“Ren, itu saudara kamu muntah-muntah di belakang. Sebentar lagi kita kondangan sekalian nengok bayi ini,” celetuk Shela yang baru saja kembali dari toilet.
“Dasar Vani, pacaran kok sampai kebobolan kayak anak sekolah aja. Tinggal nikah apa susahnya, sih? Ke KUA doang kan gampang,” timpal yang lain.“Pacaran sama suami orang dia, makanya susah sendiri. Kalian jangan coba-coba ikutan, ya. Dilabrak istri sah baru tahu rasa!” Rena memperingatkan seraya melangkah keluar meninggalkan dua wanita yang mencondongkan bibir membentuk huruf O.Rena melangkah cepat menuju toilet yang berada di belakang gedung. Ia tahu Vani tak mungkin menggunakan toilet dalam karena malu jika suara muntahnya terdengar staf yang lain. Meskipun tak pernah memberitahu, tapi semua orang yang bekerja di kantor itu tahu jika Vani tengah berbadan dua dan nahasnya mereka menganggap semua itu hal yang wajar. “Nikmat, kan, jadi wanita hamil?” ucap Rena seraya memijat tengkuk Vani yang masih terus menunduk di atas wastafel.“M-Mbak Rena.” Vani terlihat ketakutan saat melihat bayangan wanita dari cermin besar di hadapannya. Ia merasa seperti tercekik padahal Rena mengusap tengkuknya dengan sangat lembut.“Sayangnya Mas Danu susah diajak gerak cepat. Tapi tenang saja, aku akan berusaha lebih keras lagi agar kita bisa segera berpisah. Sabar ya, Sayang, ayahmu itu enggak sat set, beda dengan saat bikin kamu.” Rena mengusap lembut perut Vani.Sebagai saudara sekaligus teman kerja, Rena dan Vani memang bisa dibilang sangat dekat. Tumbuh bersama sejak kecil membuat Rena menganggap Vani sebagai adiknya sendiri. Meski hanya sepupu tiri tapi mereka bak saudara kandung yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan pekerjaan Vani sekarang ini juga buah usaha Rena. Itulah mengapa permasalahan ini begitu menyakitkan untuk Rena hingga ia tak sudi mengeluarkan air mata.“Mas Danu sudah setuju mau tanggung jawab, Mbak. Tapi dia tak mau menikahi aku. Dia cuma cinta sama kamu,” ungkap Vani.“Jangan jadi cewek bodoh, kamu mau jadi jalang? Lagian aku enggak mau sama bekas orang. Walaupun kita sering berbagi baju, sandal, tas, make up, tapi aku enggak mau berbagi lelaki. Mas Danu buat kamu saja. Aku bisa cari yang lain, kok.” Rena menyodorkan segelas teh hangat yang sengaja dibawanya.Dengan tangan gemetar Vani menerima pemberian Rena dan menyeruputnya sedikit berharap rasa mual diperutnya bisa cepat menghilang. “Sekali lagi maafin aku, Mbak.” Mata Vani mulai berkaca-kaca. Sikap baik Rena membuatnya terus merasa berdosa karena telah tega merebut suaminya.“Tak perlu mengucapkan banyak minta maaf, kata maafmu tak akan bisa memutar waktu.“Tapi, Mbak.”“Aku hanya minta kamu sedikit bersabar karena sepertinya proses perceraian kami akan sedikit lambat. Pacarmu sangat keras kepala.” Rena menepuk bahu Vani kemudian berjalan keluar.Sebenarnya Rena sudah ingin berhenti bekerja namun ia mengurungkan niatnya saat mengingat masa depannya yang akan menjadi janda yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri serta kedua anaknya. Sedangkan mencari pekerjaan saat ini bukanlah hal yang mudah apalagi untuk wanita beranak dua seperti Rena.**“Besok undangan sidang pertama, aku harap kamu mau menyempatkan diri untuk datang.” Rena menyerahkan meletakan sebuah kertas yang dilipat di hadapan Danu.