Share

Jejak Yang hilang

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#7

POV Mande.

"Sudah seharian semalaman Rani mengabaikan pesan dan teleponku, Bu. Sepertinya dia tidak akan kembali," ucapku sesaat kami sedang sarapan di meja.

"Heh! Istri kamu itu ngelunjak, sudah miskin banyak tingkah lagi. Lebih baik kita susul saja dia ke kampungnya," sahut ibu menggebrak meja, geram.

"Aku setuju. Aku akan ikut dan Salma jaga rumah, kita hajar saja sekalian. Kalau perlu kita rampas surat-surat penting itu dengan secara paksa, jangan sampai rumah ini digadaikan oleh mbak Rani. Bisa bangkrut kamu, mas," ujar Manisah menimpali.

"Ide bagus itu Manisah. Dia pikir dia siapa? Cuma wanita kampungan yang cara berpakaian saja masih norak, tapi berani banget mengabaikan kita. Apa dia berpikir kalau kita tidak bisa datang kesana dan mengambil semua yang seharusnya menjadi milik Mande. Kalau perlu kita berangkat hari ini juga," ujar Ibu.

"Tunggu apa lagi, mas, cepat keluarkan mobil dari garasi. Kami akan bersiap-siap, sekarang juga kita serang Rani ke kampungnya," titah Manisah.

"Gimana aku mau menggunakan mobil, sementara STNK dan BPKB nya saja dibawa oleh Rani. Bisa-bisa kita ditilang polisi karena gak punya surat kendaraan yang lengkap,"sahutku.

"Hah! Menyusahkan, saja. Licik juga ternyata si Rani ini. Lagian kamu juga salah, seharusnya kamu jangan memberikan surat-surat berharga pada Rani untuk disimpan," ucap ibu.

"Terus kita mau pake apa?" tanya ibu.

"Ya, pake mobil travel saja," sahutku.

_______________________________

Akhirnya kami memutuskan untuk menyusul Rani ke kampung halamannya menggunakan mobil travel. Pasti dia berada di rumah bapaknya, dia tidak akan kemana-mana karena tidak punya tempat tujuan dan sanak saudara. 

"Jauh banget sih kampungnya si, Rani. Kalau enggak berkepentingan ibu sih ogah nginjakin kaki di kampung seperti ini. Gak level!" Rutuk ibu mengomel di belakang.

"Iya. Makanya pas kawinan mas Mande aku juga males datang. Aku yakin rumahnya mbak Rani itu kumuh dan jelek," sahut Manisah.

"Sebagus-bagusnya rumah di kampung ya, tetap aja miskin. Kalau kaya mah, pasti udah pindah ke kota. Haha!" Tawa ibu gelak sembari mencemooh Rani.

"Lagian bagus deh, mas Mande pisah. Biar gak punya istri norak dan kampungan kayak si Rani lagi, unfaedah banget buat dipertahankan," ujar Manisah.

Sebenarnya aku berharap Rani kembali, yang tak kuharapkan hanyalah mertuaku yang pikun itu. Sejujurnya hati ini masih sayang padanya, tapi ... Yang membuat jengah ia terlalu memperhatikan bapaknya sehingga aku muak melihat dia.

Dan disaat tinggal satu rumah dengan bapaknya Rani, ibu selalu merasa risih dengan kelakuannya yang seperti kekakanak-kanakkan. Apalagi, pas bapaknya Rani buang air kecil dan besar sembarangan, baunya menyeruak sampai ingin membuat perut mengeluarkan sisa makanan dengan secara paksa.

_______________________________________

Entah sudah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba saja ibu membangunkan. Katanya kami sudah sampai di tempat tujuan, hanya perlu berjalan beberapa puluh meter saja lagi menuju rumah Rani.

"Is ... Kumuh!" Kata Manisah terlihat jijik.

"Gak salah lagi kita membuang wanita benalu itu, sudah miskin gak cantik dan gak bisa dibanggakan. Kayaknya mata kamu kemaren sedang belekkan deh, Man, sehingga bisa menikahi wanita kampungan seperti Rani," ujar ibu.

