Andai aku melupakannya, cinta ini tak akan mengikat... Tapi kebaikan hatinya menjerat kuat.Aku tak bisa berpaling dari gadis tuna daksa itu. *** "Hoy, Reyfan. Lo bawa Kamus Inggris, gak?"Baru saja tiba di kelas, aku sudah ditodong pertanyaan seperti itu oleh Saga. Meski bingung tentang konteksnya, aku menggeleng sebagai konfirmasi. Saga pun tersenyum cerha. "Syukur, deh." "Emang kenapa?" tanyaku. "Lo lupa? Minggu lalu kan Mister Robert nyuruh kita bawa kamus satu orang satu," terang Saga mengingatkan. "Yang kagak bawa dilarang masuk kelasnya." Aku termangu, mencoba membuka memori kejadian sebelumnya, terlalu sering memikirian Melga, aku jadi lupa kewajiban sebagai pelajar. "Astaghfirullah! Gue lupa." Aku menepuk jidat pelan. "Lo sendiri bawa gak?" "Enggak. Makanya gue tanya lo," jawabnya membuatku merasa sedikit lega. Jahat memang, tapi setidaknya aku memilih teman seperjuangan. "Terus gimana?" tanyaku. "Cari ke kelas lain-lah, mumpung belum bel," usul Saga.
Andai aku tidak menemaninya, cinta ini tak akan tumbuh.Namun, aku tidak bisa mengabaikannya sendirian.Aku ingin selalu berguna bagi gadis cacat itu.***"Apa? Tolong bilang kalau gue cuman salah denger. Ini tidak nyata. Fatamorgana!"Sungguh, aku bosan menghadapi sikap dramatis bin alay, Rukly yang tak pernah ada habisnya. Selalu sukses membuat urat kesabaran ini nyaris putus. Tidak habis pikir dengan Rukly yang memiliki sifat seratus delapan puluh derajat berbeda dari Kak Pandu. Ketua Osis itu tampak elegan dan dapat diandalkan. Kenapa adiknya malah seperti ini? Ngidam apa ibunya dulu? Apa mungkin Rukly anak pungut?Oke, itu terlalu kejam. Dirasa tidak mungkin juga, mengingat wajah Kak Pandu sangat mirip dengan Rukly versi lebih dewasa. Perbedaan yang nyata dari keduanya, hanya model rambut. Kak Pandu memiliki gaya short and spicy. Rambutnya tertata rapih layaknya anggota Brimop. Berbeda dengan Rukly, semraut. Jika ada rajia rambut, Si Jabrik itu pantas masuk zona merah."Bener
Andai aku tidak peduli, cinta pahit ini tidak akan menenggelamkanNamun, melihat kesulitannya membuatku tak tega.Aku ingin lebih peduli dengan gadis cacat itu.***"Maaf, boleh minta waktunya sebentar, Kak Pandu?" Ketua Osis berbalik menatap Melga setelah mengakhiri pertengkaran kecilnya dengan Rukly, yang sejak kedatangan Melga mendadak menutup mulut rapat. Rukly terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya.Aku tidak mengerti. Sikap Rukly jauh dari kata biasa, terlebih dengan terang-terangan pemuda itu menyingkir menjauhi Melga, dan berdiri di sampingku.Apa benar Si Jabrik ini merasa jijik dengan fisik Melga yang cacat?Tapi jika iya, tidak harus menunjukan secara tersirat. Tindakan Rukly tadi, bisa saja membuat gadis imut itu sakit hati.Tunggu! Kenapa aku peduli?Dengan mengembuskan nafas pelan, aku mencoba mengatur pikiranku agar tidak terhayut pada rasa penasaran yang melenakan.Ingatlah! Bukan urusanku jika Rukly mau jijik atau pun benci pada Melga. Tidak ada untungnya juga unt
Andai aku mempertahankan ego, perasaan sesak ini tidak akan mengganggu.Namun, rasa penasaranku mengkhianati.Hatiku tertambat untuk terus mendekati gadis cacat itu.***Waktu berlalu seperti air mengalir. Ini adalah hari terakhir kegiatan masa orientasi siswa. Para anggota osis hilir mudik mengurusi sesuatu entah apa, Kak Pandu pun selaku Ketua Osis sedang berbicara dengan Kepala Sekolah."Hoy Reyfan!”Suara sapaan itu membuatku menoleh ke sumber suara untuk seorang siswa melambaikan tangan sambil berkata, “Ayo, duduk sini!"Aku pun melangkah menghampirinya. Sebelum bel berbunyi tanda upacara closing dimulai, lebih baik aku mengistirahatkan diri, duduk bersama temanku yang duduk di samping Rukly. Dialah Sagara Hardiano.Melihat keduanya, aku jadi teringat pembicaraan tempo hari.Saga bertanya perihal kejadian saat aku menyapa Melga. Pemuda berambut cepak itu mendengar gosip di kalangan murid baru, bahwa aku akrab dengan Melga, kemudian dengan kurang ajarnya, Rukly pun memberitahu kej
Andai aku tidak menyapanya, rasa sakit ini tak akan ada.Tapi saat melihatnya sendirian, aku ikut sakitAku tidak ingin seperti mereka yang menjauhinya, karena dia cacat***"Ribet amat kakak kelas nyuruh dandan kayak gini kek badut.”Aku hanya mampu menghela napas mendengar gerutuan sahabat baikku, Rukly Senjara. Sejak menginjakan kaki di Area Sekolah, tak henti-hentinya pemuda berambut jabrik itu mengoceh, memprotes tindakan anggota osis yang meminta murid baru mengenakan astribut untuk masa orientasi siswa (MOS) di sekolah kami. Dua hari yang lalu, Ketua Osis mengumumkan untuk membuat benda yang akan gunakan saat masa pengenalan sekolah, berupa topi karton, tas karung, kalung permen dan papan nama dari kardus. Penampilan kami jauh dari kata rapi, terlebih untuk para siswi disuruh mengikat rambut panjang sebelah. Mereka terlihat seperti anak kecil yang baru belajar menata rambutnya sendiri, meski ada juga beberapa yang imut. "Ngapain pake acara mos segala, sih. Kagak guna sumpah
Dia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisuDia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?Dia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisuDia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?Aku mengingat jelas kalimat penolakannya, saat aku mengutarakan cinta dulu. "Kamu tidak pernah mencintaiku!" Pernyataan tegas yang digaungkan setiap bibirku melantunkan bahasa cinta. Seakan-akan dia mengetahui isi hatiku, bahwa aku tidak serius mencintainya.Bahwa aku ha