“Aku tak akan datang! Biar saja hubungan kita tak jelas asal kau tak bisa pergi dari sini.” Danu meremas kertas tersebut lalu melemparnya kasar.“Siapa bilang aku enggak akan pergi? Jika dalam tiga bulan hubungan kita tak ada kejelasan, aku akan tetap angkat kaki dari rumah ini. Kamu kira aku kuat terus berpura-pura baik di depan anak-anak?”“Terserah!”“Tenang saja, aku tak akan menuntut harta gono-gini. Aku hanya kasihan dengan Vani jika selama hamil ia tak sempat dimanja olehmu.”Seketika Danu meradang, ia sudah tak tahan dengan ucapan Rena yang selalu memojokkannya. Istrinya yang dulu bersikap penyayang dan selalu bertutur kata lembut kini telah berubah bak monster yang sangat menakutkan. Meski di luar ia masih bisa tersenyum manis, namun saat berdua sikapnya seketika berubah garang.“Kamu bilang apa, hah? Vani, Vani dan selalu Vani yang kamu bahas. Apa satu kesalahan yang aku lakukan langsung menutup semua kebaikan yang aku lakukan selama ini?” Danu mencekal kedua tangan Rena begitu kuat hingga wanita itu meringis kesakitan.Selama menjadi suami, Danu memang tak pernah sekalipun bersikap kasar pada Rena. Setiap permasalahan yang menerpa keluarga mereka selalu ia bicarakan dari hati ke hati tanpa marah atau kontak fisik yang menyakitkan.“Pukul saja aku, Mas! Pukul! Atau bunuh saja aku sekalian biar aku tak selalu merasakan sakit,” ucap Rena tertahan, ia tak mau kedua anaknya yang sedang bermain di luar mendengar pertengkaran orang tuanya.Air mata yang sudah sejak lama Rena tahan akhirnya luruh juga bersamaan dengan rasa sakit melihat sikap kasar dan wajah garang yang ditunjukkan oleh Danu.“Maaf ...” Seketika Danu melepaskan tangannya. Ia paling tak bisa melihat wanita yang begitu dicintainya merasa kesakitan.“Sejak pertama berkenalan, baru kali ini kamu begitu menyakitiku. Dan aku berharap ini menjadi yang terakhir. Tolong jangan membuatku hidupku semakin sulit, Mas. Mari kita berpisah secara baik-baik. Aku tak keberatan jika setelah ini kita masih berhubungan baik. Masih ada Hana dan Hafiz yang menjadi alasan kita terus bersama meski hanya sebagai orang tua, bukan sebagai pasangan.”Rena terus berusaha menata hatinya agar tetap tenang. Lebih dari sepuluh tahun hidup bersama, membuat Rena sangat paham bagaimana cara bicara yang baik pada lelaki yang sebentar lagi menjadi mantan suaminya.“Baiklah jika itu maumu, tapi aku minta malam ini kamu melakukan harus melakukan kewajibanmu sebagai istri untuk yang terakhir kali. Anggap saja itu sebagai kenangan indah dari pernikahan yang pernah kita jalani,” Danu menyeringai.Rena bergidik ngeri mendengar permintaan Danu. Bagaimana mungkin ia mau melakukan semua itu jika mengingat jika suaminya juga pernah melakukannya dengan Vani. Bahkan jika bukan karena terpaksa, untuk bersentuhan saja ia sangat jijik.“Emm ...”“Mama, ada paket!” teriak Hafiz sembari mengetuk pintu kamar.Rena yang sedari tadi dilanda rasa bingung, langsung beranjak untuk segera membuka pintu. Bak malaikat penyelamat, teriakan Hafiz berhasil membuat Rena bisa keluar dari situasi buruk.“Paket dari siapa, Sayang?” Sebisa mungkin Rena mengatur wajahnya agar terlihat manis di hadapan kedua anaknya.