Share

MAAF, AKU SELINGKUHAN SUAMIMU, MBAK
MAAF, AKU SELINGKUHAN SUAMIMU, MBAK
Penulis: Putri putri

MAAF, AKU SELINGKUHAN SUAMIMU, MBAK

“Maaf, aku adalah selingkuhan suamimu, Mbak.” Vania membuka suara.

Sejam yang lalu ia memberanikan diri menemui Renata, kakak sepupunya untuk memberi tahu sebuah rahasia yang setahun ini ia sembunyikan. Sebenarnya hal ini sangat memalukan tapi janin berumur enam minggu yang kini dikandungnya mengharuskannya melakukan semua itu.

“Oh, jadi kapan kalian berencana menikah? Sudah berapa bulan kandunganmu?” tanya Rena tenang.

Vani mendongakkan wajah, ia tak menyangka jika Rena bisa bersikap tenang mendapat kabar yang seharusnya sangat menyakitkan baginya. Ia juga heran dari mana Rena tahu tentang kehamilannya padahal ia sama sekali belum menceritakan hal itu. Padahal sudah hampir dua minggu Vani mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang akan ia terima dari Renata, teman kerja sekaligus keluarganya.

“Apa Mbak enggak marah?”

“Untuk apa aku marah? Aku bahkan tak punya waktu untuk memikirkan itu. Lagian aku masih punya Hana dan Hafiz yang lebih perlu kuperhatikan. Tenang saja, aku akan segera mengurus perceraianku dan kamu akan mendapatkan Mas Danu sepenuhnya.” Rena tersenyum sembari mengelus pipi Vani.

“Aku minta maaf, Mbak.”

“Sayangnya maafmu tak akan mengembalikan keutuhan keluargaku yang telah kamu hancurkan. Tapi tak apa, bukan cuma kamu yang menghancurkannya, Mas Danu juga ikut andil dalam hal itu. Jangan terlalu banyak pikiran agar janinmu tetap sehat. Biasanya saat hamil aku akan dimanja oleh Mas Danu, semoga dengan kamu juga begitu.” 

“Sekali lagi aku minta maaf, Mbak.” 

“Tak masalah, setelah ini aku pastikan Mas Danu memiliki  banyak waktu untukmu. Meskipun kami masih tinggal bersama tapi bisa kupastikan jika hati dan raga Mas Danu hanya milikmu sekarang. Aku pamit dulu, ya.” Rena beranjak lalu pergi setelah menyeruput jus melo didepanya hingga tadar.

Vani menarik nafas dalam setelah tubuh Rena menghilang dibalik pintu kaca. Sejak semalam ia tak bisa tidur memikirkan pertemuannya dengan Rena. Mengakui sebuah kesalahan memanglah tak mudah, apalagi hal itu menyangkut hubungan persahabatan, keluarga dan juga masa depannya.

Kedekatan Vani dan Danu dimulai saat Rena terbiasa menghubunginya melalui ponsel suaminya jika ponselnya sedang dipegang oleh anaknya. Awalnya semua berjalan biasa saja, sebagai sepasang suami istri, berbagi ponsel adalah hal biasa. Namun lama kelamaan Danu mulai berani mengomentari status yang Vani buat. Sebagai seorang gadis lajang, status w******p adalah salah satu media untuk mengungkapkan isi hati. Hampir semua kegiatan dan perasaan yang sedang dirasakan Vani dituangkan dalam sebuah status yang akan mengundang banyak tanggapan dari siapa saja yang membaca dan melihatnya termasuk Danu, suami teman kantornya.

[Cantik sih, tapi sayang jomblo]

Vani ingat betul komentar itulah yang Danu kirimkan saat ia memajang foto dirinya yang berpakaian kebaya saat menghadiri pernikahan keluarganya.

