Andai aku tidak menemaninya, cinta ini tak akan tumbuh.
Namun, aku tidak bisa mengabaikannya sendirian.
Aku ingin selalu berguna bagi gadis cacat itu.
***
"Apa? Tolong bilang kalau gue cuman salah denger. Ini tidak nyata. Fatamorgana!"
Sungguh, aku bosan menghadapi sikap dramatis bin alay, Rukly yang tak pernah ada habisnya. Selalu sukses membuat urat kesabaran ini nyaris putus.
Tidak habis pikir dengan Rukly yang memiliki sifat seratus delapan puluh derajat berbeda dari Kak Pandu.
Ketua Osis itu tampak elegan dan dapat diandalkan. Kenapa adiknya malah seperti ini? Ngidam apa ibunya dulu? Apa mungkin Rukly anak pungut?
Oke, itu terlalu kejam. Dirasa tidak mungkin juga, mengingat wajah Kak Pandu sangat mirip dengan Rukly versi lebih dewasa. Perbedaan yang nyata dari keduanya, hanya model rambut.
Kak Pandu memiliki gaya short and spicy. Rambutnya tertata rapih layaknya anggota Brimop. Berbeda dengan Rukly, semraut. Jika ada rajia rambut, Si Jabrik itu pantas masuk zona merah.
"Bener apa kata, Rukly. Masa, lo, tiba-tiba mau ikut English Club, sih, kenapa?" Saga ikut menyumbangkan suara.
Sebulan telah berlalu saat demontrasi setiap klub Sekolah. Semua murid baru pun sudah mulai memakai seragam putih-abu, tidak lagi putih-biru. Kegiatan belajar mengajar mulai dijalankan dengan kondusif, sesuai jadwal. Kegiatan Klub pun akan segera dimulai.
Dua hari yang lalu, aku telah mendaftarkan diri menjadi anggota English Club. Sore nanti setelah pulang, aku ada pertemuan pertama dengan anggota yang lainnya.
"Ya nggak papa. Gue cuman pengen ubah suasana baru aja," kilahku.
Tapi sepertinya kedua sahabatku memiliki bakat terpendam menjadi cenayang, karena dengan beringas, Rukly menyahut. "Bohong. Anda pendusta nanti masuk Neraka."
"Lihat, siapa yang ngomong?!" Aku membalikkan perkataan Rukly.
Heran sekali dengan pemuda ini. Kami tidak lagi satu kelas. Rukly di kelas 10-B, sedangkan aku di kelas 10-D, sama seperti Saga. Namun, sepertinya Adik Pandu itu lebih senang main di kelasku.
Jangan berpikir jika Rukly tidak punya teman. Statusnya sebagai adik Ketua Osis super senpai, membuat Rukly mendadak tenar dalam bayang-bayang kakaknya. Jangan mengira, jika pemuda jabrik itu akan kesal dengan predikat numpang nama.
Sebaliknya, justru Rukly memanfaatkan hal itu dengan bijak, nyerempet gila. Dia mempunyai mata-mata hampir di setiap kelas. Jangankan kelas seangkatan, kelas Kak Pandu pun dibabat habis olehnya.
Mungkin, itu juga yang menjadi alasan Kak Pandu legowo satu sekolah dengan Rukly, karena dia hanya menemani kurang lebih satu tahun. Dalam artian ini tahun terakhirnya di SMA.
Sungguh, beruntung. Sedangkan aku harus menghabiskan tiga tahun bersama Rukly, seperti di SMP dulu. Bedanya, Si Jabrik yang sekarang lebih tidak waras lagi.
Aku hanya mampu berharap tidak ikut gila, mengingat bagaimana Saga terbujuk tipu daya syaiton itu untuk bertingkah nyeleneh macam adiknya Ketua Osis.
"Huu bilang aja lo mau se-klub ama cewek cacat itu," ungkapnya. "Pake alesan macam-macam. Udah hapal gue."
"Hah? Cewek cacat?" Saga menyahut, rautnya terlihat bingung, sedangkan aku sendiri tidak tahu harus menimpali apa, karena setengah tebakan Rukly adalah benar.
"Cewek cacat itu maksudnya Melga?" tanya Saga.