“Enggak tahu, Ma. Coba buka.”Rena menyambar kotak berukuran sedang berwarna biru yang dihiasi pita cantik berwarna putih dari tangan Hafiz lalu membukanya. Matanya membelalak saat melihat beberapa batang coklat juga sebuah kotak kaca berisi coklat kecil berbentuk hati.“Wah, coklat ..., kalian mau coklat?” Rena menunjukkan kotak itu pada kedua anaknya setelah menyambar kartu ucapan berwarna merah yang menyertainya.Mata Hana dan Hafiz seketika berbinar dan langsung menyambar semua isi di kotak tersebut. “Mama minta satu, dong, yang gambar hati itu.” Rena berjongkok dan membuka mulutnya.Seketika Hafiz membuka kotak kaca ditangannya dan menyuapkan sebuah pada mulut mamanya.“Terima kasih, Sayang. Makannya sambil duduk, ya, setelah itu gosok gigi biar enggak sakit gigi,” perintah Rena agar kedua anaknya pergi dari depan kamarnya.Rena berbalik setelah memastikan kedua anaknya telah duduk di depan televisi. Ia merogoh saku dasternya lalu membuka kertas kecil yang tadi diambilnya.[Meski tak bisa menyembuhkan lukamu, semoga sekotak makanan manis ini bisa sedikit mengembalikan senyummu. -H-]Rena tersenyum membaca deret huruf yang ditulis rapi dalam kartu ucapan itu. Ia tahu betul siapa pengirim paket tersebut.“Apa itu dari Hendri?” tanya Danu yang kini tengah bersandar di pintu kamar.“Tahu aja.”“Sejauh apa hubungan kalian?”“Seperti saudara pada umumnya, kenapa?”Danu menyambar kertas tersebut membacanya sebentar lalu menyobeknya menjadi beberapa bagian sebelum menghamburkannya.“Kenapa disobek? Sakit hati?” tebak Rena.“Itu tahu.” “Begitu saja sudah sakit hati, padahal hanya kertas dan coklat. Bagaimana jika benih anak?”Bayangkan saja, Danu. Bayangkan!Rena mengembuskan nafas lega saat tumpukan berkas di meja telah diangkut ke ruang atasannya. Setelah meregangkan badan sebentar ia kembali duduk sembari mengecek ponselnya yang sejak tadi sama sekali tak tersentuh. Pekerjaannya sebagai petugas analisa kredit di sebuah bank pembiayaan yang sedang berkembang cukup menguras tenaga dan pikirannya. Terkadang ia sampai harus lembur jika banyak nasabah yang mengajukan pinjaman.Semenjak keadaan keluarganya tak baik-baik saja, Rena lebih senang berlama-lama di kantor meski pekerjaannya telah selesai. Terkadang demi mengulur waktu, ia memilih nongkrong di cafe depan kantor dari pada harus pulang cepat dan terus melakukan sandiwara sebagai pasangan romantis di depan anak-anaknya.Rena tersenyum getir saat melihat foto-foto kebersamaannya dengan Danu yang telah tersimpan lama di ponselnya. Lebih dari seribu foto sejak pacaran, menikah, melahirkan Hafiz hingga Hana semua tersimpan rapi di folder yang ia beri nama ‘sweet family’. Namun tak lama ke
“Mas Danu selingkuh, Ma,” ucap Rena tertunduk di depan Bu Siti – ibu mertuanya.“A-Apa?” Bu Siti terperanjat, berharap perkataan yang baru saja ia dengar hanyalah bualan belaka.“Mas Danu selingkuh dan wanita selingkuhannya sedang hamil sekarang.” “Kamu enggak bohong, kan?”Rena menggeleng. “Mereka sudah mengakui semua, bahkan tanpa aku tanya.”“Astaga, Danu! Memalukan sekali!”Wanita yang masih terlihat cantik meski hampir memasuki usia senja itu terlihat frustasi. Ia tahu sebuah perselingkuhan apa lagi sampai menghamili anak orang adalah perbuatan yang sangat fatal. Mereka yang berbuat, orang lain yang merasakan sakitnya.“Aku sudah menggugat cerai Mas Danu, Ma, maaf baru bilang sekarang. Aku benar-benar sedang tak bisa berpikir jernih. Apalagi selingkuhan Mas Danu adalah Vani.”“Vani sepupu kamu?” tebak Bu Siti.“Iya, Ma.”“Benar-benar keterlaluan dia! Tega-teganya dia merusak rumah tangga saudaranya sendiri. Dasar wanita tak tahu malu! Meskipun dia mengandung anak Danu, sampai k
Waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam saat Rena menyeret dua buah koper besar keluar dari kamar yang lebih dari sepuluh tahun ia tempati. Dengan langkah pasti ia langsung melengang menuju taksi online yang sudah nenunggunya di luar. Sejam yang lalu kedua anaknya telah dijemput oleh nenek dan kakeknya untuk tinggal sementara dengan mereka. Meski berat, tapi itu sudah menjadi permintaan keduanya terutama Hafiz.“Jangan khawatir, Ma. Aku sama Hana baik-baik saja, kan kita sudah biasa tinggal di rumah nenek saat Mama dan Papa bekerja,” ucap Hafiz saat berpamitan tadi.“Maafin mama ya, Sayang.” Rena memeluk keduanya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tak mengeluarkan air mata agar anaknya tak terlalu khawatir. Sebenarnya Rena ingin membawa kedua anaknya pergi bersamanya tapi pasti akan menimbulkan masalah baru karena Danu pasti melarangnya. Bukannya tega, tapi ia butuh sedikit waktu untuk mempersiapkan tempat yang nyaman bagi mereka berdua.“Apa kita harus berakhir seperti ini?” tanya D
Vani mengelus perutnya yang masih rata, berkali-kali ia mengecek aplikasi penghitung umur kehamilan di ponselnya dan melihat perkiraan gambar janin yang ada diperutnya. Ia mengoleskan minyak angin aroma terapi untuk sedikit mengurangi sakit kepala dan mual yang selalu dirasakannya. Semenjak berbadan dua, kesehatannya menurun drastis sehingga ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ditambah lagi dengan sindiran demi sindiran yang Rena dan teman-temannya lontarkan, membuatnya tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berada di tempat kerja.“Mas, aku hamil,” ucap Vani saat meminta Danu menemuinya sebulan yang lalu.“Apa? Kamu hamil? Bukannya kita selalu hati-hati saat melakukan semua itu?” jawab Danu tak percaya.“Aku juga enggak tahu, Mas. Gimana ini, Mas?” “Oke, aku akan tanggung jawab tapi jangan sampai Rena tahu masalah ini. Sementara kita akan menikah siri dan aku akan menanggung hidupmu mulai saat ini.” “Tapi, Mas, kalo kita hanya menikah siri, anak ini tak akan punya peng
Danu melempar batang rokok kelimanya ke sembarang lalu menginjaknya kasar. Sudah hampir dua jam ia hanya duduk di atas motor sembari memperhatikan rumah besarnya yang kini terasa sunyi dan sepi. Biasanya saat ia pulang, akan di sambut oleh jeritan Hana yang selalu diganggu oleh Hafiz dan disusul teriakan Rena yang sedang melerai mereka berdua. Namun kini semua tak ada lagi, kini ia hanya disambut suara jangkrik dan beberapa binatang malam.“Pulang saja ke rumahmu, kami tak sudi menampungmu di sini,” ucap lelaki yang tak lain adalah ayahnya saat Danu mencoba pulang ke rumah orang tuanya.“Tapi, Yah, di rumah sepi,” tolak Danu.“Sepi malah bagus, biar kamu bisa berpikir jika perbuatanmu telah menghancurkan segalanya. Rena dan kedua anakmu telah menjadi korban perbuatan bejatmu yang tak bisa mengendalikan nafsu!”“Maafin Danu, yah ...”“Percuma saja minta maaf, semuanya sudah berakhir. Sebenarnya apa kurangnya Rena sampai kamu bermain-main dengan wanita lain, hah?”Lelaki yang biasanya
