Home / Romansa / Luna dalam Lara / Menjadi Luna

Share

Menjadi Luna

Author: Emil
last update Last Updated: 2025-09-23 06:26:14

Setelah berminggu-minggu menjalani pelatihan yang intensif, tibalah saatnya Luna memasuki dunia baru yang sesungguhnya. Tante Rosa membawanya ke sebuah klub malam mewah di pusat kota. Begitu pintu klub terbuka, Luna terkejut. Tempat itu bukan seperti yang ia bayangkan. Tidak ada kesan murahan, melainkan sebuah ruang megah dengan cahaya temaram, sofa-sofa beludru, dan alunan musik jazz yang menenangkan. Para pria yang hadir terlihat terpandang dan rapi, sementara para wanita yang bekerja di sana tampak elegan dan berkelas.

Luna mengenakan gaun malam berwarna merah yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu terasa asing di kulitnya, namun di depan cermin, Luna melihat bayangan yang berbeda. Bukan lagi gadis desa yang naif, melainkan seorang wanita yang berani dan menggoda.

Tante Rosa menepuk bahu Luna, menyadarkannya dari lamunan. "Siap?"

Luna mengangguk ragu. "Apa yang harus saya lakukan, Tante?"

"Ingat, kau bukan cuma sekadar pendamping," bisik Tante Rosa, suaranya mantap. "Kau adalah cerminan dari fantasi mereka. Buat mereka merasa istimewa, tapi jangan biarkan mereka memegang kendali. Kau yang memimpin permainan ini."

Tante Rosa kemudian memperkenalkan Luna pada pria pertama yang menjadi targetnya. Namanya Pak Heru, seorang pengusaha properti paruh baya yang terkenal kaya dan berkuasa. Pak Heru tersenyum ramah, namun di matanya Luna bisa melihat sebuah tatapan yang merendahkan. Tatapan yang sama seperti yang ia lihat pada Rizal. Tatapan yang seolah-olah berkata, "Aku bisa mendapatkan apa pun yang aku mau."

Luna, dengan senyum yang dipaksakan, duduk di samping Pak Heru. Ia tahu apa yang diharapkan pria itu: seorang wanita muda yang polos dan mudah ditaklukkan. Namun, Luna tidak lagi polos.

"Jadi, saya dengar Bapak baru saja membeli sebuah galeri seni?" tanya Luna, suaranya tenang dan penuh rasa ingin tahu.

Pak Heru terkejut. "Ah, ya. Kamu tahu dari mana?"

"Saya suka seni. Dan nama Bapak cukup terkenal di kalangan kolektor," jawab Luna, tersenyum tipis. "Lukisan apa yang paling Bapak suka?"

"Kamu mengerti seni?" tanya Pak Heru, matanya berbinar. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, menunjukkan rasa ketertarikannya.

"Tidak banyak," jawab Luna, memainkan gelas minumannya. "Tapi saya tahu satu hal. Lukisan yang bagus adalah lukisan yang bisa menceritakan sebuah kisah."

Percakapan mengalir lancar, dan Luna berhasil membuat pria itu penasaran. Ia mengajukan pertanyaan yang membuat pria itu berpikir, ia mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ia memberikan respons yang cerdas. Ia memainkan perannya dengan sangat baik, membuat Pak Heru merasa bahwa ia sedang berbicara dengan wanita yang cerdas, bukan hanya seorang pelacur.

Saat malam semakin larut, Luna menyadari satu hal: ia menikmati permainan ini. Ia menikmati bagaimana ia bisa memanipulasi seorang pria berkuasa, membuat mereka tunduk pada pesonanya. Kepuasan kecil itu adalah obat bagi hatinya yang terluka. Ia tidak peduli pada apa yang ia lakukan. Yang ia pedulikan hanyalah membalaskan dendamnya pada dirinya yang dulu.

Malam pertama Luna adalah sebuah kesuksesan yang mengejutkan. Ia tidak hanya berhasil menarik perhatian Pak Heru, tetapi juga para pria lain di klub itu. Mereka semua melihatnya sebagai sosok yang berbeda, misterius, dan penuh pesona. Luna menyadari bahwa ia memiliki bakat alami untuk permainan ini. Ia dapat membaca emosi dan keinginan para pria, lalu menggunakannya untuk keuntungannya sendiri.

Setiap malam, Luna memasuki klub itu dengan gaun baru dan wajah baru. Ia menjadi penipu ulung yang mengenakan topeng kecantikan dan kepintaran. Ia menjadi aktris yang memerankan peran wanita idaman para pria. Ia bisa menjadi wanita karier yang ambisius, gadis polos yang lugu, atau seorang seniman yang sensitif. Semua itu ia lakukan untuk memanipulasi mereka, untuk membuat mereka jatuh cinta, dan kemudian meninggalkannya begitu saja, seperti yang Rizal lakukan padanya.