Aku dan Rani bertemu saat ia membawa ibunya yang sakit asma ke kota. Waktu itu tidak sengaja aku sedang mengantar teman yang juga cidera, kami tidak sengaja bertabrakan di rumah sakit. Sehingga aku membantunya dan dia meminta maaf. Dulu, Rani lumayan cantik, bersih, dan pastinya lebih terawat dari pada saat ini.

Sekarang Rani sering berpenampilan kucel, dekil dan bau. Apalagi semenjak ada bapaknya yang pikun tinggal di rumah kami, membuat Rani semakin tidak terurus. Membosankan!

"Ran, Rani!" Ibu menggedor pintu rumah bapaknya Rani namun tak ada sahutan.

Lalu, kami mengintip dari celah jendela yang hordengnya sedikit tersingkap namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana.

"Pasti dia ngumpet," rutuk ibu menggerus kesal.

"Woy, Rani! Jangan sembunyi, kamu. Dasar maling!" teriak Manisah.

Rani tetap tidak membukakan pintu, entah kemana dia. Tidak mungkin dia tak ada di dalam, mau kemana lagi selain pulang ke rumah ini. Apakah dia tidak mempunyai uang untuk pulang ke kampung, dan apakah dia menjadi gelandangan di jalan.

"Cepat telpon saja, Mande. Ibu yakin dia pasti di dalam, kalau dia di dalam pasti suara ponselnya kedengaran," titah ibu.

Aku menekan nomor Rani, namun panggilan tidak tersambung. Nomor Rani tidak aktif bahkan di luar jangkauan, sepertinya ponsel Rani sengaja dimatikan.

"Nomornya tidak aktif, Bu," ujarku.

"Pasti dia sengaja, dia pasti sudah menduga kalau kita bakalan datang mencarinya. Maka dari itu, dia bersembunyi di dalam," tukas ibu kembali menggedor pintu rumah bapaknya Rani dengan kasar.

"Buka, Rani! Keluar kamu! Jangan bersembunyi layaknya seperti siput yang sedang ketakutan!" teriak ibu, sontak mengundang beberapa tetangga di dekat sini untuk melongokkan kepala mereka di daun pintu.

"Bu, mungkin saja Rani tidak ada di rumah," ujarku. Aku sedikit malu saat ada beberapa ibu-ibu berkumpul lalu bergumul dengan mulut yang mencong kesana-sini.

"Ada apa ini, Bu?" tanya seseibu tiba-tiba saja menghampiri kami. Mungkin dia sedikit terganggu dengan teriakan ibu.

"Kami sedang mencari penghuni rumah ini," sahut ibu dengan judes.

"Oh ... Maksudnya pak Hamdar? Beliau sudah lama tidak kembali, bukannya mereka tinggal bersama Rani. Em ... Ini kalau gak salah Mande, kan, suaminya Rani?" tanya seseibu itu, akupun sudah lupa dengannya.

"Iya, benar."

"Saya Bu Titin masih ingat, kan? Bukannya pak Hamdar tinggal bersama kalian, kenapa kalian malah mencarinya kemari?" tanyanya. Ah ... Aku harus menjelaskan seperti apa.

"Mereka minggat dari rumah dan mencuri semua aset kekayaan anak saya," sahut ibu dengan gamblang.

"Apa Rani dan bapak mertua saya pulang kesini? Lalu, kemana mereka sekarang?" tanyaku pada Bu Titin.

"Em ... M-mereka tidak pernah pulang kesini," sahut Bu Titin terlihat gugup.

"Memangnya ada apa dengan kalian?" tanya Bu Titin.

"Heh! Gak usah banyak tanya, ya? Kepo banget sama urusan orang lain. Mau kami ada apa-apa atau enggak, gak ada urusannya dengan anda!" sahut ibu sinis, Bu Titin menggeleng lalu meninggalkan kami begitu saja.

"Kalau Rani tidak ada di rumah ini terus dia kemana?" tanyaku membatin. 

"Kemana lagi kita harus mencarinya sekarang. Kita harus segera menemukannya dan merebut surat-surat penting itu," ujar ibu sembari memijat kepalanya.

"Aku juga tidak tahu, Bu. Karena setahuku Rani tidak mempunyai keluarga lagi," sahutku yang juga ikut bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status