Share

Bab6

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#6

Gegas aku mengeluarkan ATM dari mesin, menggendong Khalila dan membawanya pulang. Tak lupa, aku menarik uang dulu beberapa juta dari kartu ATM pribadiku, karena aku masih takut untuk menggunakan uang simpanan bapak. Aku harus mencari tahu dahulu tentang uang ini dan paman yang bernama Hamsar. Sebab, aku lupa-lupa ingat dengan nama itu, karena kata ibu bapak hanya pernah membawaku sekali ke tanah kelahirannya sewaktu aku berumur lima tahun. Sementara ibu tidak pernah sama sekali ke sana, karena ibu menderita penyakit asma yang tak memungkinkan untuk beperjalanan jauh.

Pun, saat mereka sehabis menikah ibu hanya pernah sekali saja kesana. Karena, setelah beberapa bulan mereka menikah orang tua dari bapak meninggal secara bersamaan saat melakukan umroh di tanah suci Mekkah. Maka dari itulah ibu tidak pernah lagi ke kampung bapak.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengemas pakaian kembali. Mumpung masih pagi, sepertinya masih bisa mencari tiket mobil travel menuju ke Riau. Biarlah uangku habis untuk perjalanan, yang penting hati ini puas setelah tahu tentang semua kebenaran.

Kuambil tas berwarna hitam, di dalam situ juga ada uang tunai sekitar 30 jutaan. Aku bingung apakah harus ditinggal atau kubawa saja, namun sebaiknya kumasukkan saja ke dalam ATM simpanan bapak, agar lebih aman.

Kubuka map yang berisi surat kebun, di situ ada alamat kebun yang tertera. Aku yakin, alamat kebun ini tak jauh dari rumah paman. Pun, aku sangat yakin kalau di tempat inilah kampung paman berada.

"Pak, kita pulang ke tanah kelahiran bapak, ya," ucapku pelan pada bapak.

Bapak hanya menggaruk kepalanya sembari planga-plongo. Tak lupa aku memakaikan bapak pempers orang tua terlebih dahulu sebelum kami berangkat.

"Oh, iya. Ibuku pasti sudah menunggu aku pulang." Berbicara dengan bapak memang banyak tidak nyambungnya. Huh! Aku harus lebih ekstra sabar menghadapi bapak, dan tak ingin membuatnya tersinggung.

Hah, sudahlah! Aku bergegas membawa bapak dan Khalila keluar lalu mengunci pintu rumah. Sebelum pergi aku berpesan pada tetangga sebelah rumah tempatku tadi menitipkan bapak, agar jika ada yang datang mencariku bilang saja aku tidak pernah pulang ke sini. Aku juga menitipkan nomor teleponku padanya, dan ia mengangguk.

______________________________

Mungkin hampir satu hari satu malam perjalanan kami menuju ke tanah kelahiran bapak, pada akhirnya kami sampai disebuah kampung yang di mana setiap sisi jalan dipenuhi dengan kebun kelapa. Sungguh menakjubkan! Kampung ini memang sangat banyak pohon kelapa dan buahnya juga lebat serta besar.

"Maaf, Bu. Tau tidak dengan pak Hamsar?" tanyaku pada seseibu yang lewat.

"Pak Hamsar? Oh ... Pak Hamsar tokeh kelapa bukan?" Ia balik bertanya.

Tokeh kelapa? Setauku yang namanya tokeh itu setara dengan bos besar.

"Mungkin saja, iya." Aku bicara asal.

"Lurus saja, dek, terus kalau ada ketemu rumah besar cat tembok warna putih dan ada pagar teralisnya nah, itu rumahnya pak Hamsar." Dengan ragu aku mengangguk.

"Kalau begitu terimakasih ya, Bu." Aku menggiring bapak dan juga menggendong Khalila. Berjalan lurus menjajaki jalan yang lumayan lebar dan sudah beraspal. Kampung ini lumayan juga, sepertinya sudah maju dan ramai dengan penduduk.

"Assalamualaikum." Aku mengetuk rumah besar berwarna putih ini.

"Waalaikumsalam." Terdengar dari dalam bunyi seseorang menyahut. 

Daun pintu terbuka, kulihat seorang laki-laki berumur empat puluh tahunan berdiri tepat di depanku.

"Maaf, cari siapa ya, dek?" tanya pria itu fokus menatapku lurus, melihatku dari atas sampai bawah.

"Saya cari pak Hamsar," ucapku dengan pelan.

Sejenak ia terdiam, menatap tajam ke arah bapak. Beberapa kali dahinya berkerut dan ia memicingkan mata. Beberapa saat kemudian ia tersentak lalu menangis.

"Bang Hamdar." Pria berumur empat puluh tahun itu tiba-tiba saja langsung memeluk bapak dengan tangisnya yang pecah.

"Ini abangku. Ya, Allah bang, kamu masih hidup. Alhamdulillah." Pelukannya semakin erat, namun bapak berusaha melepaskan.

"Kamu siapa?" tanya bapak melepaskan pelukan paman.