“Mbak, jalan yuk!” ajak Hendri yang baru saja datang.“Tumben waras, manggil mbak.”Rena yang sedang mengepel lantai teras langsung memandang tajam pada lelaki yang baru saja membuka helm. Hampir setiap Sabtu pagi Hendri datang ke rumahnya jika tahu ia tak kerja lembur.“Jangan naik dulu, lantainya masih basah!” cegah Rena yang melihat kaki Hendri hampir naik ke teras rumahnya.“Ish, pelit banget, sih! Kakiku bersih tahu, Lihat, nih!” Hendri menunjukkan telapak kakinya.“Diam situ dulu,” perintah Rena sebelum bergegas masuk.Hampir lima belas menit di dalam rumah, Rena kembali dengan keadaan yang lebih segar karena baru saja mandi. Ia terkejut saat melihat Hendri masih berdiri di tempat yang sama sembari mengutak-atik ponselnya.“Ngapain kamu masih berdiri di situ? Latihan upacara?” tanya Rena ketus.“Jangan galak-galak, Mbak! Nanti cepat tua.”“Emang aku udah tua!”“Tapi masih cantik, kok.” Hendri mengedip-ngedipkan matanya.“Duduk! Aku mau ngomong sama kamu.” Rena menjatuhkan bobotn
Rena mengembuskan nafas lega saat semua pekerjaan rumahnya telah selesai. Ia membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air lalu menenggaknya langsung dari botolnya. Seperti biasa di akhir pekan seperti ini ia akan membereskan dan membersihkan setiap sudut rumah yang tak bisa dikerjakan di hari kerja. “Siapa mau mangga?” tanya Rena sembari menyodorkan sepiring buah mangga yang telah dipotong kecil-kecil di depan kedua anaknya.“Aku ...” Hana segera meletakkan bonekanya dan langsung menyambar garpu kecil di atas piring dan mulai menyuapkan sepotong demi sepotong buah beraroma manis itu ke dalam mulutnya.Berbeda dengan Hana, anak sulung Rena yang sedang tidur tengkurap tetap bergeming sambil terus memainkan ponselnya. Semenjak kedua orang tuanya bercerai, sikap Hafiz memang berubah drastis. Dia yang biasanya banyak bicara dan selalu mengganggu adiknya saat di rumah, kini lebih banyak diam dan menghabiskan sebagian waktunya untuk bermain ponsel yang beberapa minggu yang lalu dib
Suasana hening menyelimuti sebuah ruangan bernuansa putih berbau menyengat khas obat-obatan tempat Vani dirawat. Dua orang yang berada di ruangan itu terus terdiam seolah tak saling mengenal. Hampir setengah jam bersama, namun tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka.“Anak kita sudah enggak ada, Mas. Mulai sekarang kamu bebas menentukan pilihanmu. Aku tak akan memaksa kamu menikahiku, aku tahu lebih dari separuh hatimu masih diisi Mbak Rena,” ucap Vani yang akhirnya membuka suara meski matanya lebih memilih melihat tembok berlapiskan keramik disampingnya ketimbang memandang lawan bicaranya.“Jangan terlalu banyak pikiran, yang terpenting sekarang bagaimana agar kesehatanmu cepat pulih,” jawab Danu lembut.Sejak mengetahui jika janin dalam kandungannya tidak berkembang, Vani memang sudah pasrah jika Danu mungkin saja akan membatalkan rencana pernikahan mereka. Ia bahkan sudah tak bisa berharap lebih karena semenjak awal berhubungan dengan Danu, perasaan lelaki pada istrinya