Rukly mengangguk sebagai konfirmasi.
"Emang dia masuk English Club?"
"Iya," jawab Rukly.
"Lo tahu dari siapa?"
"Dari temen gue."
"Iya, siapa?"
"Ada-lah, gak usah disebutin namanya."
Benarkan dugaanku. Rukly mempunyai banyak mata-mata. Mungkin dia terobsesi menjadi detektif. Lihat saja rambut jabriknya mirip serial anime.
Aku mendecak jengkel, sebagian karena tebakannya itu, aku tidak suka mereka mencampuri urusanku, tapi aku juga tidak ingin mundur.
Rasa penasaran ini tidak bisa kuhentikan.
"Nggak ada hubungannya ama dia 'kan!?" ujarku.
"Wleee, kayak kita bakal percaya aja," ejek Rukly.
"Bodo amat!"
"Tapi serius dulu," sahut Saga. "Kalau Lo ikut English Club terus klub basket gimana?"
"Bener tuh." Rukly menimpali seraya menjentikkan jari. "Gue nggak mau kalau gak ada, lo, Rey!"
Aku tersenyum miring. "Lo bedua kayaknya cinta mati ama gue, ya?"
Sontak Saga dan Rukly saling pandang, lalu adik Pandu dengan drastis pura-pura muntah. "Dih! Najong. Gue normal!"
Seperti biasa, Rukly menanggapi dengan excited, sedangkan Saga hanya menaikan alis tanya.
"Ya udah jangan banyak protes," seruku. "Gue bakal tetep di tim basket juga."
"Lah, katanya mau ikut English," sahut Rukly. "Jadi yang bener yang mana?"
"Dua-duanya."
"Kemaruk."
"Hm. Lagian 'kan bebas pilih lebih dari satu klub juga."
Kulihat kedua temanku saling lirik. Mungkin, mereka baru mengingat wejangan Ketua Osis saat MOS dulu.
Maklum saja, keduanya tidak pernah mau mendengarkan, terutama Rukly, yang terus membantah kakaknya tiada mengenal lelah.
Kami melanjutkan kembali obrolan hingga bel masuk berbunyi.
***
Waktu berputar bagai bumi dengan porosnya. Kini jam menunjukan pukul 15.30 atau setengah empat. Masanya pulang sekolah. Aku telah menolak tawaran pulang Saga dengan mengatakan padanya jika ada pertemuan Klub dan meminta pemuda berkulit putih itu untuk pulang bersama Rukly.
Berbeda dengan Rukly, Saga sedikit tenang. Tidak bertanya macam-macam layaknya Adik Pandu yang berkicau setiap saat, dia justru langsung pergi setelah berpamitan.
Kini aku sedang menunggu tutor, yang akan mengajarkan bahasa Inggris pada anggota baru English Club. Tidak banyak murid yang ikut klub ini. Mungkin hanya ada sekisaran dua puluh orang. Termasuk Melga di dalamnya.
Gadis berkacamata itu duduk di ujung. Tepat samping kananku. Jelas saja tidak ada yang mau duduk dekat dengan Melga. Mungkin murid yang lain sudah lebih dulu risih melihat tongkat besinya.
Tidak lama kemudian, datang kakak kelas yang meminta kami memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. Satu-persatu anggota baru mulai memperkenalkan diri sampai giliranku tiba.
"Helo, Everyone. Permission to introduce myself, my name is Reyfan Wardana. Iam grade 10-D."
"Wow, inggris kamu boleh juga!"
"Terima kasih, Kak."
Sekarang giliran Melga yang memperkenalkan diri. Aku kira gadis itu akan pandai berbahasa Inggris. Ternyata dia lebih parah dari Rukly. Pelafalan Inggrisnya sungguh kacau. Dia bahkan tidak bisa menterjemahkan kalimat sederhana yang dikatakan Kak Devi. Nama mentor yang tadi memujiku.
Ternyata benar pribahasa, don't judge by cover of the book, itu nyata.
Aku mengira Melga, gadis pintar. Ternyata sebelas dua belas dangan Rukly. Kegiatan English Club pun terus berlanjut, hingga senja mulai menyapa.