"Ini aku Hamsar adikmu, Bang," ujar paman menunjuk dirinya.

"Maaf paman. Bapakku mengalami penyakit pikun, dan sudah terlalu parah sehingga ia sangat sulit untuk mengingat seseorang. Bahkan, saat dia bangun tidur pun dia bisa lupa denganku. Terkadang ia juga bisa bersikap layaknya seperti anak kecil, mengompol dan buang air besar di celana," ujarku menjelaskan.

"Kamu pasti Rani bukan? Lalu, anak kecil ini siapa?" tanya paman.

"Anakku paman," sahutku.

"Hampir sebelas tahun bapakmu tidak bisa dihubungi, paman kira beliau sudah tiada. Paman mencari kalian kesana-kemari tapi tidak ketemu. Katanya dua belas tahun yang lalu kalian pindah rumah dan bapakmu tidak pernah memberikan alamat rumah baru kalian. Sehingga paman sangat kesulitan untuk mencari keluarga kalian, terlebih semenjak sebelas tahun yang lalu nomor bapakmu tidak pernah aktif lagi. Membuat lutut paman semakin lemas dan meyakini kalau bapakmu sudah tidak ada lagi, namun paman masih rutin mengirim uang hasil dari penjualan buah kelapa bapakmu ke dalam rekeningnya. Karena paman berpikir pasti masih ada kamu yang membutuhkan uang itu," ujar paman.

"Mari duduk, tidak enak berdiri di depan pintu," ajak paman.

"Jadi, uang yang ada di dalam ATM ini paman yang mengirimnya setiap bulan?" tanyaku sembari menyerahkan kartu ATM pada paman.

"Iya. Sebagian juga paman belikan kebun baru dan semuanya sudah atas namamu." Paman bangkit dan masuk ke dalam kamar, lalu dia keluar membawa tiga buah map dengan warna yang berbeda.

"Ini." Paman meletakkannya di atas meja.

"Ini surat-surat kebun kelapa milikmu. Sebelum hilang kontak, bapakmu berpesan agar paman mengembangkan kebunnya supaya menjadi lebih banyak, supaya nanti di masa depan hidupmu terjamin," ujar paman.

"J-jadi, bapak memang mempunyai kebun kelapa? Dan surat kebun ini nyata adanya?" Aku mengeluarkan lagi sebuah map yang kubawa dari rumah.

"Syukurlah kamu masih menyimpan suratnya. Tapi, paman sarankan agar kamu menjual kebun ini. Soalnya, sudah banyak kebun sawit yang masuk di dekat kebunmu ini. Paman takut akan memengaruhi buah dan kesuburan tanah di kebun ini. Kemarin, ada yang ingin membelinya tapi paman enggan menjual karena tak berani," ujar paman.

"Memangnya berapa harganya kalau dijual paman?" tanyaku.

"Lima ratus juta," sahut paman.

Aku terperanjat, lima ratus juta bukanlah uang yang sedikit. 

"Memangnya sebanyak apa kebun bapak paman?" tanyaku.

"Lima puluh baris, dan satu barisnya seharga sepuluh juta," ujar paman. Akupun tidak tahu pasti lima puluh baris itu seperti apa. Yang jelas segitulah kebun bapak dengan surat yang aku pegang ini.

"Bagaimana? Apa kamu setuju?" tanya paman.

"A-aku setuju," sahutku.

"Kamu masih mempunyai kebun lain yang jauh lebih bagus. Tapi tak sebanyak kebun yang ingin dibeli oleh orang ini," ujar paman.

"Tidak apa-apa, paman. Aku setuju! Kalau bisa langsung tanda tangan dan uangnya juga ditransfer di depan mataku," ujarku.

Paman mengangguk, aku akan menggunakan uang ini untuk modal usaha. Akan kubuktikan kalau aku lebih sukses dari mas Mande dan keluarganya. Pastinya, aku akan bersaing dan perlahan membuat mas Mande bangkrut.

Dan disaat yang bersamaan gawaiku berdering. Kulihat di layar ponsel terpampang nama Bu Titin tetangga sebelah rumah bapak.

"Hallo, Bu Titin. Ada apa?" tanyaku.

"Neng Rani, ini ada yang nyariin Neng Rani. Mereka datang sambil marah-marah," ujar Bu Titin dari seberang telepon.

"Siapa memangnya, Bu?" tanyaku lagi.

"Aduh ..! Ibu lupa-lupa ingat, tapi kalau gak salah yang laki-laki itu kayak suamimu, Mande," ujarnya.

"Biarkan saja Bu, Titin. Bilang saja saya nggak pernah pulang kesana. Biar mereka lebih emosi," pintaku pada Bu Titin.

Heh! Sudah kubilang, kalian pasti akan mencariku kesana-sini. Bukankah kalian yang mengusirku? Lalu, kenapa lagi kalian mencariku. Sekarang kalian panik sendiri bukan? Aku tertawa jahat di dalam hati.

"Tunggu pembalasanku!"

_____________________

Mohon bersabar dengan alurnya, ya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status