Share

Bab5

MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#5

POV Rani.

Kumatikan ponsel agar mas Mande tidak lagi menelpon. Biarkan saja mereka merasakan bagaimana rasanya penasaran. Mungkin mereka berpikir aku akan kembali dan memohon pada mereka, akan tetapi keputusan ini sudah bulat dan aku tidak akan runtuh meskipun dengan alasan apapun.

Kulihat bapak juga masih asyik bermain dengan Khalila, sesekali ia berhenti karena ngos-ngosan. Biasanya kalau bapak kecapekan ia bisa ngompol atau buang air besar sembarangan. Jadi, aku menghentikan kegiatan sejenak lalu menanyai bapak apakah dia ingin buang air.

"Pak, bapak mau pipis?" tanyaku dan ia menggeleng.

"Kalau BAB?" tanyaku lagi, dan ia juga menggeleng.

"Bapak lapar, belum makan. Sudah dari sehabis pulang kerja bapak belum minum seteguk air." Aku mengernyit, padahal baru saja bapak habis makan banyak. Tapi, ia sudah lupa kalau dia sudah makan.

"Pak, tadi bapak sudah makan," ujarku. Karena, aku belum sempat memasak. Belanja saja belum, apalagi harus memasak. Semua peralatan dapur yang berdebu pun belum habis aku cuci.

"Ibumu mana? Tadi bilangnya mau masak," ujarnya ngelantur. 

"Pak, ibu sudah tenang di sisi Allah," sahutku dengan pelan, meskipun di dalam sini terasa sakit.

"Eh. Itu di bawah kolong ranjang ada tas hitam tempat aku menyimpan kartu ATM sama uang, di situ juga ada surat kebun kelapaku yang banyak di Riau tempat kelahiranku. Adikku yang menjaganya, pasti tabunganku sangat banyak di dalam ATM itu." Bapak menunjuk ke arah kolong ranjang yang hanya berjarak satu jengkal dari lantai. Memang, aku tidak pernah memeriksa kolong ranjang mereka, meskipun pada saat dulu aku belum menikah.

"Pasti bapak hanya halusinasi," gumamku cuek.

Kemudian bapak sudah lupa lagi dengan ucapannya. Tak lama ia terbaring lalu tertidur karena kelelahan. Pun, Khalila juga ikut mendengkur di samping bapak. Mereka tertidur di ruang tamu dan hanya beralaskan tikar gulung yang memang dijadikan sebagai alas lantai semen tanpa proslen ini.

Aku kembali berberes, kulirik pada jam yang melingkar di tangan, kubeli hanya seharga dua puluh lima ribuan. Itupun, masih diejek oleh mertua dan Manisah, serta satu lagi adik bungsunya yang manja bernama Salma.

Aku menyapu kamar bapak yang sudah banyak terdapat sarang hewan kecil, apalagi di bawah kolong ranjangnya. Terpaksa aku membungkuk agar sapu bisa sampai keujung kolong supaya di bawah kolong ranjang bisa bersih dan tak menjadi sarang kecoa.

Akan tetapi, ada yang menyangkut saat aku memasukkan sapu ke dalam kolong. Seperti ada sebuah benda yang lumayan besar di letakkan di bawah sana. Aku penasaran lalu mengambil ponsel dan menghidupkannya. Kupencet senter yang ada di ponsel dan mengarahkan ke bawah kolong ranjang.

Kulihat di bawah sana ada sebuah tas hitam lusuh berukuran sedang tergolek begitu saja penuh debu. Tas apa ini? Belum pernah aku melihatnya sekalipun. Aku menjadi penasaran.

Dengan bersusah payah aku mengambilnya, kutatap tas yang ada di tangan sama persis dengan apa yang bapak ucapkan. Kupikir bapak hanya melantur karena biasanya bapak suka ngasal mengucapkan hal apapun yang spontan keluar dari mulutnya.

Kubuka tas hitam yang resletingnya pun sudah keras. Dengan sekuat tenaga aku berusaha sampai-sampai aku harus mengolesinya dengan minyak goreng yang memang sengaja kusimpan di dalam dirgen dan kuletakkan di dalam lemari rak piring. Agar minyak goreng itu tetap bagus, dan ternyata sampai sekarang pun bau dan warnanya masih belum berubah.