Awalnya ia mengira Rena yang mengirimkan pesan itu, bahkan ia sampai bercerita macam-macam saat itu karena memang mereka sudah terbiasa berbalas pesan dengan nomor Danu. Namun betapa terkejutnya saat Danu mengatakan jika Rena dan kedua anaknya sedang berlibur di rumah orang tuanya. Mulai saat itulah semua malapetaka itu terjadi.

Dimulai dari berbalas pesan, mereka mulai berani melempar perhatian satu sama lain. Memang awalnya hanya bercanda tapi lama kelamaan hati ikut bicara. Sebagai wanita single, Vani merasa bahagia saat mengobrol juga mendapatkan perhatian-perhatian kecil dari Danu. Begitu juga Danu yang merasa mendapatkan penyegaran dari hambarnya hubungan pernikahannya dengan Rena yang sudah berjalan hampir dua belas tahun.

Sebenarnya hubungan mereka sempat terendus oleh Rena, namun dengan cepat Danu dapat memulihkan suasana dengan mengatakan jika ia berbalas pesan dengan Vani untuk meneruskan obrolan yang selalu ditinggalkan oleh Rena. Lagi pula selama di rumah sikap Danu memang tak pernah berubah, ia tetap menjadi suami dan ayah yang baik untuk Rena dan kedua anaknya. Hal itu membuat Rena selalu meredam rasa curiga tentang hubungan mereka. 

Namun semenjak enam bulan yang lalu Danu mulai terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Kehidupan rumah tangga yang itu-itu saja membuatnya ingin menjajal sesuatu yang sedikit memacu adrenalinnya sebagai seorang lelaki. Gayung pun bersambut, Vani yang ternyata menyimpan rasa untuk Danu nekat menjalani hubungan terlarang dengan suami sahabatnya. 

Saling pengertian dan berhati-hati dalam hal komunikasi membuat hubungan mereka semakin lancar. Pertemuan demi pertemuan mereka lakukan dengan rencana yang sangat rapi, tentu saja tanpa sepengetahuan Rena. Namun sepandai-pandainya mereka menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Hubungan terlarang antara dua orang dewasa yang sama-sama sedang dimabuk cinta membuat mereka lupa jika setan bisa saja mengikutinya. Vani yang telah mau menyerahkan jiwa dan raganya untuk Danu harus menanggung malu karena ia hamil anak dari suami sahabatnya yang membuatnya terpaksa mengakui hubungan gelap mereka.

**

“Mama pulang ...! Siapa yang mau bakso?” ucap Rena sembari berjongkok dan merentangkan tangannya menyambut Hana-anak bungsunya yang sedang berlari ke arahnya.

Rena menggendong Hana kemudian berjalan menghampiri Hafiz yang sedang sibuk dengan ponselnya.

“Kakak cium tangan dulu sama mama,” perintah Hana pada kakaknya.

“Sebentar, tanggung, nih!” jawab Hafiz yang terus saja memainkan game di ponselnya.

“Ya udah kalo main game terus, baksonya buat Hana semua.”

“Jangan curang kamu, ya.” Hafiz melempar ponselnya sembarang kemudian mencium tangan Rena sebelum menyambar kresek putih yang tergeletak di atas meja.

“Kakak, itu punyaku juga ...!” pekik Hana yang langsung memberontak turun untuk mengejar kakaknya yang sudah berlari ke arah dapur.

Adegan kucing dan tikus akhirnya terjadi. Teriakan demi teriakan keluar dari mulut Hana yang selalu dibuat kesal dengan sikap Hafiz. Rena hanya menggeleng sembari tersenyum melihat kelakuan mereka kemudian berjalan menuju arah kamar.

“Sudah pulang, Ma,” tanya Danu yang sedikit terkejut dengan kedatangan Rena.

“Sudah,” jawab Rena singkat.

“Bisa duduk sebentar?” perintah Danu setelah mengunci pintu kamar.

“Mau mengakui kesalahan?” tebak Rena.

