Malam itu, bulan menggantung sempurna di atas desa, menjadi saksi bisu setiap bisik dan janji. Lidya mencengkeram erat tangan Rizal. Gaun sederhana yang ia kenakan basah oleh embun. Matanya berkaca-kaca menatap Rizal yang tersenyum teduh.
"Kau tahu, betapa aku mencintaimu, kan, Lidya?" bisik Rizal, suaranya terdengar meyakinkan.
Hati Lidya berdebar. Ia hanya mengangguk, terlalu bahagia untuk bicara.
"Aku akan buatkan rumah di pinggir sungai itu," lanjut Rizal, menunjuk ke arah sungai yang mengalir tenang. "Akan ada kebun bunga yang luas. Kau bisa tanam melati sebanyak yang kau mau. Kita akan hidup bahagia selamanya di sini."
Setiap kata Rizal terdengar seperti melodi terindah di telinga Lidya. Janji-janji itu terasa begitu nyata, seindah mimpi yang diwarnai oleh kebahagiaan.
"Kalau begitu, kau harus percaya padaku," bisik Rizal lagi, semakin mendekat. "Ini adalah bukti cinta kita. Aku akan menikahimu."
Di bawah bujukan Rizal dan janji-janji pernikahannya, Lidya yang diliputi cinta dan percaya, mengangguk. Ia tidak tahu bahwa saat itu, ia sedang menjatuhkan dirinya ke dalam lubang yang paling gelap. Ia menyerahkan seluruh dirinya, kehormatan yang ia jaga selama ini, hanya untuk janji-janji yang ternyata adalah kebohongan.
Paginya, Lidya menunggu di depan rumahnya, menatap ke arah jalan setapak yang biasa dilalui Rizal. Menit-menit berubah menjadi jam. Jam-jam menjadi sore. Namun, bayangan Rizal tak kunjung terlihat.
"Lidya, kau kenapa, Nak? Dari tadi Ayah lihat kau melamun terus," tanya sang ayah dari teras, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Lidya tersentak, lalu memaksakan seulas senyum. "Tidak, Ayah. Aku hanya sedang ingin menyiram bunga-bunga ini."
Ia mengambil gayung dan mulai menyiram bunga melati, tetapi pikirannya tetap kosong.
"Ayah dengar Rizal sudah pergi ke kota, ya?" tanya sang ayah, matanya menatap Lidya lekat-lekat.
Lidya membeku. Gayung di tangannya bergetar. "Aku... aku tidak tahu, Ayah."
"Kamu tidak apa-apa, kan, Nak?" tanya sang ayah.
"Aku baik-baik saja, Ayah," jawab Lidya, meskipun suaranya bergetar.
Malam itu, Lidya tidak tidur. Ia duduk di jendela, memeluk lututnya, menatap bulan yang bersinar. Bulan yang dulu ia lihat bersama Rizal, kini terasa begitu dingin dan jauh. Janji-janji manis yang dulu terasa nyata, kini berubah menjadi bayangan yang menghantuinya. Yang ia rasakan bukanlah dendam pada Rizal, tetapi dendam pada dirinya yang dulu.
Kepolosan itu telah direnggut paksa, dan di tempatnya, kini tumbuhlah benih-benih kemarahan pada diri sendiri. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, ia akan terus terjebak dalam rasa sakit ini. Ia harus menemukan jalan keluar. Jalan keluar dari rasa sakitnya, dari masa lalunya, dan dari desa yang telah menjadi saksi bisu kehancuran batinnya.
"Lidya, kau tidak tidur, Nak?" suara ibunya terdengar dari balik pintu.
Lidya tidak menjawab. Ia hanya menatap surat yang ia pegang. Surat itu berisikan tulisan tangan Rizal. "Aku akan kembali, Lidya. Tunggu aku." Lidya meremas surat itu kuat-kuat, membuat kertasnya berkerut.
Ia melihat bayangan dirinya di cermin, seorang gadis dengan mata kosong yang tidak lagi ia kenali. Ia membalas tatapan itu, seolah-olah berjanji. "Selamat tinggal, Lidya yang lama."