Satu per satu anggota klub beranjak pulang, menyisakan diriku dengan Kak Devi yang tadi meminta untuk menunggu.
"Ada apa, Kak?" tanyaku padanya.
Tapi tidak sedikitpun mata beralih dari tempat gadis tongkat ang melangkah siput menuju Aula. Seperti hari-hari sebelumnya, Melga menunggu sopir menjemput.
"Eh, anu ... menurut, Reyfan aku gimana?"
"Hm maksud, Kak Devi?"
Berpura-pura bodoh. Tentu aku tahu dengan jelas maksud gadis berambut ikal ini. Dia akan mengutarakan cinta.
Bukan aku narsis, apa lagi sok ngartis. Aku sering mengalami ini di SMP saat hendak ditembak, padahal aku sendiri tidak mengerti akan cinta.
Ironis bukan?!
"Ng ... itu ... aku cantik nggak?"
"Lumayan."
"Baik nggak?"
"Iya."
"Terus aku__"
"Maaf, memotong. Tapi saya harus pulang, Kak."
"Eh, iya. Maaf! Sebelum itu ... kamu ... udah punya pacar belum?"
"Udah," dustaku.
Aku hanya tidak ingin masalah ini merambat sampai menganggu ketenangan hidupku. Lagian Kak Devi juga aneh, kami baru bertemu tadi, tapi sudah blak-blakan begini.
Selepas berpamitan pada Kak Devi yang membisu. Seolah-olah terguncang dengan pengakuan palsuku, fokus sekarang hanya menuju tempat Melga yang masih menunggu jemputan.
"Belum dijemput?" sapaku berdiri menyandar tiang.
"Iya, Mang Agus kayaknya ke tiduran lagi."
"Udah ditelpon?"
"Udah."
Keheningan melanda.
Aku bukan tipe yang bisa berbasa-basi. Sepertinya Melga pun cukup pendiam. Namun, kenapa saat berbincang dengan Manda, dia tampak cerewet sekali, dan sorot matanya terlihat hidup.
Beda dengan sekarang yang penuh kehampaan dan ....
Keraguan?!
Entahlah, aku tidak yakin.
"Reyfan nggak pulang?"
Pertanyaan Melga kembali membuatku pokus menatapnya. Apa yang dia tanyakan sama seperti yang ada di kepalaku. Aku sendiri tidak tahu kenapa berada di sini.
Mungkinkah ingin menemani Melga sampai jemputannya datang?!
Tapi untuk apa aku melakukan itu. Aku 'kan tidak menyukainya. Iya 'kan?
Cinta pandangan pertama itu bulshit!
Beruntung setelahnya suara klakson mobil terdengar. Melga bangkit berpamitan dan berjalan menuju silvernya. Aku pun ikut melangkah pulang ke rumah. Berharap besok akan lebih baik dari hari ini.
Jika bisa, aku tidak ingin terus memikirkan gadis tuna daksa itu. Namun, hatiku mengkhianati. Aku terus memikirkan Melga.
Tuhan ... apa yang akan terjadi jika aku mendekatinya?