Danu yang awalnya terlihat biasa, seketika memasang wajah pias. 

“Dengerin penjelasanku dulu, Ma.”

“Ya, aku tahu hubungan kalian berawal dari aku yang sering menggunakan ponselmu saat menghubungi Vani. Tak apa, Mas. Aku juga salah karena menganggap semua itu hal biasa. Tak ada yang perlu diperdebatkan sekarang. Yang terpenting kita harus mulai memberi pengertian pada anak-anak jika orang tuanya sebentar lagi akan berpisah.”

“Enggak! Aku enggak mau kita pisah! Aku masih sayang kamu. Tolong pikirkan perasaan Hana dan Hafiz jika kita sampai berpisah,” bujuk Danu yang terus berusaha meraih tangan Rena namun selalu ditampiknya.

“Mengapa cuma aku yang harus mikirin perasaan mereka? Lalu apa yang ada dipikiran kamu saat memulai hubungan dengan Vani? Kamu merasa masih bujang? Belum punya anak istri? Atau merasa seorang lelaki bisa beristri empat? Maaf ya, Mas, aku lebih memilih hidup menderita sebagai janda daripada dimadu.” 

“Tapi, Ren ...”

“Aku tak apa, janin dalam kandungan Vani anak kamu juga, kan?”

“Rena!” bentak Danu.

“Kita akan berpisah secara baik-baik. Aku tetap akan menjalankan peranku sebagai seorang istri sebelum kita resmi bercerai.” Rena mendorong Danu kemudian pergi meninggalkan kamar.

Rena akui semenjak menjadi istri Danu ia diperlakukan bak ratu dirumahnya. Uang serta limpahan kasih sayang yang belum pernah Rena rasakan, ia dapatkan semenjak menjadi istri Danu. Namun sebentar lagi semua itu akan menjadi kenangan saat ia bercerai dan memilih pergi dari rumahnya.

Banyak wanita berprinsip ‘Anggap saja menikahi uangnya bukan orangnya’, tapi bagi Rena uang tak akan berarti jika hati telah mati. Tak mungkin ia bertahan jika terus merasa sakit, itulah yang membuat Rena berani mengambil keputusan untuk berpisah dengan Danu.

**

Rena duduk di atas pasir sembari melihat deburan ombak yang menghampar luas di hadapannya. Sesekali ia menarik nafas untuk menghirup udara senja yang sejuk menerpa wajahnya. 

“Enak, pura-pura kuat?” Seorang lelaki menyodorkan sebotol air mineral lalu duduk disamping Rena.

Dengan sekali putar Rena berhasil membuka tutup botol ditangannya lalu menenggaknya hingga setengah. 

“Udah izin, kan?” tanya lelaki itu lagi.

Rena mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada langit senja yang sudah memerah.

“Dari kemarin kamu enggak nangis?” lagi-lagi lelaki itu membuka suara.

Rena menggeleng. Terhitung sudah lebih dari dua puluh empat jam Rena berusaha untuk tidak menangis. Semenjak pengakuan Vani kemarin hingga pulang ke rumah berdebat dengan Danu hingga sore ini ia berhasil menata hatinya untuk tak mengeluarkan air mata di depan anak dan teman kantornya. Bahkan saat sarapan tadi ia masih bisa berpura-pura tertawa dengan Danu di depan anak-anak mereka.

“Kalo mau nangis, nangis aja. Kalo butuh bahu, ini ada yang nganggur.” Lelaki itu menepuk bahunya.

“Apa aku akan kehilangan semuanya?” Rena akhirnya membuka suara.

“Tidak, kamu masih punya aku.” 

Lelaki itu menoleh dan memandang wajah cantik yang mulai dihiasi bulir bening yang jatuh dari mata indahnya. Ia mengulurkan tangannya dan mengibaskannya di udara seolah tengah menyeka bulir itu. 

Andai saja ... Ah sudahlah ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status