Ia berbalik, mengambil tas kain yang sudah ia siapkan, dan melangkah keluar. Dengan langkah perlahan, ia melewati pintu kamar ayahnya dan ibunya yang tertutup, memastikan tidak ada suara yang bisa membangunkan mereka. Hatinya terasa sakit, namun tekadnya lebih kuat. Ia membuka pintu rumah perlahan, melirik ke arah kebun melatinya. Bunga-bunga itu tampak layu di bawah sinar rembulan, seolah-olah ikut merasakan kesedihan yang sama. Itu adalah pemandangan terakhir yang ia lihat sebelum berbalik dan melangkah pergi, menuju jalan setapak yang gelap, meninggalkan semua yang ia kenal di belakangnya.
Namun, saat kakinya menginjak jalan desa, sebuah suara memanggil namanya. Bukan suara orang tuanya, melainkan suara yang asing, datang dari bayangan gelap di bawah pohon beringin tua. Suara itu begitu akrab, dan begitu menakutkan, membuat Lidya membeku di tempatnya.
"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Lidya."
Malam di desa itu terasa dingin dan sunyi, diselimuti kegelapan yang pekat. Luna tiba di bawah pohon beringin tua, tempat Damon memintanya bertemu. Ia mengenakan pakaian kasual, jauh dari gaun mewahnya. Namun, di matanya, Luna yang dingin tetap berkuasa. Ia tahu ini adalah akhir dari perjalanannya. Balas dendamnya akan tuntas malam ini.Luna menunggu. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia memikirkan Rizal, rasa sakit yang ia timbulkan. Ia memikirkan Damon, pria yang hampir membuatnya melupakan segalanya. Di saat genting ini, Lidya yang lama, yang rentan dan mencintai, berjuang melawan Luna yang keras dan penuh dendam.Tak lama kemudian, Damon muncul. Wajahnya dipenuhi oleh debu dan kelelahan, tetapi matanya memancarkan tekad. Ia membawa sebuah flash drive kecil di tangannya, menggenggamnya erat seolah itu adalah nyawanya."Kau datang," kata Luna, suaranya pelan."Tentu saja aku datang," balas Damon. Ia melangkah mendekat, tetapi Luna menahan
Rizal berdiri mematung. Wajahnya yang semula angkuh kini dipenuhi keringat dingin. Ia mencoba mengikuti Luna, tetapi kakinya terasa kaku. Gadis desa yang ia campakkan telah kembali sebagai Luna, seorang wanita yang memancarkan aura bahaya dan kekuasaan."Rizal, kau kenapa? Jangan menghalangi jalanku!" tegur Tuan Sanjaya, menatap Rizal dengan tidak sabar.Rizal tersentak. Ia memaksakan senyum tegang. "Tidak, Tuan Sanjaya. Saya... saya hanya terkejut melihat kenalan lama."Tuan Sanjaya mengabaikannya dan menyambut Luna. "Nona Luna, suatu kehormatan. Rizal sudah sering menceritakan tentang proyek kita, tapi saya lebih tertarik pada selera seni Anda."Luna tersenyum memikat. "Saya rasa, seni dan bisnis memiliki kesamaan, Tuan Sanjaya. Keduanya membutuhkan mata yang tajam untuk melihat nilai tersembunyi. Dan keduanya mudah hancur jika fondasinya rapuh."Di tengah keramaian, Luna dan Tuan Sanjaya terlibat dalam percakapan yang intens. Rizal mengawasi dar
Damon menatap Luna. Sorot matanya kini bercampur antara kepedihan dan tekad yang kuat. Ia mengerti, tawaran Luna adalah sebuah ujian, sekaligus jalan satu-satunya untuk mendekatinya."Apa pun itu, aku akan melakukannya," jawab Damon, suaranya mantap. "Aku akan membantumu. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan?"Luna tersenyum sinis. Senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus. Aku suka komitmenmu." Ia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke mata Damon. "Aku ingin kau tahu segalanya tentang kakakmu, Rizal. Di mana dia bekerja, dengan siapa dia bergaul, dan apa kelemahannya.""Rizal bekerja di perusahaan properti besar. Aku bisa mendapatkan informasinya," kata Damon. "Tapi kenapa? Apa rencanamu?""Rencanaku sederhana," balas Luna, kini berbisik dengan nada mengancam. "Aku akan membuatnya merasakan apa yang kurasakan. Aku akan menghancurkan apa yang paling dia cintai." Luna menjeda, lalu menambahkan, "Dan aku tidak ingin kau bertanya-tanya. Aku hanya ing
