Luna Raven's Rebirth

Luna Raven's Rebirth

last updateLast Updated : 2025-06-16
By:  Salem RoseUpdated just now
Language: English
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
6Chapters
5views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Raven Patterson Lowe is the chosen mate of Alpha Justice Lowe, they have been together since high school, they make a vow to each other to be together and to reject their fated mates if they ever find them. That is until Justice finds his fated mate Rose, he can't seem to resist the bond. Rose puts on the act of being a sweet and caring woman, but she's the exact opposite manipulative and cunning. Raven does all she can to try and save her marriage, but unfortunate events take place. Raven dies and by some miracle the moon goddess sends her back, a second chance at life. Raven in her second life finds her mates, there are four of them, quadruplet Alphas Lucian, Lennox, Levi, and Liam. With their help she seeks divorce from Justice, she also wants her father's pack back. He passed it to Justice after they were married. With the four Alpha's by her side, and her best friend sneaking information for her, she might be free from a loveless marriage and maybe the outcome of her trials will help other Luna's in the same position.

View More

Chapter 1

The Beginning of the End

USAI KEPUTUSAN CERAI

- Usai

"Jauhi suamiku!" Seorang perempuan melempar asbak kayu tepat di hadapanku. Aku sempat terkejut, tapi sejenak kemudian aku memandangnya dengan tenang.

Kulihat dua orang telah siap dengan kamera ponselnya untuk mengabadikan kejadian ini yang sebentar lagi bisa jadi akan viral. Tapi aku tidak peduli. Sepertinya hal ini sudah direncanakan. Dia hendak mempermalukanku.

"Jauhi bagaimana maksudnya?" tanyaku menentang sorot matanya. "Sedangkan saya tidak pernah dekat dengan suamimu selain urusan pekerjaan, Mbak. Jangan menuduh tanpa bukti, saya bisa melaporkan Anda kembali."

Aruna terkejut. Mungkin dia tidak mengira aku seberani ini melawannya. Yang hanya seorang staf biasa di kantor suaminya.

"Sekalipun Anda menantu big bos saya, jangan Anda kira saya tidak berani. Mana buktinya kalau saya menggoda suami Anda?"

Wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Menunjukkan screenshot sebuah percakapan. Aku tersenyum samar. "Apa di sini saya membalas chat Pak Tristan?"

Diam.

"Mbak Aruna, Anda hanya cemburu buta. Saya nggak pernah tertarik dengan suami orang. Bahkan suami saya sendiri saja, saya lepaskan ketika dia bilang sudah tidak menginginkan saya lagi.

"Saya nggak gila cinta atau pun harta. Saya bisa bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan anak saya. Saya nggak percaya dengan cinta sekarang. Jadi jangan mempermalukan diri dengan menuduh tanpa bukti. Saya bukan perempuan murahan yang suka menggoda suami orang." Aku meraih tas dan mengajak Eni, teman yang makan denganku, pergi dari kafe.

Kami menyusuri trotoar. Saat itu lalu lintas sangat padat, karena akhir pekan. Aku tidak melihat lagi ke belakang. Entah apa yang terjadi di sana.

"Bagaimana kalau video tadi di upload ke media sosial, Hilya?" tanya Eni tampak cemas.

"Nggak apa-apa. Dia hanya akan mempermalukan diri sendiri dan keluarga suaminya," jawabku sambil menatap semburat jingga di langit barat.

"Sepertinya Pak Tristan memang ada rasa sama kamu."

Aku tersenyum simpul. Tidak ada yang menarik dalam hal ini. Aku pernah berada di posisi Aruna, di mana lelaki yang kucintai pada akhirnya kembali pada mantan kekasihnya. Ternyata dulu, aku hanya tempat pelariannya saja.

Kami duduk di halte bus. Tatapanku jauh ke ujung jalan yang semakin ramai. Kembali teringat peristiwa tiga tahun yang lalu.

----

"Kita cerai saja," ujarnya di akhir perdebatan kami. Tiga kata yang benar-benar membuatku hancur. Meski sebenarnya isyarat ini sudah dia tunjukkan setahun belakangan ini. Bahkan mungkin, dia sudah menginginkan perpisahan semenjak bertemu lagi dengan mantan kekasihnya.

Kutatap lelaki yang duduk di hadapanku dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, dan begitu berat sekali rasanya. Tapi akhirnya kujawab juga dengan singkat. "Ya."

Mas Arham termangu untuk beberapa lama. Gesturnya terlihat gelisah. Kenapa gelisah, bukankah aku tidak menghalangi lagi apa yang dia kehendaki? Mungkin dia terkejut, karena aku tidak meneteskan air mata dan merayu seperti biasanya.

Kemudian pria itu mengelap tangannya menggunakan serbet. "Maafkan aku, Hilya. Akan kurusi secepatnya," ujarnya lantas beranjak pergi meninggalkan meja makan dan langsung masuk ke ruang kerjanya.

Aku juga bangkit untuk memberesi meja. Sesak sekali dalam dada. Tapi ini yang harus kuterima. Setidaknya aku sudah berjuang untuk mempertahankan pernikahan ini, berulang kali merendahkan diri sendiri agar tidak kehilangannya. Lelaki yang menikahiku empat tahun yang lalu.