Suatu malam, Luna duduk di bar, meminum segelas air mineral. Seorang wanita lain, Siska, duduk di sampingnya. "Bagaimana malam ini, Luna?" tanyanya.

"Biasa saja," jawab Luna singkat.

Siska tertawa. "Biasa saja katamu? Aku lihat kau membuat Pak Heru seperti anak kucing. Kau menikmatinya, kan?"

Luna memandangnya. "Bukan uangnya," bisiknya. "Tapi melihat mereka berkuasa tunduk padaku. Itu... kepuasan yang tidak bisa dibeli."

Siska mengangguk, mengerti. "Itulah yang membuat kita berbeda. Kita bukan korban. Kita yang memegang kendali. Tapi, hati-hati, Luna. Jangan sampai kau tenggelam dalam permainanmu sendiri. Batasan antara Lidya dan Luna mulai kabur."

Kata-kata itu menghantui Luna. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya tahu, ia tidak akan pernah kembali menjadi Lidya yang polos, yang terluka. Ia akan terus menjadi Luna, hingga ia menemukan apa yang ia cari.

Namun, di tengah semua permainan itu, Luna tidak menyadari bahwa akan ada satu pria yang berbeda. Seorang pria yang tidak tertarik pada topengnya, tetapi justru tertarik pada apa yang ada di baliknya, di dalam hatinya yang beku. Pria itu duduk di sudut ruangan, matanya menatap Luna, seolah-olah ia sudah mengenalnya sejak lama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luna dalam Lara   AKHIR DARI PERMAINAN

    Malam di desa itu terasa dingin dan sunyi, diselimuti kegelapan yang pekat. Luna tiba di bawah pohon beringin tua, tempat Damon memintanya bertemu. Ia mengenakan pakaian kasual, jauh dari gaun mewahnya. Namun, di matanya, Luna yang dingin tetap berkuasa. Ia tahu ini adalah akhir dari perjalanannya. Balas dendamnya akan tuntas malam ini.Luna menunggu. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Ia memikirkan Rizal, rasa sakit yang ia timbulkan. Ia memikirkan Damon, pria yang hampir membuatnya melupakan segalanya. Di saat genting ini, Lidya yang lama, yang rentan dan mencintai, berjuang melawan Luna yang keras dan penuh dendam.Tak lama kemudian, Damon muncul. Wajahnya dipenuhi oleh debu dan kelelahan, tetapi matanya memancarkan tekad. Ia membawa sebuah flash drive kecil di tangannya, menggenggamnya erat seolah itu adalah nyawanya."Kau datang," kata Luna, suaranya pelan."Tentu saja aku datang," balas Damon. Ia melangkah mendekat, tetapi Luna menahan

  • Luna dalam Lara   PENGKHIANATAN DI ATAS PANGGUNG

    Rizal berdiri mematung. Wajahnya yang semula angkuh kini dipenuhi keringat dingin. Ia mencoba mengikuti Luna, tetapi kakinya terasa kaku. Gadis desa yang ia campakkan telah kembali sebagai Luna, seorang wanita yang memancarkan aura bahaya dan kekuasaan."Rizal, kau kenapa? Jangan menghalangi jalanku!" tegur Tuan Sanjaya, menatap Rizal dengan tidak sabar.Rizal tersentak. Ia memaksakan senyum tegang. "Tidak, Tuan Sanjaya. Saya... saya hanya terkejut melihat kenalan lama."Tuan Sanjaya mengabaikannya dan menyambut Luna. "Nona Luna, suatu kehormatan. Rizal sudah sering menceritakan tentang proyek kita, tapi saya lebih tertarik pada selera seni Anda."Luna tersenyum memikat. "Saya rasa, seni dan bisnis memiliki kesamaan, Tuan Sanjaya. Keduanya membutuhkan mata yang tajam untuk melihat nilai tersembunyi. Dan keduanya mudah hancur jika fondasinya rapuh."Di tengah keramaian, Luna dan Tuan Sanjaya terlibat dalam percakapan yang intens. Rizal mengawasi dar

