alergi?"

Prang! Sendok Ibu jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping, tapi dia tidak menyadarinya. Dia melompat berdiri dengan wajah pucat.

"Hana tadi minum jus mangga? Dia ... dikurung di gudang sama Damar. Dia nggak apa-apa, 'kan?"

Baru saat itu Ayah tersadar dan wajahnya juga memucat.

Damar masih tidak mengerti.

"Apa maksud kalian? Alergi?"

Saat aku minum jus mangga, dia sedang bicara di telepon, jadi tidak mendengar percakapan kami.

Tanpa berkata apa-apa, Elian mengambil kunci mobilnya.

"Aku pulang dulu! Jangan khawatir, dia pasti nggak apa-apa."

"Kami ikut!"

Wulan protes dengan tidak senang, "Aku belum makan, kalian mau ke mana?"

Tapi kali ini, tidak seorang pun memperhatikannya. Saat semua orang tiba di rumah, mereka melihat gerbang rumah telah didobrak paksa. Para tetangga berkumpul di sekitar, menunjuk-nunjuk dan berbisik.

Saat mereka mendekat, seorang tetangga sebelah berteriak, "Ada apa di rumah kalian? Dua jam yang lalu, polisi mendobrak rumah kalian dan menggotong seseorang keluar ditutupi kain putih."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka yang Terulang 99 Kali   Bab 10

    Mataku terasa perih saat memikirkan bertahun-tahun aku diabaikan. Meski aku sudah bisa menerimanya, rasa sesaknya masih tersisa di dadaku."Kalian menaruh harapan kepada Damar dan mencintai Wulan, tapi aku? Aku cuma sesuatu yang nggak berarti. Bahkan namaku nggak berarti apa-apa. Beda dari kakak dan adikku. Mereka cahaya yang menyinari dunia kalian. Kalau kalian nggak suka aku, kenapa kalian bawa aku ke dunia ini?""Sekarang aku pergi jauh dari kalian semua. Jalani saja hidup masing-masing dengan damai, apa itu masih belum cukup?"Ibu sudah menangis tak terkendali mendengar kata-kataku."Hana, kami salah. Kami tahu kami salah! Kamu juga anak kami! Mana mungkin ikatan darah kita putus semudah itu?""Aku berharap aku bukan anak kalian!"Dengan itu, aku berbalik dan berjalan ke belakang panggung, tidak mau lagi melirik keluargaku yang sekarang menangis sejadi-jadinya.Mungkin kata-kataku terlalu berat. Mereka tidak muncul di hadapanku lagi untuk waktu yang lama.Tapi entah bagaimana, masa

  • Luka yang Terulang 99 Kali   Bab 9

    Aku menatapnya tanpa berkedip hingga dia mengalihkan pandangannya dengan rasa bersalah, lalu aku mengangguk."Benar, aku harusnya mengalah. Makanya aku serahkan kamu ke dia, biar kalian bisa bersama. Bukannya itu yang terbaik?"Elian mencoba menjelaskan, tapi aku menepisnya tanpa peduli."Perasaanku padamu sudah terkikis karena kamu berulang-ulang menuntutku mengalah. Aku nggak mencintaimu lagi. Aku nggak sudi mengorbankan diriku buat kamu. Nggak ada yang menghargaiku, tapi aku menghargai diriku sendiri."Elian mundur beberapa langkah seolah terpukul dan tidak sanggup menganggungnya.Aku tidak meliriknya lagi, mengangkat kaki untuk lanjut pergi ke belakang panggung.Tapi tak lama kemudian, ketiga orang lainnya menghentikan langkahku.Damar menatapku dengan ekspresi yang rumit."Kamu semakin sukses sejak meninggalkan kami bertahun-tahun yang lalu."Ayah menghela napas dalam-dalam. "Hana, kami sudah baca buku diary-mu. Kami baru tahu betapa kamu sangat menderita selama ini."Aku teringat