Andai aku tidak berusaha kerasCinta ini tak akan menghancurkanTapi aku tidak tega membiarkan gadis tuna daksa itu menanggung masalahnya sendiri***"Hm ... Gue salah ngomong, ya?""Tidak, kok."Aku mengerutkan alis. Saat itu, aku tak mengerti apapun. Yang bisa kulakukan hanya gumaman tak jelas. Apalagi reaksi yang dia berikan adalah kekehan kecil.Melga mengukir senyum manis. Sesekali bibir itu melantunkan tawa kecil, seakan geli. Tapi kebahagiaan tak sampai padaku. Justru hanya ada sesak."Oh ya, Reyfan.""Apa?" tanyaku.Sungguh! Perjalanan ke ruang guru yang seharusnya cepat, jika bersama Melga sangat lambat. Tapi aku menikmati setiap langkah, bahkan mengharapkan ini tidak segera berakhir.Kutuklah aku karena berharap dia berjalan seperti siput selamanya, agar kebersamaan ini tak tergerus waktu."Selamat atas perlombaan karate bulan lalu," ungkapnya. "Maaf, baru bisa bilang seka
Andai aku tidak mengatakannya, rasa sesak ini tidak akan bertambah.Tapi mengetahui jika dirinya dimanfaatkan, aku emosi.Aku ingin gadis tuna daksa itu tahu, kalau dia berharga.***“Ciee yang liburansemesternya di Jawa Timur. Bahagia banget pasti," goda Rukly.“Tahu nih," sahut Saga. "Katanya gak mau ikut karena biayanya mahal, ternyata udah lunas aja bayarannya."“Wah, pasti pengendeketin gebetan, tuh.”“So pasti, Ly.”Aku mencebik kesal mendengar suara sumbang sahabatku. Mereka kompak bersahut-sahutanmenghakimi keputusanku untuk ikut study tour.Memang, kenapa jika akumengikuti kegiatan itu karena in
Andai aku tidak menemaninya, telinga ini tidak akan mendengar hujatan dunia.Tapi hatiku tidak bisa membiarkan dia seorang diri.Aku ingin selalu melangkah bersama gadis tuna daksa itu. ***Sore Hari ...Alunan suara musikberderu beriringan dengan manusia hilir mudik tak tentu arah, mereka sibuk mengurusikegiatan masing-masing. Hiasan kain dan bunga memenuhi area yang dijadikantempathajatan.Menurut informasi dari Bapak, pesta kali iniuntuk merayakan pernikahan putri kedua Pak Resno.Tidak heran jikaacara dilakukan dengan sangat meriah, mengingat Pak Resno salah satu orangterkaya di daerah tempatku tinggal, terlebih Bapak lima anak itu terkenal dengan sifat dermawan.
Andai aku tidak menolongnya, rasa ini tidak akan menjerat...Tapi melihatnya terus dicecar makian membuat hatiku ikut sakit.Aku ingin menjadi sandaran untuk gadis tuna daksa itu. ***Berjalan berdua dengan Melga mengingatkan akan kejadian kamus dulu. Tapi situasi kali ini berbeda, sebisa mungkin aku menyingkirkan perasaan bersalah itu.Saat tiba di UKS, aku menjulurkan tangan meraih gagang pintu dan mendorongnya pelan sambil mengucapkan salam."Assalamu'alaikum...""Wa'alaikumsalam."Sayup-sayup terdengar Melga menjawab, sedangkan dalam ruangan tidak terdengar apapun. Benar saja, ruangan itu kosong tanpa tanda kehidupan.Aku mempersilakan Melga untuk masuk lebih dulu. Gadis i
Andai aku membiarkan dia sendiri, cinta ini tidak akan menjeratku...Tapi aku tak suka mendengar mereka berlaku kurang ajar.Aku ingin menjadi pahlawan untuk gadis tuna daksa itu. ***Aku tidak kuat melihatnya dalam posisi itu. Hingga kejadian yang ditakutkan terjadi.Cairan kimia itu tumpah mengenai tangan Melga disusul jerit kesakitan dan panik menggema memenuhi ruangan.Guru yang bertugas pun mengambil alih situasi dengan memarahi teman sekelompoknya yang hanya bisa tertunduk.Bu Aulia---Guru Biologi pun memerintahkan mereka untuk membawa Melga ke UKS. Dengan langkah yang setengah hati, merekamembimbing dia menuju pintu keluar.Sontak,aku yang semula mematung di amban
Andai sorot mata ini tidak terpaku padanya...Rasa sesak ini tidak akan membunuhku secara perlahan.Tapi aku ingin selalu ada di dekat gadis tuna daksa itu.***Rasa penasaran saat melihatnya duduk sendirian di aula, tak pernah hilang barang sedetik pun. Sepertinya aku telah terjebak pada rasa ingin tahu yang begitu tinggi.“Ck! Bukannya dijawab malah ngelamun lagi," gerutu Saga."Pasti lo lagi mikirin Melga, kan?Gue denger lo juga jarang masuk English Club lagi? Apa karena dia?”“Sumpah, deh! Losejak kapan bawel kayak Rukly?!” keluhku pura-pura kesal. “Biasanya kalem adem, enggak pernah suka ikut campur hal ribet kayak gitu.”“Lah, gue serius. Lokan so