  • Luna dalam Lara   PERMAINAN HATI

    Damon menatap Luna. Sorot matanya kini bercampur antara kepedihan dan tekad yang kuat. Ia mengerti, tawaran Luna adalah sebuah ujian, sekaligus jalan satu-satunya untuk mendekatinya."Apa pun itu, aku akan melakukannya," jawab Damon, suaranya mantap. "Aku akan membantumu. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan?"Luna tersenyum sinis. Senyum itu tidak mencapai matanya. "Bagus. Aku suka komitmenmu." Ia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke mata Damon. "Aku ingin kau tahu segalanya tentang kakakmu, Rizal. Di mana dia bekerja, dengan siapa dia bergaul, dan apa kelemahannya.""Rizal bekerja di perusahaan properti besar. Aku bisa mendapatkan informasinya," kata Damon. "Tapi kenapa? Apa rencanamu?""Rencanaku sederhana," balas Luna, kini berbisik dengan nada mengancam. "Aku akan membuatnya merasakan apa yang kurasakan. Aku akan menghancurkan apa yang paling dia cintai." Luna menjeda, lalu menambahkan, "Dan aku tidak ingin kau bertanya-tanya. Aku hanya ing

  • Luna dalam Lara   KUPU-KUPU YANG MEMATIKAN

    Klub malam itu bersinar lebih terang dari biasanya, tetapi Luna, yang kini mengenakan gaun hitam panjang yang elegan dan berbahaya, bersinar paling gelap. Ia telah membuang sisa-sisa Lidya yang tersisa. Wajahnya dipoles sempurna, dan tatapan matanya beku, tanpa jejak kehangatan yang pernah Damon lihat.Ia berjalan memasuki ruangan, dan seketika semua mata tertuju padanya. Ia bukan lagi seorang gadis yang mencari pengakuan; ia adalah Luna, sang Dewi Balas Dendam.Seperti malam-malam sebelumnya, Damon berada di sudut yang sama. Ia mengenakan kemeja sederhana, dan wajahnya tampak pucat karena rasa khawatir. Saat mata mereka bertemu, Damon bangkit, mencoba mendekat.Namun, sebelum Damon sempat melangkah, seorang pria kaya, Tuan Arya, yang sudah lama terobsesi pada Luna, menghampirinya. Luna memberinya senyum yang memikat, senyum yang tidak pernah ia berikan kepada Damon."Luna, kau tampak... luar biasa malam ini," kata Tuan Arya, mencoba memegang tangannya.

  • Luna dalam Lara   JEBAKAN BALAS DENDAM

    Ancaman dingin Luna bahwa ia tidak akan memberinya peringatan kedua menggantung di udara, mencekik Damon. Ia berdiri sendiri di tengah lobi klub yang ramai, pandangannya terpaku pada Rizal yang marah dan Luna yang kejam. Ia tahu, Luna telah memenangkan pertempuran itu, tetapi dengan mengorbankan jiwanya sendiri.Damon segera meninggalkan klub dan kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa tidur. Ucapan Luna, "Dia adalah kakakku," terus terngiang, menjelaskan mengapa wanita yang dicintainya kini bertekad untuk menghancurkan keluarganya.Pagi harinya, pintu apartemen Damon didobrak dengan kasar. Rizal berdiri di sana, wajahnya pucat pasi dan matanya memerah. Ia baru saja dipecat. Tuan Sanjaya, setelah dihubungi oleh Luna dengan dalih profesionalisme dan etika bisnis yang buruk, membatalkan semua kesepakatan dan menyebarkan desas-desus tentang perilaku tidak etis Rizal."Kau tahu, Damon, aku kehilangan segalanya!" teriak Rizal, melempar vas bunga ke dinding. "Pekerjaan

  • Luna dalam Lara   Cinta Yang Terkhianati

    "Jangan sentuh aku!" teriak Luna, suaranya bergetar hebat. Ia menepis tangan Damon yang berusaha meraihnya. Mereka berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan, tetapi bagi Luna, dunia terasa sunyi, hanya ada suara amarahnya sendiri.Damon terkejut. Wajahnya yang semula teduh kini terlihat panik. "Luna, tunggu! Apa yang kamu bicarakan? Kenapa kamu mengatakan itu?"Luna mundur dua langkah, matanya menatap Damon dengan kebencian yang sama besarnya dengan cinta yang baru ia rasakan. Ia melihat bayangan Rizal di mata Damon, dan semua kebaikan yang Damon tunjukkan kini terasa seperti tipuan yang lebih kejam daripada kebohongan Rizal."Kalian semua sama saja!" bentak Luna, air matanya kini mengalir deras, namun itu adalah air mata kemarahan. "Kalian semua hanya bisa merusak hidup orang lain! Kalian semua penuh janji palsu!""Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rizal padamu," kata Damon, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kebingungan. "Tapi aku bukan dia! Aku tidak ada hubungannya dengan ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status