Klub malam itu bersinar lebih terang dari biasanya, tetapi Luna, yang kini mengenakan gaun hitam panjang yang elegan dan berbahaya, bersinar paling gelap. Ia telah membuang sisa-sisa Lidya yang tersisa. Wajahnya dipoles sempurna, dan tatapan matanya beku, tanpa jejak kehangatan yang pernah Damon lihat.Ia berjalan memasuki ruangan, dan seketika semua mata tertuju padanya. Ia bukan lagi seorang gadis yang mencari pengakuan; ia adalah Luna, sang Dewi Balas Dendam.Seperti malam-malam sebelumnya, Damon berada di sudut yang sama. Ia mengenakan kemeja sederhana, dan wajahnya tampak pucat karena rasa khawatir. Saat mata mereka bertemu, Damon bangkit, mencoba mendekat.Namun, sebelum Damon sempat melangkah, seorang pria kaya, Tuan Arya, yang sudah lama terobsesi pada Luna, menghampirinya. Luna memberinya senyum yang memikat, senyum yang tidak pernah ia berikan kepada Damon."Luna, kau tampak... luar biasa malam ini," kata Tuan Arya, mencoba memegang tangannya.
Ancaman dingin Luna bahwa ia tidak akan memberinya peringatan kedua menggantung di udara, mencekik Damon. Ia berdiri sendiri di tengah lobi klub yang ramai, pandangannya terpaku pada Rizal yang marah dan Luna yang kejam. Ia tahu, Luna telah memenangkan pertempuran itu, tetapi dengan mengorbankan jiwanya sendiri.Damon segera meninggalkan klub dan kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa tidur. Ucapan Luna, "Dia adalah kakakku," terus terngiang, menjelaskan mengapa wanita yang dicintainya kini bertekad untuk menghancurkan keluarganya.Pagi harinya, pintu apartemen Damon didobrak dengan kasar. Rizal berdiri di sana, wajahnya pucat pasi dan matanya memerah. Ia baru saja dipecat. Tuan Sanjaya, setelah dihubungi oleh Luna dengan dalih profesionalisme dan etika bisnis yang buruk, membatalkan semua kesepakatan dan menyebarkan desas-desus tentang perilaku tidak etis Rizal."Kau tahu, Damon, aku kehilangan segalanya!" teriak Rizal, melempar vas bunga ke dinding. "Pekerjaan
"Jangan sentuh aku!" teriak Luna, suaranya bergetar hebat. Ia menepis tangan Damon yang berusaha meraihnya. Mereka berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tetapi bagi Luna, dunia terasa sunyi, hanya ada suara amarahnya sendiri.Damon terkejut. Wajahnya yang semula teduh kini terlihat panik. "Luna, tunggu! Apa yang kamu bicarakan? Kenapa kamu mengatakan itu?"Luna mundur dua langkah, matanya menatap Damon dengan kebencian yang sama besarnya dengan cinta yang baru ia rasakan. Ia melihat bayangan Rizal di mata Damon, dan semua kebaikan yang Damon tunjukkan kini terasa seperti tipuan yang lebih kejam daripada kebohongan Rizal."Kalian semua sama saja!" bentak Luna, air matanya kini mengalir deras, namun itu adalah air mata kemarahan. "Kalian semua hanya bisa merusak hidup orang lain! Kalian semua penuh janji palsu!""Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rizal padamu," kata Damon, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kebingungan. "Tapi aku bukan dia! Aku tidak ada hubungannya dengan ma