Aku terkejut setelah membukanya, kulihat ada beberapa gepok uang merah di dalam tas ini dan juga satu buah ATM berwarna hitam, juga ada ponsel senter butut berwarna abu-abu. Sepertinya ponsel ini sudah sangat lama sehingga tak bisa lagi dihidupkan. Entah masih bisa dicharger atau sudah rusak.

"Uang siapa sebanyak ini?" gumamku. Ini uang keluaran tahun 2005 tapi masih laku sampai saat ini. 

Kulihat ada secarik kertas usang terselip di dalam tas ini. Kubuka pelan sembari membacanya dengan perlahan.

[13 Desember 2011. Anakku, jika suatu saat bapak melupakan tas di bawah kolong ranjang ini, bapak berharap kamu atau ibumu menemukannya. Di dalam tas ini berisi uang tunai dan kartu ATM tabungan bapak, serta ada map yang berisikan surat kebun kelapa milik bapak yang terletak di tanah kelahiran bapak. Kebun kelapa itu dikelola oleh pamanmu yang bernama Hamsar, setiap bulannya ia selalu rutin mengirim uang ke rekening ini hasil dari penjualan kelapa milik bapak. Bapak mendapat warisan yang lumayan banyak dari kedua orang tua bapak, dan sebagian uang dari penjualan buah kelapa pun bapak kumpulkan untuk membeli kebun baru. Mungkin, bapak tidak selamanya sehat. Jika kamu menemukan tas ini maka temuilah pamanmu. Kode pin ATM 130997. Tertanda dari bapak.] Terakhir bapak memberitahu kode pin ATM. Apakah tas ini sudah disimpan sejak sepuluh tahun yang lalu dan ibu tidak mengetahuinya. Lalu kenapa?

Aku bergegas beranjak menuju ruang tengah, membangunkan bapak yang sedang tertidur pulas.

"Pak-pak, bangun!" ucapku menggoncang tubuhnya dan bapak terperanjat.

Bapak hanya kaget tapi tak mengucapkan sepatah katapun, ia mengucek matanya layaknya seperti anak kecil.

"Pak, ini tas punya siapa? Ini juga ada uang yang lumayan banyak. Apa bapak yang menaruhnya di bawah kolong ranjang?" tanyaku penasaran, berharap bapak ingat. Soalnya tadi bapak bergumam sendiri tentang tas ini.

"Tidak tahu, kamu siapa?" tanyanya masih linglung.

"Pak, aku Rani anak bapak," ucapku menunjuk dada ini.

"Rani? Memangnya saya sudah menikah." Hum! Setiap kali bapak bangun tidur aku terpaksa memperkenalkan diri lagi, karena bapak selalu tidak ingat denganku.

Aku memilih untuk menyimpan kembali tas ini pada tempatnya. Hal yang membuat aku semakin penasaran, berapakah jumlah saldo yang ada di dalam kartu ATM ini. Besok aku harus memastikannya dengan segera.

___________________________

Aku meminta tolong pada tetangga untuk menjaga bapak selagi aku pergi mengecek kartu ATM ini pada ke pasar. Membawa Khalila sekalian menggunakan ojek menuju pasar, seteleh sampai di tempat yang kutuju, aku segera masuk ke dalam ruangan mini ber AC yang ada di depan mata ini.

Dengan sedikit gemetar aku memasukkan kode pin enam digit yang bapak tulis pada secarik surat peninggalannya. 

Ternyata setelah beberapa saat, aku berhasil memasukkannya. Kulihat informasi pada saldo rekening dan sukses membuat aku melongo di tempat. Isi saldo rekening peninggalan bapak tak kurang dari empat ratus juta.

Aku membekap mulut dan mundur beberapa langkah, karena merasa tak percaya? Bapak mempunyai uang tabungan sebanyak ini. Apakah paman yang bernama Hamsar itu, masih rutin mengirimkan uang dari hasil penjualan kelapa milik bapak? 

Hah! Aku harus mencari alamat yang tertera di belakang lembar surat yang disimpan oleh bapak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status