Pernah aku sangat memohon supaya pernikahan ini bertahan. Menjalani rumah tangga sebaik-baiknya. Karena pernikahan adalah hal paling sakral bagiku. Aku tidak ingin gagal seperti ibu, tidak ingin gagal seperti kakakku.

Dalam doa aku selalu menangis, memohon agar jodoh kami berkelanjutan. Namun enam bulan belakangan ini aku benar-benar disadarkan, kalau hatinya memang bukan untukku. Aku hanya pelariannya saja. Sekarang dia sudah merencanakan pernikahan dengan kekasih yang dulu pernah meninggalkannya.

Empat tahun aku membersamainya bangkit setelah ditinggalkan, menemani membangun karir hingga bisa seperti sekarang ini. Dua kali juga aku merasakan hancur karena keguguran anak kami. Namun sekarang, semua apa yang kulakukan ternyata tiada arti baginya.

Baiklah. Aku terima.

Sambil membereskan meja makan dan dapur, kutarik napas berulang kali supaya air mata tidak luruh ke pipi.

Sekuat apa genggamanku, yang ingin pergi pasti akan tetap pergi. Terlebih dia lelaki, yang punya kuasa dengan talaknya.

Sekarang aku tidak akan memaksanya untuk bertahan. Karena cinta bukan tentang paksaan, tapi kerelaan dan keikhlasan. Ya, kali ini aku benar-benar sudah rela melepaskan.

"Kamu mau ke mana?" tanya Mas Arham saat masuk kamar dan melihatku berkemas-kemas.

"Persyaratan perceraian sekarang, harus pisah rumah selama enam bulan, baru bisa diproses, Mas. Kecuali KDRT. Makanya biar aku keluar rumah, supaya bisa mempercepat proses di pengadilan agama," jawabku setenang mungkin.

"Tapi mungkin Mas punya pengacara yang bisa mempercepat proses ini tanpa mengikuti aturan yang ada."

"Biar aku saja yang keluar. Rumah ini akan menjadi milikmu," ujarnya dengan nada rendah.

"Nggak usah. Ini rumah yang sebenarnya Mas bangun untuk kekasihmu," jawabku seraya mengunci koper.

Lelaki itu tampak termenung. Ia pasti khawatir kalau aku pulang, malam ini juga keadaan akan kisruh. Tak terbayangkan bagaimana marahnya mama mertuaku.

"Hilya, kasih aku waktu untuk memberitahu mamaku, juga menemui ibu untuk meminta maaf. Kalau kamu pulang sekarang, orang tua kita pasti kaget."

Aku tersenyum simpul. Bahkan aku sudah tidak peduli segala bentuk kemarahan atau kekisruhan seperti apapun. Aku sudah siap menghadapi semuanya. Aku lelah berjuang sendiri, mencintai sendiri, tanpa ada feedback dari lelaki yang kucintai.

***L***

Tiga bulan kemudian ....

"Mbak, apa perutku kentara kalau aku pakai baju ini?" tanyaku pada Mbak Asmi. Saudaraku satu-satunya.

"Kalau kentara memangnya kenapa? Biar saja Arham dan mamanya tahu kalau sebenarnya kamu hamil. Sidang ikrar talak bisa digagalkan."

Ya, hari ini sidang ikrar talak kami. Cepat bukan? Tidak butuh waktu untuk pisah rumah enam bulan. Mas Arham pasti punya cara supaya proses ini dipercepat.

"Hilya."

"Andai tahu pun nggak akan merubah keadaan, Mbak. Mas Arham sudah menikah siri dengan perempuan itu sebulan yang lalu."

Mbak Asmi memandangku lekat. Rona terkejut tampak di wajahnya. "Kamu bisa menuntut mereka dengan kasus perselingkuhan."

Aku tersenyum getir. Jujur aku tidak ingin ribet dengan hal-hal begini. Lebih baik aku fokus pada karir dan calon bayiku.

"Hilya, kita bisa menuntut mereka." Mbak Asmi tidak putus asa untuk membujukku.

"Nggak usah, Mbak. Jangan halangi kebahagiaan orang, biar kita pun mendapatkan kebahagiaan juga. Yuk, Mbak. Kita berangkat sekarang," ujarku dengan tenang. Meski dalam dada sudah hancur lebur jadi debu.

Kami berangkat naik taksi dan sampai di Pengadilan Agama, Mas Arham yang duduk di depan gedung bangkit menghampiri. "Hilya, kenapa kamu nggak bilang kalau hamil?"

Aku terkejut. Dari mana dia tahu aku hamil. "Kukasih tahu atau pun nggak, nggak akan merubah keputusan hari ini. Ayo, Mbak!" Kuraih lengan Mbak Asmi untuk masuk ke ruang sidang.

Next ....

Selamat datang di cerita Hilya. Perempuan tangguh kesekian yang lahir dari kehaluan authornya. Selamat membaca. Semoga suka.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.

Comments

No Comments
6 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status