  • Luka yang Terulang 99 Kali   Bab 8

    "Aku? Aku nggak mungkin bisa. Aku belum pernah tampil di panggung."Aku melambaikan tanganku dengan panik, tapi mentorku menepuk pundakku dengan penuh keyakinan."Jangan remehkan dirimu sendiri. Kamu murid terbaikku. Suaramu murni, kamu punya bakat yang langka. Musik ciptaanmu juga indah seakan menyimpan ribuan cerita. Cerita yang mampu membuat pendengar menangis."Mentorku menatapku dalam-dalam."Aku nggak tahu cobaan apa yang kamu lalui sampai bisa menciptakan musik yang begitu menyentuh. Tapi aku bisa jamin, kesulitan di masa lalumu akan menjadi jalan menuju kesuksesanmu di masa depan. Percaya pada dirimu sendiri, Hana. Lepaskan potensimu. Kamu pantas mendapat prestasi yang lebih besar."Air mataku langsung jatuh.Ternyata ada orang yang dapat mendengar keluh kesah dan kesabaranku selama bertahun-tahun melalui musikku. Orang yang dapat berempati dengan ceritaku melalui karya-karyaku.Inilah pesona musik, dan juga alasan mengapa aku rela mendedikasikan seluruh hidupku untuk musik.Ko

  • Luka yang Terulang 99 Kali   Bab 7

    Ketika petugas medis berhasil menerobos masuk melalui pintu, aku sudah pingsan di gudang, tersedak air liur sendiri akibat reaksi alergi.Beruntung, petugas medis yang datang sangat profesional. Mereka segera memberikan suntikan anti-alergi, menyelamatkan aku dari ambang kematian."Tenggorokanmu membengkak karena alergi. Walaupun bengkaknya sudah mereda, kami sarankan kamu pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh."Dokter membantu aku bangun dan membaringkan aku di tandu.Tepat pada saat itu, Pak Dirga berlari masuk dari taman belakang. Dia terkejut melihat para petugas medis di rumah."Ada apa ini? Kenapa kalian di sini?"Saat melihat aku terbaring di tandu dengan wajah bengkak, dia terkejut dan terengah-engah memegang dadanya, lalu perlahan jatuh ke lantai.Dokter spontan terkejut."Cepat! Bawa dia ke ambulans!"Setelah keributan beberapa saat, dokter menoleh ke arahku dengan raut wajah cemas."Maaf, dia mengalami serangan jantung mendadak dan harus dilarikan ke rumah sakit.

  • Luka yang Terulang 99 Kali   Bab 6

    Ibu dan Ayah bergegas ke depan dan tercengang saat melihat mayat itu adalah kepala pelayan keluarga kami."Ini Pak Dirga? Kenapa dia bisa meninggal?""Tunggu, di mana Hana? Dia nggak ada di sini, jadi dia di mana?"Wulan sangat kecewa setelah tahu mayat itu bukan itu. Dia berkata sambil tertawa dingin, "Dia pasti sengaja sembunyi buat permalukan kita. Dia tahu keluarganya pasti khawatir, tapi dia pura-pura mati biar bisa lihat kalian menangisi dia!"Wajah Ayah merah padam, dan dia mendengus keras."Dasar Hana, dia sudah keterlaluan! Apa dia nggak tahu betapa khawatirnya kita?"Wajah Damar dan Elian sama-sama kelam. Kejadian ini telah memicu rasa benci mereka kepadaku.Elian mengeluarkan ponselnya dan menelepon nomorku. Karena tidak tersambung, dia segera mengirim pesan.[Hana, sudah cukup! Kamu senang mempermainkan kami? Bercandamu terlalu kejam! Cepat ke sini dan minta maaf! Kalau nggak, aku nggak akan maafkan kamu. Aku batalkan saja pernikahan kita!]Damar pun mengirimiku pesan untuk

  • Luka yang Terulang 99 Kali   Bab 5

    Ibu melemas dan terjatuh ke belakang. Kakakku menangkapnya tepat waktu.Wajah Ayah pucat pasi. Dia terhuyung-huyung masuk ke rumah. Melihat gudang yang berantakan, kakinya lemas dan dia terjatuh ke lantai."Anakku! Anakku!"Mata Elian dipenuhi kepanikan, suaranya bergetar."Nggak, nggak mungkin. Hana tadi nggak apa-apa. Dia pasti nggak apa-apa!"Dia tersadar dan hendak berjalan keluar, tapi Wulan menariknya dari belakang."Elian, jangan pergi! Ibu pingsan. Kita harus bawa dia ke rumah sakit!"Damar menopang Ibu, menatap dengan ekspresi tidak berdaya.Elian pun menggertakkan giginya."Bawa mereka ke mobil. Kita ke rumah sakit ... dan lihat keadaan Hana."Pada kata-kata terakhir, suaranya pecah.Mereka bergegas ke rumah sakit. Ibu sadar kembali tepat saat mereka tiba."Hana, anakku!"Dia memegang tangan Damar erat-erat."Dia nggak apa-apa, 'kan? Dia pasti masih di gudang, cepat keluarkan dia!"Damar mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata ibunya."Hana ... sudah nggak di gudang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status